Aku melihatnya tersenyum padaku. Lagi, dan lagi, senyum itu membuatku tertunduk. Mengapa dia selalu tersenyum padaku? Ah, lalu kutergesa berjalan setengah berlari. "Mbak", sapanya. Seperti biasa, dia menyapaku setiap kali bertemu. Ah, mengapa pula dia merasa harus menyapaku? Dan aku tak memperdulikan sapaannya itu. Aku terus saja setengah berlari, malah semakin cepat.
Aku melihatnya pertama kali bertahun silam. Lelaki itu selalu ada di ujung jalan itu. Dia selalu tersenyum, dan menyapaku. Tak pernah bosan dilakukannya itu padaku. Ramah? Ya mungkin ramah. Tapi aku tidak menyukai hal itu! Untuk apa pula dia ramah padaku, sedangkan pada yang lain, dia tidak menampakkan senyumnya, juga tidak menyapa. Usianya mungkin sekitar 40 tahun, wajah bersih tanpa kumis, tanpa cambang, juga tanpa jenggot. Rapi. Menggunakan pakaian layaknya orang akan berangkat kerja. Dia selalu ada di situ setiap aku berangkat kerja, dan ada di situ pula saat aku pulang kerja. Tak kusangkal, terkadang wajah klimisnya membayang di benakku. Bertanya-tanya dalam hati, siapa namanya, bekerja di mana, sudah beristrikah dia, atau siapakah kekasihnya, dan berapakah putranya jika dia sudah beristri. Ah, sudahlah, tak perlu dipikirkan tentang dia. Tapi tetap saja bayangnya melekat di benakku. Bayangkan saja, sudah bertahun-tahun dia melihatku, tersenyum, dan menyapaku setiap kali! Mengenal pun tidak! Ufh, untuk apa dia ada di ujung jalan itu, di tempat perhentian angkutan umum setiap kali. Pagi, siang, sore, mau pun malam, setiap aku melintas di sana, dia ada, dan tersenyum, dan tak lupa menyapaku dengan sebutan mbak.
Di kantor ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk kelengkapan tender, mengatur schedule psikotest dan interview untuk calon karyawan di perusahaan ini.
Tok tok tok! Hmm, ada tamu.
"Bu, ada orang dari outsource mau bertemu. Ada di bawah. Ibu mau bertemu atau tidak?", tanya seorang security yang tadi mengetuk pintu ruanganku.
"Duh Bapak, kenapa ga telepon aja? Lebih mudah Bapak telepon, daripada harus naik ke sini", ujarku, karena ruanganku ada di lantai 1,5. Haha, lantai 1,5! Ya, karena ada di antara lantai 1 dan lantai 2.
"Tidak apa-apa, Bu", jawabnya.
"Tunggu aja ya Pak, saya juga masih dikejar dead line tender. Atau beritahu aja, telepon dulu kalau mau ke sini. Sebentar lagi saya ada meeting", jawabku.
Dia mengangguk, lalu keluar ruanganku. Aku meneruskan sibuk menyelesaikan pekerjaanku yang diburu dead line. Tapi lalu tiba-tiba berkelebat bayangan lelaki di ujung jalan itu lagi. Ah, siapakah dia?
Tak terasa jam dinding menunjukkan waktu off kantor. Horrreee, akhirnya aku bisa pulang dan menikmati berkumpul dengan anak-anakku! Tapi berarti aku bertemu lagi dengan lelaki itu. Ah sudahlah, biar saja.
"Mbak", suara sapa itu terdengar lagi.
"Ya, mari, saya mau pulang", jawabku. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku menjawab, dan tetap menunduk!
"Silakan", jawabnya.
Setiba di rumah, aku berkumpul dengan anak-anak, dan asyik bercanda dengan mereka.
"Mama masih bertemu dengan lelaki yang di ujung jalan?", tanya anakku.
"Ya, masih. Dan tadi Mama menjawabnya!", jawabku.
"Hah? Lalu?"
"Dia menjawab lagi!"
"Lalu?"
"Ya Mama terus menunduk, dan terus saja berjalan", ujarku.
Anak-anakku memang mengetahui tentang lelaki itu dari ceritaku. Malam makin larut, satu persatu anak-anakku tidur. Aku masih terbayang lelaki ujung jalan itu. Ah, lelaki itu...
Pagi hari berangkat kerja, hatiku dag dig dug karena terbayang akan bertemu dengannya lagi. Wajah klimis dan murah senyum, juga sapaan yang ramah. Ugh! Dan oops, itu dia! tersenyum dari kejauhan, melambaikan tangan padaku. Aku mempercepat langkah menuju arahnya sebelum dia menghilang.
"Mbak, waktuku sudah tiba. Terimakasih sudah mau menjadi temanku selama ini. Selamat tinggal", ucapnya.
"Siapa kamu sebenarnya? Aku tidak tahu namamu. Maafkan aku, aku bukan teman yang baik. Maafkan aku... Sekarang kemanakah kamu?", ucapku sambil terisak.
"Bu, ada apa? Ibu sakit?", seorang ibu memegang bahuku. beberapa orang berdiri di dekatku. Ada yang menyorongkan sebotol minuman untukku. Ah, mereka tidak tahu rasa yang kupendam selama ini, bertahun-tahun tentang lelaki itu.
"Istirahat dulu, Bu", ujar si ibu tadi.
Lelaki itu menghilang sudah! Lelaki yang bertahun-tahun tersenyum dan menyapaku, hilang! Ucapan selamat tinggalnya membuatku merasa bersalah. Seharusnya sejak duu aku menjawab sapaannya, mau menjadi temannya. Aku malah menunduk, dan baru kemarin menjawab sapaannya. Itu pun sambil menunduk!
"Ibu, lebih baik ibu pulang saja. Istirahat", uajr ibu itu lagi.
"Ya, saya mau pulang saja. Terimakasih", jawabku.
Mereka pasti mengira aku sakit! Orang-orang itu mengira aku sakit! Lelaki itu pasti tahu rasa yang aku miiki selama ini. Alasanku menunduk saat melihatnya, dia juga pasti tahu. Lelaki dengan wajah klimis dan baju rapi hendak berangkat kerja, dengan lumuran darah di baju, dan darah yang menetes dari kepalanya, juga tangannya yang hampir putus setiap... Itu yang membuatku selalu menunduk. Tak ada yang menghiraukannya, karena cuma aku yang melihatnya, selama bertahun-tahun...
Aku melihatnya pertama kali bertahun silam. Lelaki itu selalu ada di ujung jalan itu. Dia selalu tersenyum, dan menyapaku. Tak pernah bosan dilakukannya itu padaku. Ramah? Ya mungkin ramah. Tapi aku tidak menyukai hal itu! Untuk apa pula dia ramah padaku, sedangkan pada yang lain, dia tidak menampakkan senyumnya, juga tidak menyapa. Usianya mungkin sekitar 40 tahun, wajah bersih tanpa kumis, tanpa cambang, juga tanpa jenggot. Rapi. Menggunakan pakaian layaknya orang akan berangkat kerja. Dia selalu ada di situ setiap aku berangkat kerja, dan ada di situ pula saat aku pulang kerja. Tak kusangkal, terkadang wajah klimisnya membayang di benakku. Bertanya-tanya dalam hati, siapa namanya, bekerja di mana, sudah beristrikah dia, atau siapakah kekasihnya, dan berapakah putranya jika dia sudah beristri. Ah, sudahlah, tak perlu dipikirkan tentang dia. Tapi tetap saja bayangnya melekat di benakku. Bayangkan saja, sudah bertahun-tahun dia melihatku, tersenyum, dan menyapaku setiap kali! Mengenal pun tidak! Ufh, untuk apa dia ada di ujung jalan itu, di tempat perhentian angkutan umum setiap kali. Pagi, siang, sore, mau pun malam, setiap aku melintas di sana, dia ada, dan tersenyum, dan tak lupa menyapaku dengan sebutan mbak.
Di kantor ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk kelengkapan tender, mengatur schedule psikotest dan interview untuk calon karyawan di perusahaan ini.
Tok tok tok! Hmm, ada tamu.
"Bu, ada orang dari outsource mau bertemu. Ada di bawah. Ibu mau bertemu atau tidak?", tanya seorang security yang tadi mengetuk pintu ruanganku.
"Duh Bapak, kenapa ga telepon aja? Lebih mudah Bapak telepon, daripada harus naik ke sini", ujarku, karena ruanganku ada di lantai 1,5. Haha, lantai 1,5! Ya, karena ada di antara lantai 1 dan lantai 2.
"Tidak apa-apa, Bu", jawabnya.
"Tunggu aja ya Pak, saya juga masih dikejar dead line tender. Atau beritahu aja, telepon dulu kalau mau ke sini. Sebentar lagi saya ada meeting", jawabku.
Dia mengangguk, lalu keluar ruanganku. Aku meneruskan sibuk menyelesaikan pekerjaanku yang diburu dead line. Tapi lalu tiba-tiba berkelebat bayangan lelaki di ujung jalan itu lagi. Ah, siapakah dia?
Tak terasa jam dinding menunjukkan waktu off kantor. Horrreee, akhirnya aku bisa pulang dan menikmati berkumpul dengan anak-anakku! Tapi berarti aku bertemu lagi dengan lelaki itu. Ah sudahlah, biar saja.
"Mbak", suara sapa itu terdengar lagi.
"Ya, mari, saya mau pulang", jawabku. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku menjawab, dan tetap menunduk!
"Silakan", jawabnya.
Setiba di rumah, aku berkumpul dengan anak-anak, dan asyik bercanda dengan mereka.
"Mama masih bertemu dengan lelaki yang di ujung jalan?", tanya anakku.
"Ya, masih. Dan tadi Mama menjawabnya!", jawabku.
"Hah? Lalu?"
"Dia menjawab lagi!"
"Lalu?"
"Ya Mama terus menunduk, dan terus saja berjalan", ujarku.
Anak-anakku memang mengetahui tentang lelaki itu dari ceritaku. Malam makin larut, satu persatu anak-anakku tidur. Aku masih terbayang lelaki ujung jalan itu. Ah, lelaki itu...
Pagi hari berangkat kerja, hatiku dag dig dug karena terbayang akan bertemu dengannya lagi. Wajah klimis dan murah senyum, juga sapaan yang ramah. Ugh! Dan oops, itu dia! tersenyum dari kejauhan, melambaikan tangan padaku. Aku mempercepat langkah menuju arahnya sebelum dia menghilang.
"Mbak, waktuku sudah tiba. Terimakasih sudah mau menjadi temanku selama ini. Selamat tinggal", ucapnya.
"Siapa kamu sebenarnya? Aku tidak tahu namamu. Maafkan aku, aku bukan teman yang baik. Maafkan aku... Sekarang kemanakah kamu?", ucapku sambil terisak.
"Bu, ada apa? Ibu sakit?", seorang ibu memegang bahuku. beberapa orang berdiri di dekatku. Ada yang menyorongkan sebotol minuman untukku. Ah, mereka tidak tahu rasa yang kupendam selama ini, bertahun-tahun tentang lelaki itu.
"Istirahat dulu, Bu", ujar si ibu tadi.
Lelaki itu menghilang sudah! Lelaki yang bertahun-tahun tersenyum dan menyapaku, hilang! Ucapan selamat tinggalnya membuatku merasa bersalah. Seharusnya sejak duu aku menjawab sapaannya, mau menjadi temannya. Aku malah menunduk, dan baru kemarin menjawab sapaannya. Itu pun sambil menunduk!
"Ibu, lebih baik ibu pulang saja. Istirahat", uajr ibu itu lagi.
"Ya, saya mau pulang saja. Terimakasih", jawabku.
Mereka pasti mengira aku sakit! Orang-orang itu mengira aku sakit! Lelaki itu pasti tahu rasa yang aku miiki selama ini. Alasanku menunduk saat melihatnya, dia juga pasti tahu. Lelaki dengan wajah klimis dan baju rapi hendak berangkat kerja, dengan lumuran darah di baju, dan darah yang menetes dari kepalanya, juga tangannya yang hampir putus setiap... Itu yang membuatku selalu menunduk. Tak ada yang menghiraukannya, karena cuma aku yang melihatnya, selama bertahun-tahun...
***
Comments
Post a Comment