Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2015

Wish List

Yes, wish list 2015 sudah dicoret semua, yang berarti sudah terpenuhi. GUSTI memang Baik banget, semua kebutuhan dipenuhiNYA. Lalu gue mulai ambil pulpen, tulis wish list untuk 2016. Satu, dua, tiga, dan ini, dan itu, lalu ini, lalu itu, week! Ternyata panjaaang banget yang ingin dicapai! Itu yang ditulis, dan pastinya ada banyak yang ga tertulis, tapi diucap oleh hati. Eh, itu kan gue, mungkin orang lain ga sebanyak gue ya permintaannya, terlintas di otak ini. "Duh, GUSTI, ampuni aku ya, begitu banyak permintaan, permohonanku, dan GUSTI penuhi semua. Padahal aku masih saja bandel, suka mengecewakanMU." Dalam hati berbisik. Wish list yang panjang gue pandangi. Sebegitu panjangnya keinginan diri, tapi kenapa masih begitu pendek ketaatan padaNYA? Airmata jadi meleleh, hati mulai merasa ga enak banget ke GUSTI. "Duh, GUSTI, malu jadinya. Tahun 2016, tetap sertai aku dan tiga anakku, ya? Dan jangan biarkan kami melangkah keluar dari CintaMU." Airmata masih mend

Kerinduan Error

Seorang sahabat yang bertahun menjadi warna hidup, menghilang, dan mungkin ga akan kembali. Menyedihkan? Yup! Memang sedih! Seorang sahabat yang amat berarti untuk gue, menghilang. Sahabat yang memberi nama Error untuk gue! Sesedih itukah? Ya, sesedih ini. Lagu-lagu Iwan Fals berdendang, juga lagu-lagu Naff. Itu potongan kenangan yang melempar ke masa lalu. Dan juga sekeping batu, yang diberikan untuk gue. "Gue kangen cerita konyol yang selalu ada." Salam, Error

Terperangkap Gelap

"Aku ga mau lihat kamu dalam hidupku!" Tapi dia tetap saja tersenyum manis padaku. Manis? Hmm, bisa jadi itu memang termanis yang dia miliki! Lebih tepat disebut senyum aneh sebenarnya. "Pergilah. Aku ga mau da kamu di hari-hariku." Senyumnya semakin manis! Ah, kenapa juga aku menyebutnya manis, padahal jelas kutahu bukan manis! "Dengarkan aku, sebentar. Jangan berteriak. Suara dalam hatimu sudah bisa kudengar. Jangan mengusirku." Suaranya memohon, tapi seperti menghipnotis. "Aku sudah tahu. Sejak dulu kumendengarkanmu, dan itu membuatku aneh!" "Dengarkan aku." "Ya." "Biarkan kubersamamu. Aku tak kan mengganggumu. Lupakanlah yang sudah berlalu. Maafkan aku. Biarkan aku bersamamu. Aku menjagamu, aku berjanji." "Menjaga? Aku tak butuh penjagaanmu." "Aku butuh teman, sahabat." "Bukan aku." "Hanya kamu. Tak ada seorang pun mau menjadi saha

SEBUAH BUKU PENUH PUISI: TANAH SILAM, KARYA FENDI KACHONK

Berjanji pada si Bung FENDI KACHONK untuk menulis, mengomentari buku kumpulan puisinya yang berjudul TANAH SILAM, jadi tertunda lama. Karena buku ini menarik, hingga lumayan lama juga pindah dari tangan ke tangan. Buku yang berisi 83 puisi karya Bung Fendi (aku menyebutnya Bung. Jangan tanya kenapa, tapi rasanya kok klik aja memanggilnya Bung.) membuatku bersuara. Yup, bersuara dalam arti sebenarnya, karena kubaca puisi-puisinya dengan suara yang jelas bisa didengarkan oleh orang lain. Aku suka puisi-puisi si Bung, dan dengan suka cita mengatakan,"Hey Bung, aku salah satu penggemar puisimu!" Semoga aku ga salah dalam mencerna puisi-puisi indahmu, Bung. Puisi ke-45, yang berjudul PEREMPUAN KECIL, mengajak untuk menikmati hidup. Hidup bukan hanya melulu tentang nikmat tanpa luka, karena luka pun adalah bagian hidup yang harus dinikmati. Tuhan selalu ada, dan menyertai. Puisi ke-54, NYANYIAN PEREMPUANKU, melangitkanku sebagai seorang perempuan. Perempuan sebagai sosok

Malam Melo

Malam ini gue ga bisa tidur. Mata terus aja on, ga bisa dan ga ingin menutup. Besok Pink, ulang tahun ke-15. Putri kecil sudah remaja! Dan ini ulang tahun yang ke-9 tanpa Henk, papa mereka. Yup, Henk meninggal 3 bulan sebelum ulang tahun Pink yang ke-7 tahun. Bukan menginginkan Henk kembali ada di sini merayakan bersama. Setiap salah satu dari Ngka, Esa, Pink, berulang tahun, setiap kali itu juga gue penuh dengan airmata. Lebay banget, ya? Ya, gue selalu melo saat menjelang ulang tahun mereka. Ada rasa bersalah karena hingga saat ini belum juga bisa memberikan hal-hal indah untuk anak-anak, untuk Ngka, Esa, dan Pink. Hanya bisa memberi senyum, dan mencintai dengan segenap kasih yang ada. Malam ini jadi malam full melo untuk gue. Sejak tadi lagu-lagu Iwan Fals ada di telinga. Berusaha menepis segala melo, gundah, galau, yang masuk dan merajai hati. Tapi tetap aja gue berairmata. Tangan gue sibuk mengusap mata karena ga ingin menyaingi hujan yang deras. Doa mengalir untuk Pink. Se

Aku Menemukan Mama Kembali

Mama dan aku Ga terbayang sama sekali kakak kandungku menyembunyikan keberadaan mama dariku dan anak-anakku, berusaha memutus hubungan mama dengan kami, tanpa alasan. Berbulan mencari, hingga akhirnya bisa menemukan mama, pada hari ke-2 Idul Fitri yang lalu, 15 Juli 2015.  Mama ada di kamar, di tempat tidur, karena lumpuh sejak Februari 2011, akibat stroke. "Kenapa Nit ga dikasih tahu alamat baru ini?" "Mama ga tahu," sambil menggeleng lemah mama menjawab. "Nit telepon, ga diangkat sama Mas. Nit sms juga ga dijawab." "Mama berdoa setiap hari supaya Mama bisa ketemu Ninit." Itu sepenggal percakapan dengan mama. Sebelum pulang, kuucap,"Nit sayang Mama." Lalu kami kembali berpelukan. Aku percaya kasih Tuhan yang mempertemukan kami kembali. Foto ini diikutsertakan dalam GA Sehari : Aku dan Ibuku.

Hantu Happy

"Kamu iseng banget sih, pensil dimasukkin ke binder clip gini," kataku pada Ngka, anak sulung yang sejak beberapa bulan lalu ikutan kerja di kantor. "Ga, bukan Ngka." Jawabnya dengan muka serius sedikit manyun. "Siapa dong?" "Ga tau." Aku memandang pensil yang seperti meriam di atas meja. Mengingat-ingat kemarin sebelum pulang kerja, sebelum menutup pintu ruangan. Rasanya ga ada yang aneh. Kami pulang terakhir. Dan pensil ada di laci meja. Dan tiba di ruangan pun kami yang pertama kali. Aku yang membuka pintu dengan kunci. Jadi, bagaimana bisa pensil ada di atas meja dengan posisi seperti ini?  "Mbak, kemarin kembali lagi ke sini?" Tanyaku pada teman satu ruangan. "Ga. Mulih langsung. Cape banget kemarin." "Iya, kemarin memang melelahkan banget. Banyak kerjaan,"  "Kenapa, Mbak?" Tanyanya. "Ga apa-apa. Nanya aja." Kembali kupandang lagi pensil di atas meja. 

Desember Melo

Desember 2015 ini membuat gue menghitung hari. Pink berusia 15 tahun di tanggal 22 Desember nanti. Putri kecil menjadi remaja. Di bulan Desember ini gue juga menghitung hari. Desember ke Januari 2016. Hitungan panjang tapi sebenarnya amat pendek untuk dihitung oleh kami. Penghujung Januari 2016 nanti, Ngka, Esa, Pink, dn gue, akan pergi ke Semarang, nyekar makam almarhum papa mereka, almarhum Henk, suami gue.  Desember berhasil membuat gue melo! Melo, ya, bukan melon. Kenapa juga jadi melo, gitu ya, cuma karena Pink akan berulang tahun, dan karena Januari akan berangkat nyekar? Kondisi kesehatan Pink selalu naik dan turun. Belum stabil. Hey, no, no, no, no, gue ga menyesali yang terjadi. Autoimun yang ada di tubuh Pink, bukan sebuah kondisi yang harus disesali. Gue jadi melo karena tau semangatnya besar, jauh lebih besar dibanding tubuhnya yang langsing, malah cenderung amat kurus untuk remaja seusianya. 22 Desember 2015 masih 14 hari lagi. Banyak doa dan harapan gue ucap

SABAR SESABAR DEODORANT

"Ma, kita diklaksonin terus sama motor. Yang mana sih Ma, yang nglaksonin terus tuh?" "Itu deh kayaknya." "Ugh! Kalau Ngka digituin, Ngka klaksonin balik tuh! Enak aja dia klakson kayak gitu!" "Ga perlu." "Ih Mama, kalau Ngka sih gitu! Gantian Ngka kakson!" "Ga, ah. Mama sih pengen jadi orang yang sabar kayak Rex*na. Sabar setiap saat." "Mamaaa, salah! Bukan sabar setiap saat! Tapi setia setiap saat!" "Ga. Mama maunya sabar setiap saat." "Kok bisa? Terserah dah!" "Iya, sabar, Ka. Deodorant itu sabar banget. Tiap saat mampir di ketiak, tapi ga protes. Malah bikin wangi. Sabar banget, kan? Wanginya setiap saat pula! Tuh, sabar banget, kan?" Dan Ngka pun tertawa. Ngka, anak sulung gue, sudah bisa berperan sebagai pelindung emak. Di usia  akhir belasan, emosinya terkadang meletup-letup. Gue berusaha meredam, menenangkan, dengan cara obrolan santai. Karena menurut gue s

Di Gedung Yang Sama

Kalian terlalu sopan. Memperkenalkan diri dengan gaya yang unik waktu pertama kali menginjak gedung ini! Senyum manis, panggilan lirih, tawa menggelegar, mengajak bermain, dan ada pula yang hanya diam tanpa suara, tanpa senyum, hanya ujung matanya saja yang setia mengikuti. "Selamat datang!" Ya, terimakasih. "Untuk apa ke sini?" Bukan urusanmu, bukan? "Sedang apa di sini?" Terlalu banyak bicara. "Mari main bersama kami!" Hah, aneh jika kubermain bersamamu! "Hahhahaha! Anak ingusan ke sini!" Hah! Anak ingusan! Aku sudah tidak muda lagi! Dasar tua renta! "Jangan ke sini! Ini tempatku!" What? Arogansi? Aku tak takut! "Kemarilah. Aku butuh bantuanmu." Tidak, aku tak bisa membantumu. "Aku ingin bicara panjang lebar." Cukup, bicara saja pada teman-temanmu yang ain. "Haiiii, di sini enak, asyiik! Bisa melihat pemandangan dari atas!" Tak perlu. Menyenangkan tetap d

Siapa Si Cewek Baju Putih Bebercak Kemerahan?

"Siapa minum kopiku?" "Ga tau!" "Plis deh ya, tadi masih setengah gelas." "Lupa kali, tadi udah dihabiskan, kali." Jawab Ge santai. Rambutnya yang panjang terurai menari dihembus angin dari jendela. "Ga, gue ga lupa. Tadi kan pas listrik mati, gue kan turun ke lantai 1. Lo minum kopi gue?" "Ya elaaaah, Err! Kopi banyak, bisa minta tolong sama Mbak Sa untuk bikinin. Minum kopi lo, bisa ketularan manyun dong gue!" Ge berteriak lalu terbahak-bahak, hingga bakwan dalam mulutnya muncrat. "Jorok, lo! Bersihkan tuh bakwan di meja! Trus siapa dong yang minum kopi gue, Ge?" "Gue ga tau. Dari tadi ga ada orang selain gue deh Err." "Ufh, pasti dia lagi," keluhku pelan. "Heh, siapa? Lo jangan nakut-nakutin gue, dong! Dia siapa? Temen setan lo?" Ge berlari ke mejaku, dan matanya melotot karena takut. "Err, jangan gitu, dong. Gue takuuuut!" "Laaah, gue ga bilang

Masih Misteri

"Bu, saya masih harus menunggu Pak Jie?" Tanya Raf di telepon. Dia karyawan muda di tempatku bekerja. "Kamu di mana, Raf?" "Saya tadi pagi mengantar Pak Jie ke site, Bu." "Kamu?" "Ya, Bu. Tapi sejak tadi Pak Jie belum kembali ke mobil, Bu." "Kamu antar Pak Jie?" "Ya, Bu." "Sejak pukul berapa kamu pergi?" "Tadi pukul 8.00 pagi, Bu." Tiba-tiba aku merasa takut, sambil mencuri pandang orang yang sedang duduk di hadapanku. "Raf, kamu kembali saja ke kantor." "Baik, Bu. Pak Jie gimana, Bu?" "Biar saja, ga apa-apa. Nanti biar pulang naik taksi." Gagang telepon kuletakkan perlahan, lalu berkata,"Pak, jadwal ke site pukul berapa?" "Pukul 13.00, Mbak. Seharusnya saya berangkat sekarang, tapi ga ada supir kantor yang mengantar." "Ini tadi Raf, dia bilang mengantar Pak Jie ke site sejak tadi p