Skip to main content

Di Gedung Yang Sama

Kalian terlalu sopan. Memperkenalkan diri dengan gaya yang unik waktu pertama kali menginjak gedung ini! Senyum manis, panggilan lirih, tawa menggelegar, mengajak bermain, dan ada pula yang hanya diam tanpa suara, tanpa senyum, hanya ujung matanya saja yang setia mengikuti.

"Selamat datang!"

Ya, terimakasih.

"Untuk apa ke sini?"

Bukan urusanmu, bukan?

"Sedang apa di sini?"

Terlalu banyak bicara.

"Mari main bersama kami!"

Hah, aneh jika kubermain bersamamu!

"Hahhahaha! Anak ingusan ke sini!"

Hah! Anak ingusan! Aku sudah tidak muda lagi! Dasar tua renta!

"Jangan ke sini! Ini tempatku!"

What? Arogansi? Aku tak takut!

"Kemarilah. Aku butuh bantuanmu."

Tidak, aku tak bisa membantumu.

"Aku ingin bicara panjang lebar."

Cukup, bicara saja pada teman-temanmu yang ain.

"Haiiii, di sini enak, asyiik! Bisa melihat pemandangan dari atas!"

Tak perlu. Menyenangkan tetap di tempatku.

"Mana senyummu? Lihat senyumku! Hiiii!"

Tak perlu beramah tamah, bukan? Lagipula senyummu aneh!

"Maukah bersalaman denganku?"

Tidak. Aku tak ingin menyentuh siapa pun di sini!

"Kutemani berkeliling, agar kamu lebih mengenal tempat ini."

Aku tak ingin berkeliling.

"Jangan angkuh!"

Jangan sok akrab.

"Mukamu pucat!"

Kalian lebih pucat.

"Kujaga kamu."

Cukup untuk tidak menggangguku.

"Ini gelasmu?"

Aku bisa mengambilnya sendiri, jangan sentuh.

"Mau kemana?"

Bukan urusanmu.

"Heei, sst, ini aku."

Sudah melihatmu sejak tadi.

"Ruangan ini menyenangkan, sunyi, dan dingin."

Akan kupenuhi dengan nyanyian, doa.

"Hihihi, dasar manusia!"

Dasar setan!

Hampir dua tahun, dan hingga saat ini pun masih saja kalian berperilaku sama.

Sudah hampir dua tahun! Hey, kita ada di gedung yang sama, tapi dunia kita berbeda! Mengertikah kalian?



-Nitaninit Kasapink (Error)-

Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...