Skip to main content

(27) Err Dan Bless, Kasih Itu Istimewa

Bless berlari sekuat tenaga ke arahku.

"Err! Err!"

Suaranya menggema memanggil. Menggaung.

"Err!"

Teriakannya seakan bisa memecahkan karang, tapi telingamu tak bisa mendengarnya. Hanya ada sunyi, senyap.

Jejak kakinya tercetak di pasir. Sebagian malah beterbangan. Angin berhembus amat kencang hingga daun-daun kelapa berdansa mengikuti iramanya.

Ombak bergulung besar lalu pecah di pantai. Pasir menyurut ditarik ombak yang datang dan pergi.

"Err!"

"Ya, sudah, tidak usah berteriak lagi. Aku sudah ada di hadapanmu, lelaki besar."

Dia tertawa hingga menyipit mata.

"Ada apa, Bless? Ada hal penting yang hendak dibicarakan? Kamu hendak melamarku?"

Tawa kami lepas bersama.

"Aku punya ide bagus!"

"Ide apa? Tumben sekali kamu punya ide bagus, big guy!"

Aku terbahak melihat matanya membelalak.

"Err, aku serius."

"Yes, bicara saja."

"Kita pergi dari sini!"

Tangannya menggandengku tergesa. Langkah besarnya membuatku setengah berlari mengikuti.

"Bless, kita hendak ke mana?"

"Sudahlah, ikut saja."

"Kamu mau melamarku?"

Genggamannya semakin mengencang.

Ya, aku juga menyadari bahwa hal itu tidak mungkin untuk kami. Hai, ini dunia mati!

"Bless! Ini tempat liburan dan rekreasi! Ini tempat bermain yang dulu sering kudatangi!"

Senyumnya melebar. Alis tebalnya yang sering kali membuatku iri dinaikkannya.

"Yes!"

Seorang anak lelaki kecil mendekati kami, tertawa kecil menunjukku.

"Kamu bisa melihat kami?" Tanyaku pelan.

Dia tertawa, mendekatiku seperti hendak memeluk.

"Err, dia bisa melihatmu!"

Bless setengah berteriak.

Dia pun menoleh ke Bless, tersenyum.

"Bless, dia pun bisa melihatmu! Dan dia tidak takut!"

Bless mendelik ke arahku.

"Maksudmu? Seharusnya dia takut saat melihatku yang tinggi besar bermata satu? Begitu?"

Aku tertawa mengikik.

Seorang perempuan muda yang kurasa adalah sang ibu, datang mendekati, lalu menggandengnya.

"Mama, ada tante dan om. Mereka berbaju hitam. Mata mereka satu."

Sang ibu menoleh ke arah yang ditunjuk.

"Hai, aku tahu kalian ada. Aku juga percaya kalian baik. Buktinya Kung bisa melihat kalian dan dia tidak takut."

Suaranya riang, terkesan tidak takut.

Kudekati dia, lalu kubisikkan di telinganya,"Terima kasih."

Kurasa dia mendengar bisikanku, karena kulihat dia mengangguk.

"Selamat bermain, Tante, Om! Kung ke sana, ya."

Kami membalas lambaian tangan kecilnya.

"Bless, mereka tidak takut pada kita!"

"Ya, kan kita tidak mengganggu mereka."

Digandengnya lagi  tanganku.

"Aku mau main itu!" Seruku sambil menunjuk ke arah roller coaster.

"Berani?"

"Dulu aku tidak boleh naik permainan itu oleh bapakku. Bahaya, kata beliau. Ndak mati mengko."

"Ndak mati mengko?"

"Iya, itu bahasa Jawa, kurang lebih artinya bisa mati nanti."

Bless terkekeh.

"Ayo, kita naik!"

Tidak perlu mengantri seperti manusia hidup. Kami hantu! Pilih saja yang kami mau!

Mau tahu apa yang kurasakan saat permainan ini membawa turun naik?

"Bleeeess!"

Lalu kami berdua tertawa-tawa.

Ternyata permainan ini tidak membuatku mati! Tentu saja tidak, karena aku sudah mati sebelumnya! Jadi apa yang dikhawatirkan oleh bapakku tidak menjadi kenyataan. Buktinya aku mati karena sebab lain. Bukan karena permainan berbahaya atau karena perbuatan konyolku. Kematianku disebabkan oleh hal lain. Nanti satu waktu akan kuceritakan kenapa aku berada di sini, di dunia mati.

"Yuk, Err. Kita ke permainan berikutnya."

Aku memeluknya. Bless, terima kasih.

"Ayo Err, kita ke sana!"

Entah hanya perasaanku saja, beberapa pasang mata melihat ke arah kami, dan mereka tersenyum. Pandangan mereka ramah, bukan melihat dengan ketakutan karena melihat sepasang hantu berbaju hitam.

Bless, terima kasih. Kamu sungguh baik padaku. Perhatian yang tak pernah kudapat saat masih berada di dunia hidup, kudapatkan saat berada di sini, di dunia yang dulu menakutkan.

Bless, terima kasih, kasihmu yang tulus membuatku merasa menjadi istimewa!

Dalam rengkuhannya, aku tenang, dan nyaman.

Kamu yang sedang menjalani hidup di dunia penuh cahaya yang berwarna, apakah kasih juga melingkupimu? Apakah kamu juga merasakan bahagia saat berada dalam rengkuhan terkasihmu?

Aku, Err, hantu perempuan yang bergaun hitam, merasakan kasih yang tulus setelah berada di dunia mati. Semua karena Bless, hantu lelaki tinggi besar yang mengasihiku.

Sekarang jujurlah padaku, apakah kekasihmu mengasihimu dengan baik atau tidak? Jika tidak, sebutkan namanya, tengah malam nanti akan kudatangi dia. Memberitahunya betapa menyakitkan saat tidak dikasihi tulus, dan betapa membahagiakan saat merasakan ketulusan kasih.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu berbaju hitam yang saling mengasihi. Jangan pisahkan kami, hanya itu pintaku.

Jangan pertanyakan kami ada atau tidak, saat ini kami sedang memandangmu dengan senyum penuh kasih.



Nitaninit Kasapink
















Comments

  1. Isshhhh err dan bless suka rollercoaster nih :D. Sama dunk kayak aku hahaha.. Pecinta berat rollercoaster dan wahana extreme :). Ga sabar nunggu cerita kenapa err dan bless ini bisa meninggal mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha :D
      Err dan Bless suka aktivitas yang disukai manusia, Fann. Kan mereka juga dulunya manusia :D
      Kisah kematian Err dan Bless, tunggu tanggal mainnya, ya :D

      Thank you ya, Fann :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI