Skip to main content

Terperangkap Gelap

"Aku ga mau lihat kamu dalam hidupku!"

Tapi dia tetap saja tersenyum manis padaku. Manis? Hmm, bisa jadi itu memang termanis yang dia miliki! Lebih tepat disebut senyum aneh sebenarnya.

"Pergilah. Aku ga mau da kamu di hari-hariku."

Senyumnya semakin manis! Ah, kenapa juga aku menyebutnya manis, padahal jelas kutahu bukan manis!

"Dengarkan aku, sebentar. Jangan berteriak. Suara dalam hatimu sudah bisa kudengar. Jangan mengusirku." Suaranya memohon, tapi seperti menghipnotis.

"Aku sudah tahu. Sejak dulu kumendengarkanmu, dan itu membuatku aneh!"

"Dengarkan aku."

"Ya."

"Biarkan kubersamamu. Aku tak kan mengganggumu. Lupakanlah yang sudah berlalu. Maafkan aku. Biarkan aku bersamamu. Aku menjagamu, aku berjanji."

"Menjaga? Aku tak butuh penjagaanmu."

"Aku butuh teman, sahabat."

"Bukan aku."

"Hanya kamu. Tak ada seorang pun mau menjadi sahabatku!" Mukanya memerah, terlihat sedang memendam amarah yang amat dalam.

"Aku juga tak mau."

"Kamu mau!"

"Tidak!"

"Cuma kamu yang mau melihat keberadaanku tanpa sorot mata takut."

"Lalu kamu pikir, aku mau berteman, bersahabat? Kamu salah!"

"Tolonglah aku. Aku bosan sendirian."

"Ada banyak temanmu."

"Mereka? Mereka siapa?"

"Mereka yang terus menerus berteriak, tertawa, dan berlagak seperti penguasa!"

"Lupakan mereka. Aku membutuhkanmu sebagai sahabat. Dengarkan ceritaku."

Akhirnya kumengalah, mendengar cerita yang menyedihkan, menyeramkan. Tawanya, tangisnya, menggema di telingaku. 

"Err, bangunlah, sadarlah, Err."

Mama! Itu suara mama! Tapi di manakah mama? Kusapu sekeliling, tak kutemukan mama. Hanya makhluk-makhluk dalam gelap yang berkeliaran.

"Err, sadarlah Err. Sudah 3 hari kamu tidur. Bangun, Err. Bangun, sadar!" Mama dan cemas suaranya masuk ke gendang telingaku. 

Kupandang sosok gelap di hadapan. Senyumnya kian lebar, asyik bercerita dengn suaranya yang menggelegar.

"Tetaplah di sini, jangan pergi. Hanya kamu teman dan sahabatku." Katanya.

Aku berusaha keluar dari gelap, tapi tak bisa, dan tetap di sini bersamanya, mendengarkan ceritanya yang menyayat sekaligus menyeramkan. Sedangkan di dunia luar sana, masih tetp kudengar suara mama berusaha membangunkanku.

"Bangun, Err. Sebulan sudah kamu tidur..."



*Nitaninit Kasapink, 26 Desember 2015 

   

Comments

  1. oh..ternyata..., udah lama banget aku ga bikin fiksi...., keren mah..yg bisa nulis gini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga lama ga nulis, Mbak. Ini baru mulai lagi nulis :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...