“Monyet!”
Marah mendengar teriakan penuh amarah, atau ejekan
itu? Kenapa marah? Karena monyet jelek? Wah, kalau aku yang diteriaki atau
diejek dengan kata monyet, aku sih gak marah. Karena menurutku itu ejekan untuk
monyet, bukan ejekan untukku. Kok ejekan untuk monyet? Ya iya dong, ejekan
untuk monyet, karena mengandung maksud wajah yang jelek. Padahal monyet bukan
jelek, loh. Monyet kan bukan manusia, jadi ya gak bisa distandard-kan dengan
manusia. Jadi, ya gak jelek, dong. Monyet kan standard wajahnya memang seperti
itu.
Masih marah diteriaki, atau diejek dengan
kata,”Monyet!”? Wah, rugi banget kalau marah. Monyet itu lincah, pandai
memanjat, lucu. Ada yang salah dengan monyet? Gak ada, kan?
Sewaktu anak-anakku masih kecil, aku mengajarkan
mereka untuk melihat segala sesuatu dari sudut positif. Monyet bukan negatif.
Monyet hewan yang positif. Lihat dari sudut positif, bukan dari sudut negatif,
bukan dari fisik.
“Sayang, lihat tuh monyetnya lucu di atas pohon.
Loncat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Tuh ayun-ayunan di pohon!”
Aku
mengomentari monyet yang kami tonton bersama. Ngka melongo memandangi layar tv.
“Tuh lihat tuuuh, pinter banget, ya? Hebat, ya?
Lucunya kalau monyet tertawa. Tuh lihat!” Ujarku lagi. Itu awal aku ‘mencuci
otak’ anakku tentang monyet.
Lalu Ngka mulai tertawa-tawa melihat monyet di tv
yang asyik berayun, dan berpindah dari pohon yang 1 ke pohon yang lain.
”Ma, pinter ya monyetnya! Ngka mau jadi monyet!”
Aku tertawa mendengar ucapannya, kemudian
menjawab,”Ngka kan manusia, beda sama monyet. Monyet pinter memanjat, berayun
di pohon. Ngka pinter membaca, menulis, menyanyi. Ya kan?”
“Tapi Ngka mau jadi monyet!”
“Monyet memang hebat, ya?”
Pandangan anakku terhadap monyet, positif, bagus.
Berhasil!
Tahun berganti, Ngka memiliki 2 adik, Esa, dan Pink.
Pada Esa, dan Pink, aku juga mengajarkan hal yang sama. Niatku 1, mengubah
pandangan yang ada di masyarakat tentang kata ejekan,”Monyet!”
Kugendong Esa di tangan kanan, Pink di tangan kiri,
dan Ngka berpegang erat di kakiku.
” Pegangan yang kenceng, ya, Mama ga megangin.”
Lalu mereka berpegang erat padaku, sambil
tertawa-tawa. Aku berjalan di dalam rumah. Tiga anakku senang sekali, merasa
diajak bermain-main. Padahal aku mempunyai niat tertentu. Mereka gak tau bahwa
aku sedang mengajar mereka.
“Wah, jadi kayak monyet ya? Bisa bergelantungan!
Hebat banget anak-anak Mama!” Teriakku dengan suara seakan-akan aku takjub pada
mereka.
“Iya, Ma. Ngka monyet.”
“Esa yang monyet, Ma.”
“Pink yang monyet.”
Tiga anakku berebut menjadi monyet! Mau tau rasa apa
yang ada dalam dadaku? Bahagia tak terkira!
Aneh mungkin ya, kok aku bahagia anakku monyet.
Bahagia banget! Itu cuma sebuah cara agar mereka mau memandang segala sesuatu
bukan dari sudut jelek, bukan dari sudut negatif. Aku berusaha agar anak-anakku
bisa memandang segala sesuatu dari sudut lain. Berbeda dari kebanyakan orang,
ga salah kok, asalkan kita memandangnya dari sudut yang benar.
Aku berharap Ngka, Esa, dan Pink, bisa bijak menghadapi
segala sesuatu. Monyet cuma sebuah contoh kasus. Ketika semua orang memandang
monyet sebagai hal yang jelek, kami memandang monyet sebagai hal yang pintar.
Karena memang pada kenyataannya monyet itu pintar. Lagipula monyet juga gak
salah apa-apa pada kita, kok kita jadikan tolok ukur sebagai ‘jelek’.
“Monyet!”
Masih marah? Kalau masih marah karena teriakan
monyet yang ditujukan pada kita, dan marah karena diejek monyet, terus terang
aku orang pertama yang tertawa terbahak-bahak. Kasihan, gak tau ya, monyet itu
pintar? Kasihan, ga tau ya, monyet itu lucu?
Masih marah juga? Ah, kasihan.
Bagaimana bisa bahagia kalau hanya memandang segala
sesuatu dari sudut negatifnya saja? Bagaimana bisa bahagia kalau gak mau
membuka pandangan bahwa menghakimi si monyet yang gak ngerti apa-apa, dengan
menjadikannya standard jelek itu adalah sebuah dosa.
Masih marah? Ah, lucunya!
Salam Bahagia,
Nitaninit Kasapink
haha keren tulisannya.. seperti tulus yang memaknai positif sosok gajah lewat lagu. ternyata monyet pun begitu...
ReplyDeleteHihi, terimakasih. Monyet kan memang kereeen :D
Delete