Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2014

error,"Siapa memindahkan dan menyembunyikan kalung?"

"Bikin kalung, Ma?", tanya Ngka sebelum dia pamit pergi ke rumah sahabatnya. "Yup", jawabku. "Udah lama Ngka ga lihat Mama bikin kalung", katanya lagi. "Ma, bagus", kata Esa tersenyum, dan kujawab dengan senyum juga. Pink ikut memperhatikan aku yang sedang merangkai kalung. Akhirnya selesai sudah kalung pertama, lalu aku lanjutkan kalung ke-dua. Aku sama sekali tak beranjak dari dudukku. Sebuah kesibukan yang asyik, untukku. Selesai sudah 2 kalung, aku ingin mencobanya. Tapi... "Sa, lihat ga kalung yang 1?", tanyaku pada Esa. "Lah kan sama Mama", jawabnya. "Ga ada. Tadi sesudah selesai dirangkai, ya Mama letakkan di sini", ujarku sambil menunjuk wadah tempat kalung yang sudah selesai. "Memangnya ga ada?", tanya Esa. "Ga ada. Mama kan ga kemana-mana. Mama dari tadi cuma duduk di sini, ga geser", jawabku. "Pink, kamu ngumpetin kalung Mama? Jangan iseng", kata Esa. Pink yang sedang asyik m

error bercerita,"Lelaki di ujung jalan"

Aku melihatnya tersenyum padaku. Lagi, dan lagi, senyum itu membuatku tertunduk. Mengapa dia selalu tersenyum padaku? Ah, lalu kutergesa berjalan setengah berlari. "Mbak", sapanya. Seperti biasa, dia menyapaku setiap kali bertemu. Ah, mengapa pula dia merasa harus menyapaku? Dan aku tak memperdulikan sapaannya itu. Aku terus saja setengah berlari, malah semakin cepat. Aku melihatnya pertama kali bertahun silam. Lelaki itu selalu ada di ujung jalan itu. Dia selalu tersenyum, dan menyapaku. Tak pernah bosan dilakukannya itu padaku. Ramah? Ya mungkin ramah. Tapi aku tidak menyukai hal itu! Untuk apa pula dia ramah padaku, sedangkan pada yang lain, dia tidak menampakkan senyumnya, juga tidak menyapa. Usianya mungkin sekitar 40 tahun, wajah bersih tanpa kumis, tanpa cambang, juga tanpa jenggot. Rapi. Menggunakan pakaian layaknya orang akan berangkat kerja. Dia selalu ada di situ setiap aku berangkat kerja, dan ada di situ pula saat aku pulang kerja. Tak kusangkal, terkadang wajah

error bercerita,"Luka Cakar"

Aku melihat wajah dan tangannya penuh dengan bekas luka. Wajah tenang itu terlihat lelah. Aku menghapus peluh yang mulai turun dari rambut pendeknya menuju tengkuk. Dia sahabatku, lama tak bertemu, baru sebulan ini kami sering bertemu, dan aku selalu mendengarkan cerita hidupnya. "Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja", ujarnya. Aku tersenyum, dan tetap menghapus peluh yang terus menerus hadir basahi seluruh kepalanya, juga wajahnya. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku", ujarnya lagi. Aku masih memandangnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirku. Bagaimana mungkin aku tak mengkhawatirkan keadaannya setelah melihat sendiri bekas luka yang hampir penuhi tangan dan wajahnya. "Cinta? Apakah kamu tahu tentang cinta? Dia selalu menyebutkan cinta padamu, tapi dia melakukan ini padamu? Percayakah kamu bahwa cinta itu saling menyayangi, saling mengerti, saling memotivasi, saling menguatkan? Apakah bekas luka di tubuhmu ini adalah tanda cintanya padamu?",

error bercerita,"Tragedi Err dan San"

"Aku tidak akan pernah membuat kebahagiaanmu berkeping. Aku telah berjanji pada Tuhan, aku tidak akan pernah menyakitimu. Tapi jika ternyata cinta dan perhatianku padamu ini menyakitimu, aku berjanji, aku tidak akan pernah mengungkapkan cinta ini lagi. Aku berhenti dari hubungan ini", ujarku pada San. Aku berusaha menahan airmata agar tak luruh. San diam memandangku, lalu menjawab dengan gaya terlihat acuh tak acuh,"Terserah apa pun katamu. Aku bisa hidup sendiri. Tanpa siapa pun, aku bisa". Dalam hati aku mengeluh, mengapa tak ada rasa ingin mempertahankan hubungan yang telah dijalin beberapa lama ini. Rasanya ingin berteriak, mengapa tidak berusaha introspeksi tentang hubungan ini. Mengapa hanya mengedepankan keras hati tanpa ingin memperbaiki, tanpa melihat lagi dengan baik apa yang terjadi sebenarnya di antara aku dan dia. Antara aku dan San sudah lama berhubungan sebagai seorang teman, lalu menjadi sahabat.Setelah lama bersahabat, akhirnya cinta itu datang. Hh

error bercerita,"Misteri Dua Lukisan Wanita"

Lukisan itu ada di belakang rumah. Seperti gambar-gambar manga Jepang. Ada 2 lukisan, dan dua-duanya lukisan seorang perempuan dengan mata besar, rambut ikal bagus. Lukisan yang bagus, dan itu sudah ada sejak aku masih di Taman kanak-kanak, dulu ada di kamarku. Tapi sekarang aku harus memusnahkan lukisan itu. ke dua lukisan itu akan kubuang jauh! Ya, akan kubuang! Awalnya aku menyukai lukisan itu. Serasa mempunyai teman. Dulu aku suka mengajaknya bicara. Tapi sekarang, aku takut... "Lukisan itu, yang ada di belakang itu, itu milik siapa?", tanya seorang teman. "Milikku sejak kecil", jawabku. "Siapa dia?" "Mana kutahu" "Menyeramkan" Dan cuma sampai di situ percakapan kami mengenai lukisan itu. Aku heran mengapa temanku itu takut pada lukisan cantik. Hingga satu saat, aku mendengar suara memanggilku,"Errrr". Lembut dan riang. Suara yang tak aneh sebenarnya karena aku sering mendengar, tapi aku tak pernah perdulikan. Hm

error bercerita,"Hai, aku Err... Jangan takut"

Hai, namaku Err. Aku baru pindah ke sini. Di sini dingin, tidak seperti tempat tinggalku sebelumnya. Di sini ramai, tapi suasananya terasa sepi. Jauh berbeda dengan tempat tinggalku dulu. "Owh hai, kun...!!", seruku pada seorang teman yang tinggal di seberangku. Tapi seperti biasa, dia cuma tertawa mengikik. Teman yang aneh. "Gen!! Mau kemana?", aku berseru ramah pada seorang teman yang lewat, tapi dia cuek saja, sama sekali tidak memperdulikanku. Tempat ini aneh, tapi aku berusaha beradaptasi dengan suasana yang ada. Di sini, suasana malam pun berbeda. Banyak anak kecil berkeliaran, berlari-lari, bermain. Orangtua macam apa yang mengijinkan anaknya masih bermain di malam hari? Seharusnya mereka beristirahat, tenang di rumah, berada di tempat yang hangat, bukan malah bermain di luar rumah, berlari-lari, dan berteriak-teriak. Dan masih banyak lagi mereka yang riwa-riwi di luar rumah. Tertawa-tawa, dan ada juga yang hanya diam di luar rumah. Gelap, keadaan gelap, ta

error bercerita,"In"

"kamu?" "Ya, mbak" "Aku akan melapor ke polisi, In" "Ya, aku juga akan melaporkan pada polisi, mbak" Aku mengeluarkan ponsel dari kantong jeans kumalku, tapi ufh, mengapa di waktu seperti ini sinyal yang biasanya bagus, malah mendadak jelek. Aku mencoba dan mencoba terus. "Dia kakakku, mbak. Namanya Mata. Tapi matanya tidak cukup awas terhadap kehidupan. Mata hanya menilhat harta benda, bukan melihat pada keindahan anugerah. Dulu sekali kehidupan kami amat bagus. Rumah kami amatlah besar, dengan halaman yang besar. Mobil berjejer di carport dan ada yang di halaman. Sopir pun selalu siap sedia mengantar jemput kami. Sama sekali tidak berkekurangan. Semua aman, tentram, dan damai", In bercerita sambil matanya menerawang kosong, sedangkan aku masih sibuk mencoba menelepon. Argh, kemana sinyal yang menurut iklan selalu bagus? Pengiklan memang selalu saja pandai menarik konsumen untuk mempercayainya. "Dia satu-satunya saudaraku. Hanya

error,"di manakah kamu?"

mencoba menghitung bintang mencarimu di antara butiran kenang yang ada  hanya  udara yang hening di manakah kamu? dan saat menengok hati ada sebaris nama ya, namamu... tapi di manakah kamu? dan bintang-bintang pun lenyap ditelan air hujan yang turun dan bintang-bintang pun musnah digempur sang guntur dan aku masih bertanya di manakah kamu?? -error dalam diam-

error,"GUSTI, jangan pergi"

GUSTI, aku datang lagi dalam suara yang hening cuma telingaMU yang mendengar teriakan yang sepi GUSTI, lenguhan lelah rintihan semangat menari di sudut senyum dan cuma mataMU yang melihat ada tangis di tawa dan GUSTI, ijinkan kupejam mata sejenak ya... tapi kumohon jangan pergi... tetaplah di sini... -error-

error,"GUSTI, selamat pagi..."

GUSTI,  selamat pagi... ooops, aku harus membuka pintu dulu... bersediakah menanti, GUSTI? GUSTI, udara ini segar! masuk dalam tubuhku dan menyegarkanku betapa HEBATNYA GUSTI... dan gratis pula...! MAkASIH ya GUSTI... GUSTI, malam tadi tidurku nyenyak nyenyamuk yang bersuara layaknya sirine, ditelan malam, dan hening... betapa HEBATNYA GUSTI... sanggup menghentikan nyamuk yang usil menjarah... MAkASIH ya GUSTI... GUSTI, aku terlalu cengeng hadapi dah jalani hidup, ya? padahal bahagiaMU selalu ada di setiap denyut nadi di detak jantung di helaan nafas ah, ampuni aku ya... masih saja terkadang mengalir airmata dan duduk terpaku tak bergerak padahal sang waktu menunjukkan banyaknya anugerahMU GUSTI, aku mau masak dulu masih tetap menemaniku kan? jangan pergi ya ada banyak cerita seperti biasa untukMU... dan dalam hati ada suara "amin" -error, pagi hari sebelum masak untuk kasapink-

error,"GUSTI, amin..."

dan saat ini, GUSTI aku duduk di atas kasur tipis tanpa kopi pahit tapi ada senyum tipis di garis wajah yang dipahat takdir GUSTI, tadi aku berpacu dengan asap knalpot menuju riuh rendah suara airmata tangis dan sepi akan senyuman pedagang mainan ada di luar minuman ada digelar dan aku duduk tenang bersamanya berdua, berbincang, berbagi senyum, yang sering dilupakan banyak orang di tempat ini GUSTI, tadi dalam tasku berjejal banyak benda kecil berwarna-warni yang jadi miliknya dan wajib untuknya ah, ini arah menuju menjadi baik semoga, doaku tadi dalam hati GUSTI mendengarkah tadi? GUSTI, di rumah satu per satu benda mungil berwarna-warni masuk menyatu dalam aliran darah, dan aku melihat dia tetap tersenyum walau ada lelah di sudut matanya ah, lelah itu pasti dilahap oleh bahagia itu doaku juga tadi GUSTI, mendengarnya juga kan? GUSTI, tanpa kopi tanpa teman aku tersenyum karena kasihMU selalu mendekap dan terlihat nyata dari tidurnya yang lelap GUSTI, selagi tiga nyawa kecilku tenan