Skip to main content

Masih Misteri

"Bu, saya masih harus menunggu Pak Jie?" Tanya Raf di telepon. Dia karyawan muda di tempatku bekerja.

"Kamu di mana, Raf?"

"Saya tadi pagi mengantar Pak Jie ke site, Bu."

"Kamu?"

"Ya, Bu. Tapi sejak tadi Pak Jie belum kembali ke mobil, Bu."

"Kamu antar Pak Jie?"

"Ya, Bu."

"Sejak pukul berapa kamu pergi?"

"Tadi pukul 8.00 pagi, Bu."

Tiba-tiba aku merasa takut, sambil mencuri pandang orang yang sedang duduk di hadapanku.

"Raf, kamu kembali saja ke kantor."

"Baik, Bu. Pak Jie gimana, Bu?"

"Biar saja, ga apa-apa. Nanti biar pulang naik taksi."

Gagang telepon kuletakkan perlahan, lalu berkata,"Pak, jadwal ke site pukul berapa?"

"Pukul 13.00, Mbak. Seharusnya saya berangkat sekarang, tapi ga ada supir kantor yang mengantar."

"Ini tadi Raf, dia bilang mengantar Pak Jie ke site sejak tadi pagi."

"Loh, saya kan di sini."

"Jadi, siapa yang bersama Raf?"

"Wah, saya ga tau. Saya di kantor sejak tadi."

Kupandangi dia lekat-lekat. 

"Kenapa, Mbak?"

Aku masih memandanginya. 

"Ini benar Pak Jie, atau bukan?"

"Maksudnya?"

Kulirik sepatunya menginjak lantai. Hantu ga menapak lantai. Ah, tapi kan itu sepatu! Bingung dan takut, mulai menjalar di hati. 

"Gimana, Mbak?" Suaranya memecah hening. 

Sambil menenangkan hati, aku menjawab,"Sebentar, aku coba cari supir yang bisa antar. Nanti aku kabari."

Dia pun berlalu setelah mengucapkan terimakasih. Melenggang keluar sambil tersenyum. 

Sepeninggalnya, aku diam di depan monitor. Siapa yang benar dan siapa yang salah, di sini? Raf, atau aku? Raf mengatakan dia mengantar Pak Jie, sedangkan orang yang tadi datang ke ruanganku adalah Pak Jie!

Ah sudahlah, daripada bingung, lebih baik menelepon ruang supir, mencari yang bisa mengantar Pak Jie.

"Halo, aku Err, ini siapa?"

"Ya, Bu. Ini Raf."

"Raf,  kamu barusan kembali?"

"Kembali dari mana, Bu? Saya sejak tadi di sini menunggu Pak Jie, katanya Pak Jie minta diantar pukul 11.00."

"Lah, kan tadi kamu menelepon dari site. Kamu bilang, Pak Jie ga keluar-keluar, lalu kamu tanya, apakah kamu harus menunggunya, atau pulang saja."

"Ga, Bu. Saya ga menelepon. Kapan ya, Bu?"

Aku menggaruk kepala yang ga gatal.

"Tadi saya terima telepon dari kamu."

"Ga, Bu. Sumpah, ga."

"Oh, jadi? Ya sudahlah. Kamu ke depan saja sekarang. Pak Jie nanti aku beritahu."

"Baik, Bu."

Makin bingung aku menghadapi permasalahan ini. Siapa yang meneleponku tadi? Raf? Bukan? 

"Mbak, sudah ada supir untuk saya?"

Terhenyak aku! Tetiba saja Pak Jie ada di hadapanku!

"Eh, loh, kok tau-tau ada di sini? Raf ada di depan. Bapak bisa pergi dengan Raf."

"Terimakasih." Pak Ji berlalu sambil menyungging senyum.

"Eh, Pak Jie, maaf, tunggu!"

"Ya?" Pak Jie menoleh ke arahku, wajahnya berubah menjadi Raf, lalu berubah lagi menjadi pak Jie, kemudian berubah menjadi Raf! Senyumnya menyeringai!

Aaaargh! Pandanganku kabur, menggelap. 

******


Nitaninit Kasapink (Error)











Comments

  1. Bikin penasaran. Aku kira lagsung selesai cerinya, gak taunya masih to be contuinue :D :D
    Tapi keren! Makasih udah share :D

    ReplyDelete
  2. Aaaiiih... bagusnya... Udah sana, tulis tangan trus ikutan yang Faber Castell!

    Ini links www.lombacerpen.com/mekanisme

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, Mbak. Lagi belajar nulis yang rapi. Makasih ya, Mbak :*

      Delete
  3. Bagus ceritanya, lanjut mbak ceritanya biar lebih mantap,,,, hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...