Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok.
'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya
Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak.
Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam'
Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Orang yang amat baik. Dan gw merasa bersalah kalo gw jadi bersandar. karena menurutnya, seberat apapun beban yang disandarkan pada tembok, tembok hanya akan diam, hingga akhirnya menjadi runtuh. Gw ga mau orang sebaik itu menjadi runtuh karena beban yang bersandar padanya... Gw ga mau orang yang begitu baik dibebani begitu banyak beban, yang sesungguhnya amatlah berat baginya, tapi dia cuma diam dan menerima semua beban tanpa mengeluh, tapi pada satu waktu dia menjadi hancur, runtuh... Airmata gw mengalir saat gw menuliskan tentang ini... karena tembok ternyata amat baik, dan orang yang berfilosofi tembok pun amat baik...
Saat ini gw duduk dan di belakang gw ada tembok. Tapi gw ga mau bersandar... Gw sedih mengingat tentang tembok yang cuma bisa diam menerima segala hal yang bersandar padanya. Gw teringat tentang diamnya tembok... Gw duduk tanpa bersandar sambil mendengarkan lagu Naff yang ada di laptop... Juga sambil mengingat dengan manis tentang baiknya orang yang bisa menjadi tembok... Tapi bukan bermuka tembok...
Gw error, mengingat dengan baik...
'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya
Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak.
Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam'
Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Orang yang amat baik. Dan gw merasa bersalah kalo gw jadi bersandar. karena menurutnya, seberat apapun beban yang disandarkan pada tembok, tembok hanya akan diam, hingga akhirnya menjadi runtuh. Gw ga mau orang sebaik itu menjadi runtuh karena beban yang bersandar padanya... Gw ga mau orang yang begitu baik dibebani begitu banyak beban, yang sesungguhnya amatlah berat baginya, tapi dia cuma diam dan menerima semua beban tanpa mengeluh, tapi pada satu waktu dia menjadi hancur, runtuh... Airmata gw mengalir saat gw menuliskan tentang ini... karena tembok ternyata amat baik, dan orang yang berfilosofi tembok pun amat baik...
Saat ini gw duduk dan di belakang gw ada tembok. Tapi gw ga mau bersandar... Gw sedih mengingat tentang tembok yang cuma bisa diam menerima segala hal yang bersandar padanya. Gw teringat tentang diamnya tembok... Gw duduk tanpa bersandar sambil mendengarkan lagu Naff yang ada di laptop... Juga sambil mengingat dengan manis tentang baiknya orang yang bisa menjadi tembok... Tapi bukan bermuka tembok...
Gw error, mengingat dengan baik...
Salam Senyum,
Comments
Post a Comment