Skip to main content

Hantu Happy

"Kamu iseng banget sih, pensil dimasukkin ke binder clip gini," kataku pada Ngka, anak sulung yang sejak beberapa bulan lalu ikutan kerja di kantor.

"Ga, bukan Ngka." Jawabnya dengan muka serius sedikit manyun.

"Siapa dong?"

"Ga tau."

Aku memandang pensil yang seperti meriam di atas meja.


Mengingat-ingat kemarin sebelum pulang kerja, sebelum menutup pintu ruangan. Rasanya ga ada yang aneh. Kami pulang terakhir. Dan pensil ada di laci meja. Dan tiba di ruangan pun kami yang pertama kali. Aku yang membuka pintu dengan kunci. Jadi, bagaimana bisa pensil ada di atas meja dengan posisi seperti ini? 

"Mbak, kemarin kembali lagi ke sini?" Tanyaku pada teman satu ruangan.

"Ga. Mulih langsung. Cape banget kemarin."

"Iya, kemarin memang melelahkan banget. Banyak kerjaan," 

"Kenapa, Mbak?" Tanyanya.

"Ga apa-apa. Nanya aja."

Kembali kupandang lagi pensil di atas meja. 

Kriiing! Telepon di atas meja berdering. Ok, kerja, kerja. Data yang dibutuhkan untuk tender harus cepat dikirim. 

Pensil masih tetap di atas meja, ga disentuh, ga tersentuh, ga digubris lagi. Pensil terlupakan, dilupakan. Hingga akhirnya sebelum pulang, pensil bergerak sendiri, lalu terasa ada yang menyentuh jemariku. 

"Kenapa?"

"Apa, Ma?"

"Nyenggol-nyenggol."

"Ga nyenggol."

"Tadi."

"Ga. Pengen banget disenggol."

"Yeee!"

"Lah Ngka ga nyenggol."

"Ya wis."

"Ngka ke toilet, ya?"

"Sana gih."

Ruangan terasa dingin. Teh tawar dalam gelas besar di atas meja pun sudah tak hangat lagi, padahal belum lama dibuat. Tak lama kemudian, Ngka masuk kembali ke ruangan.

"Ma, kok ga terasa udah jam segini sih?" 

Kutengok jam dinding di dinding depan. 

"Weh, makan siang. Yuk."

Tiba-tiba pensil di atas meja bergerak sendiri, lalu meluncur jatuh!

"Ambil, Ka. Jatuh tuh pensil."

"Kok bisa jatuh?"

"Ga tau."

Ngka mengambilnya, lalu meletakkan di meja. Saat diletakkan itulah aku melihat sepasang tangan sedang melambai ke arahku.

"Ka!"

"Kenapa sih Ma? Alay teriak-teriak." Ngka menggerutu mendengar teriakan tertahanku.

"Tangan melambai-lambai!"

"Ya elaaah, Ngka udah lihat dari tadi itu, Mamaaa. Udah, biarin aja, dia lagi happy kali." Santai Ngka menjawab.

Hmm, benar kata Ngka, biarkan saja! Tapi rasanya ingin bertanya pada si tangan yang melambai,"Kamukah yang memasukkan pensil ke binder clip?" 

Hihi, cuma jadi sebuah keinginan. Ga akan menanyakan pada si tangan. Biar saja, seperti kata Ngka, biarkan saja dia melambai, mungkin sedang happy.


-Nitaninit Kasapink (Error)-







Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...