Skip to main content

(28) Err Dan Bless, Menikah

Pantai ini memang selalu memberi nyaman untukku. Pasir lembutnya memijat telapak kaki, menempel saat kaki basah oleh air laut, dan menjadi bersih setelah dibasuh kembali oleh air laut. Di tempat inilah seluruh angan disimpan, juga di sinilah mengubur sebagian mimpiku.

Aku suka angin laut yang menghembus kencang, memainkan gaun hitamku, mengacak-acak rambut seleherku. Ini mengusik masa lalu yang kerap datang di hari-hariku.

"Apa cita-citamu?"

Guru wali kelasku saat aku SD di kelas pertama menanyakan itu pada kami, seluruh murid. Banyak teman-teman berteriak ingin menjadi dokter.

"Err, apa cita-citamu?"

"Pengantin!"

Aku menjawab dengan lantang.

Kelas menjadi ramai setelah mendengar jawabanku. Sedangkan ibu guru amat terkejut.

"Err, apa cita-citamu?"

"Pengantin, Bu Guru."

"Dokter, insinyur, pilot, astronot. Ada banyak pilihan, kenapa cita-citamu jadi pengantin?"

"Aku suka jadi pengantin."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin punya adik. Setiap orang yang jadi pengantin, pasti punya adik bayi. Aku ingin punya adik bayi."

Guruku diam tak menjawab.

Ya, itu cita-cita pertamaku, menjadi pengantin. Dan saat kami sekeluarga datang ke pantai ini saat kukecil, kuletakkan sebuah surat untuk Tuhan, agar mengabulkan cita-citaku menjadi pengantin.

Pantai ini menyimpan anganku.

Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya aku mendewasa dan dilamar Su, cita-cita pertamaku terkabul! Jadi pengantin!

Tapi di sini pula kukubur bagian mimpiku menjadi pengantin yang berbahagia. Di pantai ini kutulis surat pada Tuhan, betapa hancurnya aku saat menjadi pengantin seorang Su selama bertahun-tahun.

Menikah menjadi sebuah cita-cita sekaligus sebuah kesakitan yang bagai tak tersembuhkan!

"Err. Lagi-lagi kamu melamun!"

Bless! Lelaki tinggi besar ini memang selalu saja mengusik lamunanku.

"Err, berkelana dalam masa lalu lagi?"

"Iya. Ingat tentang cita-cita pertamaku."

"Cita-cita pertamamu? Apa cita-cita pertamamu?"

"Jadi pengantin!"

"Hah?"

"Kenapa? Huh, apa ada yang salah dengan cita-citaku itu? Tapi ya memang salah, karena cita-cita pertama yang sudah kuraih itu mengandaskan seluruh mimpi dalam kehidupanku. Dan hampir saja membuat seluruh kisah hidupku berkeping-keping!"

Aku berteriak marah. Bless kehilangan senyumnya sejenak. Ditatapnya aku dalam-dalam.

"Cita-cita bodoh! Itu kebodohan terbesarku, Bless! Tidak seharusnya itu menjadi sebuah cita-cita! Pernikahan! Itu sebuah kebodohan dan kesalahan besar!"

Amarahku meluap. Ombak berdebur keras. Angin menderu kencang. Alam pun merasakan kemarahanku!

"Su! Dia lelaki yang tak pernah mencintaiku! Tapi kenapa dia malah menikahiku? Bukankah pernikahan terjadi karena ada cinta kasih, Bless? Pernikahan hanya kebohongan dalam hidupku! Su hanya membuat jejak yang tak pernah bisa hilang dari kisahku, dan teramat dalam sakitnya!"

Matahari menyengat makin gila. Cahayanya menyilaukan mata, apalagi saat dipantulkan oleh gelombang laut yang juga menggila!

Bless menatapku tanpa berkedip.

"Bless, aku benci cita-cita pertamaku! Bless, aku benci semua itu!"

Bless meraih kepalaku, dimasukkannya ke dalam pelukannya yang erat. Lembut dielus rambut seleherku.

"Bless, aku lelah."

Makin erat pelukannya.

"Bless, jika kita bertemu saat dulu, bertemu di masa lalu, apakah kamu akan menikahiku? Apakah kita akan seperti sekarang? Mengisi waktu bersama dengan kasih? Apakah tak akan pernah ada kemarahan, caci maki, yang kuterima? Bless, apakah kamu memelukku erat seperti sekarang jika kita bertemu di masa lalu?"

Tangisku mulai pecah.

Bless tidak menjawab, tapi terasa ada yang membasahi rambutku.

"Bless, kamu menangis?"

Tidak ada jawaban.

"Bless, aku tidak suka berandai-andai. Tapi jika saja aku bertemu denganmu di masa lalu, aku pasti memilih bersamamu! Tidak akan pernah ada kekerasan dalam hidupku jika saja kita bersama sejak dulu."

Kami saling memeluk erat. Sepasang hantu berbaju hitam tenggelam dalam tangisan yang pilu karena kisah hidup di masa lalu.

"Berjanjilah padaku, Bless. Jangan pernah tinggalkan aku."

Kurasakan kecupan lembut di rambutku.

Kami sepasang tanpa raga bermata satu, yang berbaju hitam di pantai, mengisi waktu dengan berbagi kasih, berbagi pandang, berbagi kisah. Masa lalu yang dilewati bukan hal yang indah untuk dikenang. Dan itu membuat kami menyadari bahwa berbagi kasih adalah hal terindah.

Kehidupan di dunia bercahaya yang seharusnya penuh dengan kisah bahagia penuh kasih, tertulis dalam kenang. Tak bisa kami hapus, tak bisa diubah. Pahit dan manis adalah hal yang sudah terjadi. Saat ini hanya bisa dikenang, karena tak bisa kembali ke masa lalu.

Memperbaiki kisah masa lalu hanya bisa dilakukan saat ini. Menyikapi segala sesuatu dengan penuh kasih. Hari ini penuh kasih, maka saat berada di hari esok, masa lalu menjadi kenang yang indah.

Hari ini memenuhi gerak dengan kasih yang tulus, setiap hari. Kami tak ingin memiliki masa lalu penuh dengan tinta amarah, kecewa, dan tangis pilu.

Kamu yang masih berada di dunia hidup, bagaimana denganmu? Memenuhi hari dengan kasih, atau memenuhi dengan kebencian yang penuh caci maki dan amarah?

Bagaimana dengan pernikahanmu? Seperti milikku, ataukah seperti yang kujalani saat ini setelah berada di dunia mati?

Aku, Err. Dia, Bless. Kami memang hantu berbaju hitam yang menikmati pantai dan memandang laut setiap kali. Tapi kami berdua berbagi kasih. Bless mengasihiku dengan kasihnya yang besar, begitu pula aku. Kumengasihi Bless dengan seluruh kasih yang kumiliki.

Jangan pertanyakan apakah kami memang benar ada atau hanya kisah bohong belaka. Kami selalu memerhatikanmu dari sini, dunia mati.


Nitaninit Kasapink,

  









Comments

  1. Agak lama ga membaca kisah err dan bless mba :) .. Aku ketinggalan bbrp episode.. Mau mulai membaca mundur dulu :D. Semoga err dan bless beneran menikah di dunia mati :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan, Mbak. Nanti Err Dan Bless, akan ada kelanjutannya lagi, Mbak. Terima kasih sudah membaca.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI