Skip to main content

SEBUAH BUKU PENUH PUISI: TANAH SILAM, KARYA FENDI KACHONK

Berjanji pada si Bung FENDI KACHONK untuk menulis, mengomentari buku kumpulan puisinya yang berjudul TANAH SILAM, jadi tertunda lama. Karena buku ini menarik, hingga lumayan lama juga pindah dari tangan ke tangan.

Buku yang berisi 83 puisi karya Bung Fendi (aku menyebutnya Bung. Jangan tanya kenapa, tapi rasanya kok klik aja memanggilnya Bung.) membuatku bersuara. Yup, bersuara dalam arti sebenarnya, karena kubaca puisi-puisinya dengan suara yang jelas bisa didengarkan oleh orang lain. Aku suka puisi-puisi si Bung, dan dengan suka cita mengatakan,"Hey Bung, aku salah satu penggemar puisimu!" Semoga aku ga salah dalam mencerna puisi-puisi indahmu, Bung.



Puisi ke-45, yang berjudul PEREMPUAN KECIL, mengajak untuk menikmati hidup. Hidup bukan hanya melulu tentang nikmat tanpa luka, karena luka pun adalah bagian hidup yang harus dinikmati. Tuhan selalu ada, dan menyertai.

Puisi ke-54, NYANYIAN PEREMPUANKU, melangitkanku sebagai seorang perempuan. Perempuan sebagai sosok ibu yang penuh kasih, mencintai anak-anak tanpa berharap dicintai kembali. Juga sebagai istri. Perempuan yang mampu menanam cemburu pada suami, karena kasih pada anak yang tak berbatas. Duh, ternyata cinta seorang perempuan bernama ibu bisa membuat lelaki bernama bapak menyimpan cemburu.

Puisi ke-3, INGIN PULANG, lagi-lagi menyangkut ibu. Seorang anank yang ingin kembali ke masa-masa bersama sang ibu yang selalu menentramkan dengan kidung-kidungnya, menyelimuti dengan kasih. Anak yang rindu karena doa-doa sang ibu melekat dalam jiwa, dan belaian lembutnya. Mengingatkanku akan mama. Bung, tadi aku membaca puisi ini di rumah, dan merekamnya dengan cara sederhana.

Masih ada 80 puisi lagi di dalam buku kumpulan puisi TANAH SILAM karya FENDI KACHONK, dan buktikan aja sendiri, semua puisinya bisa membuat bersuara.

Salam Puisi,
Nitaninit Kasapink


Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...