Skip to main content

(26) Err Dan Bless, Hujan Masa Lalu

"Bleeess, hujaaan!"

Aku berlari-lari ke arah Bless yang sedang melempar-lempar batu ke laut. 

"Bleeeess! Hujaaan!"

 Bless membalikkan badan ke arahku. Seperti biasa membuka lebar kedua tangannya siap memelukku yang datang semakin dekat.

Masuk dalam pelukannya yang dingin memang selalu membuatku tenang.

"Bless, hujan."

"Iya, hujan. Kamu tidak basah, kan?"

"Hahaha, tidak, Bless."

"Lalu kenapa kamu berlari sambil berteriak memberitahuku bahwa hujan turun?"

Aku terdiam, tak bicara sepatah kata pun. 

"Hey perempuan, bicaralah. Jangan diam. Tadi kamu berlari sambil berteriak keras, lalu sekarang kamu diam? Beritahu aku, ada apa? Kamu punya kisah tentang hujan di masa lalu? Atau kamu ingin membuat kisah tentang hujan dan kita?"

"Hujan selalu membuatku merasa tenang dan damai. Hujan memberiku kehangatan yang dingin. Hujan memelukku dengan seluruh airnya yang menyentuh kulit. Hujan memberiku gigil yang nyaman, dan memberi nyaman yang penuh gigil."

"Err, perempuanku yang perempuan. Kurasa ada banyak kalimat berlari di kepalamu. Mana sini, biarkan kubaca isi kepalamu sekarang."

Bless memegang kepalaku, berpura-pura seakan sedang membaca.

"Heeey, tak ada apa-apa di sana. Tak ada satu kalimat pun bicara di kepalamu. Jadi, ayolah bicara dengan mulutmu, bicara padaku, beritahu aku tentang hujan yang ada dalam kisahmu yang panjang."

Aku tertawa mendengar kalimatnya yang menurutku lucu.

Digandengnya tanganku, lalu kami berjalan menuju gundukan batu pembatas pantai. Duduk di sana sambil mengecipakkan air laut dengan dua kaki kami. Sinar matahari memancar tapi tidak menggosongkan kulit. Angin menyapu pori-pori lembut.

"Err, perempuanku. Ayo ceritalah sekarang, sebelum kepalamu meledak karena terlalu penuh dengan cerita masa lalu yang disimpan erat."

Suaranya terdengar amat serius namun hangat. Ah, mana pernah Bless bicara tanpa hangat menyertai? Dia selalu hadir dengan kehangatan yang luar biasa. Dia pun selalu memberi hangat dalam setiap geraknya.

"Ok, aku akan berkisah tentang hujan dan seorang perempuan. Namanya sebut saja, In. Dia perempuan yang selalu saja ingin bermandi hujan. Dipeluk hujan adalah keinginan terdalamnya setiap kali. Perempuan keras padahal dia lemah. Dan itu disadarinya. Walau sering kali orang tuanya menganggap dia sebagai seorang laki-laki, In tetaplah perempuan yang perempuan."

"Siapa In? Apakah dia sahabatmu? Atau dia hanya seorang yang kamu kenal di masa lalu, Err?"

"In adalah seorang perempuan di masa lalu yang amat kukenal. Dia tidak cantik, tapi dia percaya bahwa dia cantik, seperti yang selalu diucapkan oleh ayahnya sejak kecil. In seorang perempuan yang memiliki confidence tinggi. Ayahnya yang menanamkan rasa percaya diri begitu besar dalam hidupnya. Cantik, pintar, baik, penyayang, penuh kasih. Ayahnya selalu berkata bahwa dia perempuan yang melelaki dan luar biasa! In seorang perempuan yang amat mengasihi ayahnya, mencintainya hingga akhirnya meniru sikap beliau dalam hadapi hidup. In bukan perempuan pengecut. Bukan seorang yang cengeng, tapi juga kadang menangis. Ya, Bless, namanya In."

Bless menggenggam jemariku erat. Ditatapnya aku lekat-lekat dari sisi duduknya.

"Bless, In mencintai hujan karena hujan merancukan antara hujan dan air mata yang deras turun dari matanya. Sejak dia mengenal lelaki yang dicintainya, air matanya mengalir hampir setiap detik. Dia merindukan hujan setiap detik, sesering hati meluka, sesering itu pula dia rindu bermandi hujan. Seluruh kisah gelap yang mencekam terasa luruh diguyur hujan. Riang menyambut hujan!"

Bless memeluk bahuku.

"Err, perempuanku, siapakah In? Apakah dia masih menyukai hujan walau lukanya sudah hilang?"

"Kurasa dia masih mencintai hujan sampai saat ini. Luka-lukanya tak seperti dulu, sudah membaik. Hanya saja baginya hujan tetaplah cinta yang dalam."

Bless mengecup rambutku, lembut. 

"Sampaikan salam penuh kasihku untuk In, Err. Katakan padanya, Bless, lelaki tinggi besar ini, mencintainya sepenuh kasih. Katakan padanya, aku pun mencintai hujan. Aku juga suka diterpa air hujan. Katakan padanya, mulai saat ini, tetaplah bersamaku menikmati hujan, bersamaku bermandi hujan, tanpa air mata. Bermandi hujan dengan kebahagiaan saja. Katakan padanya, aku mencintainya."

Bless!

"Bless, perempuan itu In."

"Ya, dan In adalah kamu."

Bless, lelaki besar yang amat mengenalku. Walau pun kusamarkan cerita perempuan pecinta hujan, Bless tetap tahu bahwa In adalah aku.

"Aku mencintaimu, Err, In, siapa pun namamu. Aku mencintaimu dengan kasih yang kupunya."

Bless!

"Kita sama-sama mencintai hujan, sama-sama memiliki cerita di masa lalu. Bedanya hanya kamu perempuan dan aku lelaki. Tapi justru karena itu kita saling mengasihi. Satu saat nanti aku akan bercerita padamu tentang masa laluku. Hingga saat ini aku masih belum bisa berkisah tentang itu. Bukan terlalu menyakitkan, tapi karena aku mencintaimu. Aku tak ingin mencampur aduk antara masa lalu dengan masa sekarang yang bahagia bersamamu. Masa lalu untukku hanya kisah yang pernah ada. Tapi bersamamu bukan kisah, tapi kebahagiaan yang meraja."

Bless!

"Kamu tahu, Err, aku melihat dengan biji matamu saat kembali ke masa lalu. Memandang dengan separuh matamu, dan separuh rongga kosong mataku. Itu menyempurnakanku."

Bless!

"Apakah kamu ingin tahu tentang masa laluku, Err? Atau biarkan saja masa lalu dikubur bersama jasad tak utuhku dulu?"

Bless!

"Jasad tak utuh? Maksudmu, Bless?"

"Tenang, Err. Satu saat nanti aku akan menceritakannya utuh padamu. Itu pun jika kamu memang sungguh-sungguh ingin tahu."

"Aku mengerti, Bless. Jangan memaksa diri bercerita jika itu tak nyaman bagimu."

Kusandarkan kepala di bahunya. Amat nyaman bersamanya! Bahagia mengalir, memenuhi setiap inci hidup. 

Bless, aku mencintaimu!

Aku, Err, dan dia, Bless. Kami sepasang hantu, tanpa raga berbaju hitam, yang mengisi dunia mati di pantai. Menikmati dunia mati dengan saling mengasihi.

Aku, Err, hantu perempuan bergaun hitam yang dicintai oleh Bless, hantu lelaki besar yang juga berbaju hitam. Dan aku pun mencintainya sungguh-sungguh.

Saat kuhidup di masa lalu, di dunia hidup yang saat ini kamu berada, aku mencintai hujan karena ingin menutupi kelam cerita berair mata. Dan tak seorang pun mau tahu tentang hal itu, walau aku pernah bercerita tentang ini pada orang terkasihku dahulu. Malah dia menambah luka hati, dan menambah cintaku pada hujan. 

Dan saat sekarang sesudah meninggalkan dunia hidup, menetap di dunia mati, kutemukan Bless, lelaki besar yang mau dan bisa mengerti apa yang kurasakan.

Kurasa siapa pun pasti ingin dimengerti, begitu juga aku. Kurasa kamu pun ingin dimengerti. Kita semua ingin bisa dimengerti oleh yang lain. Jadi kenapa tidak dimulai dari diri sendiri? Mulai sekarang, belajar untuk mau dan bisa mengerti tentang yang lain. Seperti Bless dan aku. 

Indah sekali saat saling mengerti. Amat membahagiakan.

Bagaimana denganmu? 

Jangan pertanyakan apakah aku, Err, dan dia, Bless, ada atau tidak. Kami di berada di dunia mati setelah masa hidup berakhir. Melihatmu dan yang lain berinteraksi. 

Jika kami melihat kalian tidak mau dan tidak bisa saling mengerti, kami pasti datang untuk memperlihatkan betapa indahnya dunia saat kita saling mau mengerti.

Angin membisikkan padamu kedatangan kami, dengan hembusan dinginnya yang lembut menerpa pori-pori di tubuhmu, dan membuat berdiri bulu tengkukmu.

Aku, Err, dia, Bless. Kami melihatmu dari sini.


Nitaninit Kasapink







Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI