Skip to main content

Posts

Showing posts with the label catatan catat

(3) Cerita Panjang: Lorong Panjang

"Err, tidur siang." Kenapa harus tidur siang? Apakah mama tidak  tahu aku benci tidur siang? Setiap hari harus tidur siang padahal berarti bertemu dengan makhluk-makhluk aneh itu lagi! Tapi bagaimana bisa kutentang jam tidur siang ini? Segera masuk kamar menenteng komik untuk dibaca. "Err, komiknya jangan dibawa ke kamar. Tidur, bukan membaca!" Mama! Betapa hebatnya mama dan semua orang yang berani menghadapi makhluk-makhluk aneh itu saat tidur! Aku takut! Terbayang gelap dan lembabnya berada di sana. "Tidur, Err. Kamu harus istirahat." Mama! Bagaimana aku bisa beristirahat kalau selalu bertemu dengan mereka semua itu? Tapi lagi-lagi karena tak mungkin menentang permintaan mama. Berusaha mulai memejamkan mata. Memeluk guling erat, cemas menyergap. Wuuz, terjerembab masuk ke dalam pusaran gelap! Mama, tolong! Ini menyiksaku! Semakin berputar cepat, dan makin gelap. Jantung berdegup keras! Aku takut. Tolong! Lalu putaran pusaran melambat,

(2) Cerita Panjang: Err.

Selamat pagi, dunia! Aku pecinta malam, tapi hal yang paling membahagiakanku adalah saat meninggalkan malam yang kelam! Setiap pagi badan terasa amat letih karena sang malam memaksa pergi menuju dunia kelam tanpa bisa menolak. Malam adalah hal yang menyenangkan karena tidak mengusikku agar bergerak cepat, tidak membuatku tergesa-gesa. Tapi malam juga sekaligus menjadi waktu yang menakutkan bagiku. Malam yang memaksa untuk tidur. Padahal setiap aku mulai terlelap, jiwa disedot kuat hingga tenggelam ke kerak bumi terdalam! Bertemu dengan para makhluk aneh yang tak terlihat olehmu dan orang-orang lain. Mereka makhluk tanpa raga. "Err! Mandi!" Mama berteriak memanggil dan menyuruhku segera mandi. Pagi! Waktu yang kubenci dan sekaligus kutunggu. "Iya, Ma! Otewe kamar mandi!" "Jangan berteriak ke orang tua!" "Kalau aku berbisik, Mama tidak mendengarku!" Berlari menuju kamar mandi. Di sudut dapur kulihat wanita menunduk dengan rambut terg

(1) Cerita Panjang

Kaki berhenti melangkah saat akan memasuki ruangan yang sudah kukenal bertahun-tahun. Tak hendak masuk kembali ke sana! Mengeluh dalam hati, kenapa berulang harus berada di sini lagi? Hendak berteriak, tapi percuma, karena tak akan mengubah keadaan. Ini sebuah dunia yang lain. Gelap, dingin, lembab, dan tak ada kehidupan. Dunia berbeda yang akrab sejak berpuluh tahun lampau. Tak ada setitik pun cahaya di sini. Aku takut, tapi rasa takut hanya akan membuatku tak bisa pergi dari sini. Ketakutan malah akan menancapkanku di dunia ini. Perlahan berjalan mengikuti jalan sempit berkelok yang hanya cukup untuk 1 orang. Tak ada cahaya! Gelap gulita, lebih gelap dari mati lampu. Tapi anehnya aku bisa melihat dengan jelas kegelapan yang mendekap. Di kanan-kiri banyak yang melihatku dengan tatapan yang tak ramah. Tapi ada juga yang tak peduli. Hanya ada aku sendiri yang berjalan di sini. Pernah bertanya pada diri sendiri, kenapa aku bisa berada di sini? Tapi memang tak pernah kutemukan ja

(31) Err Dan Bless, Tanpa Bless

Angin laut bernyanyi di telinga bagai sedang menghibur kesendirian yang terasa sejak kemarin. Ombak yang berlari seakan-akan berjalan mengendap-endap agar tak mengganggu keheningan yang kurengkuh. Pasir menghangat seperti membujuk agar kutetap menenggelamkan kaki di dalamnya. Tapi berada di hamparan pasir yang luas membuatku ingin tenggelam dalam pelukan mentari yang membakar seluruh tubuh. Aku sendiri di sini, tanpa siapa pun, sama seperti dulu. Bedanya kini kuhanya memiliki sebiji mata, karena sebiji mata yang kuberikan pada Bless, menghilang entah kemana. Pantai ini menyimpan semua perihku, menyimpan rindu, juga menyimpan segala tentangku dan Bless. "Biarkan dia pergi." Angin berbisik di telinga. "Tidak!" Kuberteriak lebih keras dibanding suara ombak. Gema memecah karang tempat kami biasa berbincang dan bercanda. Air mata mengalir basahi wajah, tapi berwarna pekat! Bless, kepekatan ini pasti karenamu. Butir-butir rindu jatuh bersama tetes air mata.

(30) Err Dan Bless, Mata Kiri Err

Siang ini begitu terik, padahal tadi pagi hujan lebat. Aku berdiri menantang sinar matahari tanpa takut membuatku menghitam. Angin laut bertiup kencang. Bless berdiri di sisi kananku, memandang jauh ke hamparan laut yang penuh gelombang. Setiap deburan keras menghantam karang, tiap kali itu pula kulihat matanya dipejamkan. Rasanya ingin memeluk erat, dan bertanya apa yang sedang dipikirkan olehnya. Tapi aku tak berani. Melihatnya begitu serius memerhatikan laut, tak ingin mengganggunya. Sekuntum bunga jatuh di pasir, tepat di depan kaki Bless. Kulihat dia tidak peduli sama sekali. Membenam kakinya dalam pasir. Sosok tinggi besarnya kerap membenamkanku dalam pelukan yang mendamaikan. Garis tawanya mengajarkanku bagaimana cara tersenyum yang indah. Tetiba Bless berteriak,"Err! Err!" Aku berlari mendekatinya. Bless berteriak kesakitan, dua tangan memegang matanya. "Err, sakit!" Aku berusaha memeluknya. Tapi dia menolak. Bless menolak pelukanku! Hanya

(29) Err Dan Bless, Err Dan Kematian

Dunia mati adalah dunia yang kosong. Hanya ramai dengan segala hal yang tidak bisa diraba dan tidak bisa dilihat olehmu. Sepi, bukan hening. Senyap, bukan tenang. Dunia mati memberiku sebuah kenyataan bahwa aku tidak lagi berada bersamamu dalam kehidupan. Menjelajah dunia mati sendiri, tanpa siapa-siapa. Hendak memanggil orang-orang yang kusayang, tak bisa. Mereka tak mendengarku. Aku bingung karena tak mengenal tempat ini. Dunia mati ini kosong. Aku merasa sendirian, dan memang hanya sendiri. Tak mengenal siapa-siapa. Diam melihat ke sekeliling, tak bicara pada siapa pun. Di sudut sana kulihat sosok nenek menangis. Di sisi sini kulihat sosok lelaki kecil terlihat kebingungan. Juga sosok anak kecil yang berlari bersimbah darah. Hidup di dunia penuh cahaya sudah selesai. Dunia mati adalah penggantinya. Gelap, kelam, suram. Di mana cahaya berpendar yang penuh pelangi? Bukan untukkukah? Berjalan ke sana dan ke sini, amat melelahkan! Hingga akhirnya aku pergi ke pantai ini. Berdiam

(28) Err Dan Bless, Menikah

Pantai ini memang selalu memberi nyaman untukku. Pasir lembutnya memijat telapak kaki, menempel saat kaki basah oleh air laut, dan menjadi bersih setelah dibasuh kembali oleh air laut. Di tempat inilah seluruh angan disimpan, juga di sinilah mengubur sebagian mimpiku. Aku suka angin laut yang menghembus kencang, memainkan gaun hitamku, mengacak-acak rambut seleherku. Ini mengusik masa lalu yang kerap datang di hari-hariku. "Apa cita-citamu?" Guru wali kelasku saat aku SD di kelas pertama menanyakan itu pada kami, seluruh murid. Banyak teman-teman berteriak ingin menjadi dokter. "Err, apa cita-citamu?" "Pengantin!" Aku menjawab dengan lantang. Kelas menjadi ramai setelah mendengar jawabanku. Sedangkan ibu guru amat terkejut. "Err, apa cita-citamu?" "Pengantin, Bu Guru." "Dokter, insinyur, pilot, astronot. Ada banyak pilihan, kenapa cita-citamu jadi pengantin?" "Aku suka jadi pengantin." "

(27) Err Dan Bless, Kasih Itu Istimewa

Bless berlari sekuat tenaga ke arahku. "Err! Err!" Suaranya menggema memanggil. Menggaung. "Err!" Teriakannya seakan bisa memecahkan karang, tapi telingamu tak bisa mendengarnya. Hanya ada sunyi, senyap. Jejak kakinya tercetak di pasir. Sebagian malah beterbangan. Angin berhembus amat kencang hingga daun-daun kelapa berdansa mengikuti iramanya. Ombak bergulung besar lalu pecah di pantai. Pasir menyurut ditarik ombak yang datang dan pergi. "Err!" "Ya, sudah, tidak usah berteriak lagi. Aku sudah ada di hadapanmu, lelaki besar." Dia tertawa hingga menyipit mata. "Ada apa, Bless? Ada hal penting yang hendak dibicarakan? Kamu hendak melamarku?" Tawa kami lepas bersama. "Aku punya ide bagus!" "Ide apa? Tumben sekali kamu punya ide bagus, big guy!" Aku terbahak melihat matanya membelalak. "Err, aku serius." "Yes, bicara saja." "Kita pergi dari sini!" Tangann

(26) Err Dan Bless, Hujan Masa Lalu

"Bleeess, hujaaan!" Aku berlari-lari ke arah Bless yang sedang melempar-lempar batu ke laut.  "Bleeeess! Hujaaan!"  Bless membalikkan badan ke arahku. Seperti biasa membuka lebar kedua tangannya siap memelukku yang datang semakin dekat. Masuk dalam pelukannya yang dingin memang selalu membuatku tenang. "Bless, hujan." "Iya, hujan. Kamu tidak basah, kan?" "Hahaha, tidak, Bless." "Lalu kenapa kamu berlari sambil berteriak memberitahuku bahwa hujan turun?" Aku terdiam, tak bicara sepatah kata pun.  "Hey perempuan, bicaralah. Jangan diam. Tadi kamu berlari sambil berteriak keras, lalu sekarang kamu diam? Beritahu aku, ada apa? Kamu punya kisah tentang hujan di masa lalu? Atau kamu ingin membuat kisah tentang hujan dan kita?" "Hujan selalu membuatku merasa tenang dan damai. Hujan memberiku kehangatan yang dingin. Hujan memelukku dengan seluruh airnya yang menyentuh kulit.

(25) Err Dan Bless, Dunia Pengabaian

Langit malam ini luar biasa indahnya! Penuh bintang bertebaran, kerlap-kerlip cahaya kecilnya! Daun-daun nyiur ditiup angin menari. Ombak-ombak kecil seperti anak-anak yang bermain kejar-kejaran. Aku, Err, perempuan bergaun hitam tanpa raga, hantu pantai yang memilih duduk di sini, di hamparan permadani pasir yang sejuk. Butir-butiran halusnya memberi sensasi pijat yang lembut di telapak kaki, dulu. Sedangkan sekarang aku hanya bisa mengenang betapa nyamannya butiran itu mengelus kulit. Tak pernah sekali pun terbayang akan berada di sini, di pantai dengan gaun hitam panjang yang sejak dulu kusuka. Dengan sebiji mata kanan yang kupunya, berusaha melihat dengan jelas ke depan, ujung garis pembatas laut. Menikmati kesendirian dalam hening adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dulu. Lebih menyukai berada sendirian dibanding bersama dengan yang lain. Sering kali mulutku terkunci, diam, tak bisa bicara sepatah kata pun. Sendiri, menyendiri, dan itu kebahagiaanku! Aneh? Ya, aku memang

(24) Err Dan Bless, Dendang Kita

Belum pernah terpikir akan meninggalkan pantai berpasir hangat beserta laut luas yang membentang. Butir-butir pasirnya mengenalku, begitu juga setiap tetes airnya! Bertahun berada di sini mengisi hari, tak sedetik pun bosan menikmati semuanya.  Sejak dulu semasa masih di dunia hidup, aku sering ke sini, ke pantai ini. Pantai ini menyimpan air mataku, tawaku, juga senyum yang kumiliki. Hampir seluruh jalan hidupku ditumpahkan di sini. Masa kecil, remaja, hingga dewasa, sering bermain ke sini. Dan sekarang aku berada di sini bersama Bless, lelaki besarku yang penuh kasih. Duduk di butiran pasir yang menghampar, diselimuti hangatnya mentari. Kakiku menggali pasir, lalu menimbunnya. Bless memainkan  pasir dengan jari telunjuknya. "Bless, apa hobimu?" "Hobi? Aku suka bernyanyi." "Oh ya?" "Ya. Dulu aku suka berkumpul dengan teman-teman, main gitar, bernyanyi sama-sama." "Oh ya?" "Ya. Apa hobimu, Err?" "A

(23) Err Dan Bless, Pantai Dan Laut Yang Berdarah

Pagi, siang, sore, dan malam, pantai ini tetaplah pantai yang indah menurutku. Sepi mau pun ramai, pantai ini tetaplah pantai yang memesona! Pantai ini adalah rumah bagiku. Rumah ini memang memesona. Enggan pindah dari sini. Aku hanya akan mengisi dunia matiku di sini saja. Bersama Bless, tentunya. Bless, lelaki besar dengan ukuran sepatu 45 adalah senyum termanisku! Setiap bersamanya senyumku tersungging di bibir. Bibir yang dingin, katanya padaku. Ya, sedingin pelukannya. Bersamanya selalu saja ada alasan untuk tertawa. Bergandengan tangannya membuatku merasa istimewa. Memeluknya menyamankanku. Tempat terindahku ada di dalam pelukannya yang menenangkan. Damaiku mengalun saat nada-nada lagu didendangkannya untukku. Senyumnya yang sedikit melindungiku dari segala hal. Tawa dan seluruh candanya adalah penghibur yang luar biasa. Keseriusannya membawaku pada sebuah ruang bernama hening. Dan tangisnya adalah pernyataan bahwa dia pun sama sepertiku,membutuhkan kasih yang menyembuhkan

(22) Err Dan Bless, Bersamamu Dalam Hitam

Laut ini masih laut yang sama, dengan ombak  yang sama, hamparan butir pasir yang juga sama, hembusan angin yang sama, dan cahaya matahari yang memang sama. Semua sama seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda. Menikmati sinar matahari yang memanas di kulit pastilah menyenangkan sekali! Tapi tidak untukku. Matahari tidak bisa menyengatkan sinarnya padaku. Hai, betapa luar biasanya hidup di dunia ini! Di saat kamu berjemur ingin menggelapkan kulit, aku tak dapat disentuh oleh panasnya sedikit pun. Dan saat kamu berlindung dari sengatan matahari, aku memang tak dapat menggelap! Gaun hitamku selalu berkibar seperti layar kapal dihembus angin. Rambut seleher diacak angin. Tapi biar saja, kubiarkan terlihat seperti sedang dipermainkan angin. Padahal mana mngkin angin menyentuh gaun dan rambutku? Dunia berbeda yang memberi perbedaan besar. Ini gaun hitam yang amat kusuka! Tanpa renda, tapi membuatku merasa anggun. Ayah yang membelikan untukku. "Kamu cantik dengan gaun hitam, Ell

(21) Err Dan Bless, Aku Ada Karena Keberadaanmu

Dear Bless, apakah kamu tahu bahwa aku mengasihimu setulus hati? Apakah kamu tahu aku mencintaimu sepenuh cinta yang kurasa? Apakah kamu tahu merindumu tanpa jeda adalah kegilaan yang memaksaku terus-menerus ingin bersamamu? Semoga kamu tahu, bahwa menjadi bagian dari detik milikmu adalah hal yang amat istimewa bagiku. Bahwa berada dalam dekapanmu adalah keindahan luar biasa untukku. Bahwa dalam genggamanmu aku merasa menjadi perempuan cantik. Bahwa saat mendengar suaramu melambungkanku ke langit tanpa batas. Bahwa melihatmu adalah magic untukku! Bahwa denganmu aku bukan perempuan yang tersia-sia, apalagi disia-siakan. Aku merasa ada karena keberadaanmu dalam gerakku. Err Kulipat secarik kertas sederhana berwarna hitam, lalu memasukannya ke dalam gunungan guguran bunga yang ada di taman pantai ini. Perlahan bangkit bangun. Gaun hitamku berkibar terkena angin yang berhembus lembut. Rambutku pun dihela angin. Pantai ini sepi. Air laut tenang, tak ada ombak, hanya ad

(20) Err Dan Bless, Masa Lalu Sudah Usai

Aku baru menyadari bahwa apa yang sedang terjadi adalah sebuah mimpi kosong yang kamu beri untukku. Semua pernyataan dan pertanyaanmu tentang aku dan tentang  rasa yang kumiliki terhadapmu hanyalah sebuah kisah kasih yang kosong. Aku baru menyadari bahwa semua yang terjadi dulu hanya sebuah guyon halus yang menerbangkanku jauh tinggi ke atas awan! Aku cuma secelah sempit tentang kasih yang ada. Kung! "Err, ada apa?" Lelaki besar yag selalu mendampingiku di dunia mati menyentuh bahuku perlahan, membuat lamunanku pecah seketika. "Tidak ada apa-apa, Bless." "Lalu kenapa kamu seperti hanyut dalam sebuah kenangan? Berapa banyak kenangan yang kamu punya?" Aku tersenyum padanya. Bless, andai kamu tahu apa yang ada dalam kenanganku. "Ceritakan padaku." "Tidak, ini hanya untuk kukenang sendiri. Tidak untukmu." Wajahnya berubah menjadi sendu. "Oh, ada rahasia yang kamu simpan, ternyata." Bless, kamu tidak tahu