Langit malam ini luar biasa indahnya! Penuh bintang bertebaran, kerlap-kerlip cahaya kecilnya! Daun-daun nyiur ditiup angin menari. Ombak-ombak kecil seperti anak-anak yang bermain kejar-kejaran.
Aku, Err, perempuan bergaun hitam tanpa raga, hantu pantai yang memilih duduk di sini, di hamparan permadani pasir yang sejuk. Butir-butiran halusnya memberi sensasi pijat yang lembut di telapak kaki, dulu. Sedangkan sekarang aku hanya bisa mengenang betapa nyamannya butiran itu mengelus kulit.
Tak pernah sekali pun terbayang akan berada di sini, di pantai dengan gaun hitam panjang yang sejak dulu kusuka. Dengan sebiji mata kanan yang kupunya, berusaha melihat dengan jelas ke depan, ujung garis pembatas laut.
Menikmati kesendirian dalam hening adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dulu. Lebih menyukai berada sendirian dibanding bersama dengan yang lain. Sering kali mulutku terkunci, diam, tak bisa bicara sepatah kata pun. Sendiri, menyendiri, dan itu kebahagiaanku! Aneh? Ya, aku memang aneh.
Ketika teman sebaya menyukai berkumpul, pergi bersama-sama, kulebih menyukai bergaul dengan tulisan. Buku-buku, majalah, adalah sahabat terbaikku. Jiwa tulisan lebih bisa kumengerti dibanding jiwa orang lain. Karakter tulisan lebih bisa kucerna dibanding karakter siapa pun.
Sama seperti aku lebih menyukai bersahabat dengan binatang dibanding dengan manusia. Karakter binatang lebih bisa kumengerti. Manusia amat rumit.
Tetiba sedaun nyiur melewati batas tanganku. Ah, ternyata aku tadi melamun.
"Bless!"
Kupanggil Bless yang sedang asyik menggoda seekor kucing kecil. Kucing berguling-guling di atas pasir, Bless tertawa-tawa.
"Bless!"
Berlari mendekatinya. Gaun hitam menari ditiup angin.
Bless menoleh padaku, tersenyum, bangkit, lalu membuka dua tangannya bersiap memelukku. Aku tertawa lalu mempercepat lari, kemudian masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.
"Kenapa, Err?"
Aku menggeleng pelan.
"Perempuan. Kamu perempuan yang memang perempuan."
Semakin kumasukkan kepalaku dalam peluknya yang melindungi dari segala hal yang tak menyenangkan.
"Pasti tadi kamu melamun, ya?"
"Ya. Aku mengembara ke masa lalu, Bless."
"Yuk, jalan-jalan. Berkeliling, mau?"
"Mau."
"Ayo. Bagaimana kita bisa berkeliling kalau kamu masih memeluk erat begini?"
"Aku masih mau dipeluk."
"Ya, aku peluk."
Dipeluknya aku makin erat.
"Ada apa?"
"Hanya merasa kembali berada di masa lalu, tadi. Bless, pernahkah saat berada di dunia hidup mendengar tentang kekasih yang menghilang karena diabaikan? Dia masuk ke dalam dunia pengabaian! Menjerit tak ada yang mendengar. Merintih tak ada yang peduli. Hingga akhirnya dirinya disedot masuk ke dunia bebas tanpa suara."
"Pengabaian? Aku tidak pernah mendengar itu."
"Ya, dunia pengabaian. Tidak ada kepedulian, tidak ada kasih. Hanya ada pengabaian, hanya ada ketidak pedulian. Seorang perempuan pernah hidup dalam dunia yang tidak peduli pada hidupnya."
Aku makin masuk dalam pelukannya. Baju hitamnya dibasahi air mata yang merembes keluar.
"Hey, kamu tidak boleh menangis, sayang."
Bless, love you, my big guy!
"Aku tidak menangis."
"Perempuan. Apakah basah oleh air mata bukan menangis namanya?"
Kumasukkan kepala makin masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.
"Perempuan. Kamu sedang sensitif."
Bless, love you!
"Perempuan. Jangan simpan gundahmu. Bukankah ada aku, lelaki besarmu?"
Senyum kecilku mulai terbit.
"Yuk, kita duduk di pasir yang menjorok ke laut! Biarkan ombak itu menerpa. Bukankah kita tak bisa lagi dihanyutkannya?"
Aku menganggukkan kepala.
Angin menghembus hingga gaun hitamku melambai, menari. Baju hitamnya terlihat basah karena air mataku tadi.
Hei, mengapa masih saja aku berpikir tentang dunia pengabaian, sedangkan bersamaku ada lelaki besar penuh kasih?
"Bless."
Langkahku berhenti. Tanganku menahannya agar tak melanjutkan langkah.
"Ya, Err. Kenapa?"
"Maafkan aku, Bless. Kamu lelakiku yang amat baik dan penuh kasih."
"Ya, lalu?"
"Dunia pengabaian hanya ada di masa lalu. Bukan di saat sekarang. Saat ini ada kamu bersamaku, mengiringi langkahku, mendampingiku. Tak seharusnya masih berpikir tentang kekecewaan yang bersumber di masa lalu."
"Lalu?"
"Aku bahagia bersamamu."
"Lalu?"
"Aku pernah kecewa. Tapi itu telah diubah menjadi bahagia setelah kita bersama."
"Lalu?"
"Aku tak mau bercerita tentang dunia pengabaian."
"Lalu?"
"Aku mau bercerita tentang aku, kamu, kita, dan dunia kebersamaan yang kita punya! Dunia penuh peduli dan penuh kasih!"
"Lalu?"
"Bless, aku bahagia bersamamu. Bahagia bersamamu. Ya, bahagia bersamamu."
"Sikapi dengan bahagia. Sikapi dengan senyum dan tawa. Sikapi dengan keceriaan. Jika kamu bahagia bersamaku, sikapi dengan bahagia, tunjukkan bahagia yang kita punya. Jangan tenggelam dalam masa lalu yang mengecewakanmu. Bukankah aku adalah hari ini milikmu, Err?"
Sebiji mata kirinya memandangku lekat-lekat.
"Err, lihat sebiji mata ini. Kita berbagi mata, berbagi pandang. Bahagia ini kita yang punya. Kita ada di hari ini, Err."
Serongga mata kosong kanannya gelap dan pekat.
Kupeluk Bless.
"Jangan pergi dari aku, Bless."
Erat dan penuh perlindungan yang kurasa saat berada dalam dekapnya yang dingin. Ya, aku tak akan lagi berada dalam masa kecewa yang dulu pernah ada dalam masa lalu. Hari ini adalah hari ini, dan hari ini adalah bahagia, karena Bless bersamaku.
"Hei, Err, mari kita berlomba menuju pasir yang menjorok ke laut! Ayo!"
Lalu kami berlari riang! kemudian duduk beralas pasir, menantang ombak. Kami tidak takut ombak menghajar. Kami bersama menghadapi apa pun yang terjadi. Aku bahagia, Bless bahagia, kami bahagia!
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga yang saling mengasihi di dunia mati. Sepasang hantu yang berbagi biji mata.
Kami pernah hidup di masa lalu, sama sepertimu. Kami punya kisah yang tak indah di dunia hidup, lalu mengubahnya menjadi kisah bahagia di hari ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu berbaju hitam. Aku adalah hari ini miliknya, dan dia adalah hari ini milikku. Hari ini, setiap hari. Kami adalah hari ini, bukan masa lalu, juga bukan masa depan.
Bagaimana denganmu? Masih berkutat dengan pengabaian yang pernah didapat? Atau seperti kami, menghadapi hari ini sebagai hari ini? Kekecewaan masa lalu adalah masa lalu, dan jangan mau tenggelam di sana.
Mari hadapi ombak, jangan takut!
Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Saat kamu tenggelam dalam kecewa masa lalu, kami hadir mengajakmu menghadapi hari ini, hanya hari ini, setiap hari. Mau?
Nitaninit Kasapink
Aku, Err, perempuan bergaun hitam tanpa raga, hantu pantai yang memilih duduk di sini, di hamparan permadani pasir yang sejuk. Butir-butiran halusnya memberi sensasi pijat yang lembut di telapak kaki, dulu. Sedangkan sekarang aku hanya bisa mengenang betapa nyamannya butiran itu mengelus kulit.
Tak pernah sekali pun terbayang akan berada di sini, di pantai dengan gaun hitam panjang yang sejak dulu kusuka. Dengan sebiji mata kanan yang kupunya, berusaha melihat dengan jelas ke depan, ujung garis pembatas laut.
Menikmati kesendirian dalam hening adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dulu. Lebih menyukai berada sendirian dibanding bersama dengan yang lain. Sering kali mulutku terkunci, diam, tak bisa bicara sepatah kata pun. Sendiri, menyendiri, dan itu kebahagiaanku! Aneh? Ya, aku memang aneh.
Ketika teman sebaya menyukai berkumpul, pergi bersama-sama, kulebih menyukai bergaul dengan tulisan. Buku-buku, majalah, adalah sahabat terbaikku. Jiwa tulisan lebih bisa kumengerti dibanding jiwa orang lain. Karakter tulisan lebih bisa kucerna dibanding karakter siapa pun.
Sama seperti aku lebih menyukai bersahabat dengan binatang dibanding dengan manusia. Karakter binatang lebih bisa kumengerti. Manusia amat rumit.
Tetiba sedaun nyiur melewati batas tanganku. Ah, ternyata aku tadi melamun.
"Bless!"
Kupanggil Bless yang sedang asyik menggoda seekor kucing kecil. Kucing berguling-guling di atas pasir, Bless tertawa-tawa.
"Bless!"
Berlari mendekatinya. Gaun hitam menari ditiup angin.
Bless menoleh padaku, tersenyum, bangkit, lalu membuka dua tangannya bersiap memelukku. Aku tertawa lalu mempercepat lari, kemudian masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.
"Kenapa, Err?"
Aku menggeleng pelan.
"Perempuan. Kamu perempuan yang memang perempuan."
Semakin kumasukkan kepalaku dalam peluknya yang melindungi dari segala hal yang tak menyenangkan.
"Pasti tadi kamu melamun, ya?"
"Ya. Aku mengembara ke masa lalu, Bless."
"Yuk, jalan-jalan. Berkeliling, mau?"
"Mau."
"Ayo. Bagaimana kita bisa berkeliling kalau kamu masih memeluk erat begini?"
"Aku masih mau dipeluk."
"Ya, aku peluk."
Dipeluknya aku makin erat.
"Ada apa?"
"Hanya merasa kembali berada di masa lalu, tadi. Bless, pernahkah saat berada di dunia hidup mendengar tentang kekasih yang menghilang karena diabaikan? Dia masuk ke dalam dunia pengabaian! Menjerit tak ada yang mendengar. Merintih tak ada yang peduli. Hingga akhirnya dirinya disedot masuk ke dunia bebas tanpa suara."
"Pengabaian? Aku tidak pernah mendengar itu."
"Ya, dunia pengabaian. Tidak ada kepedulian, tidak ada kasih. Hanya ada pengabaian, hanya ada ketidak pedulian. Seorang perempuan pernah hidup dalam dunia yang tidak peduli pada hidupnya."
Aku makin masuk dalam pelukannya. Baju hitamnya dibasahi air mata yang merembes keluar.
"Hey, kamu tidak boleh menangis, sayang."
Bless, love you, my big guy!
"Aku tidak menangis."
"Perempuan. Apakah basah oleh air mata bukan menangis namanya?"
Kumasukkan kepala makin masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.
"Perempuan. Kamu sedang sensitif."
Bless, love you!
"Perempuan. Jangan simpan gundahmu. Bukankah ada aku, lelaki besarmu?"
Senyum kecilku mulai terbit.
"Yuk, kita duduk di pasir yang menjorok ke laut! Biarkan ombak itu menerpa. Bukankah kita tak bisa lagi dihanyutkannya?"
Aku menganggukkan kepala.
Angin menghembus hingga gaun hitamku melambai, menari. Baju hitamnya terlihat basah karena air mataku tadi.
Hei, mengapa masih saja aku berpikir tentang dunia pengabaian, sedangkan bersamaku ada lelaki besar penuh kasih?
"Bless."
Langkahku berhenti. Tanganku menahannya agar tak melanjutkan langkah.
"Ya, Err. Kenapa?"
"Maafkan aku, Bless. Kamu lelakiku yang amat baik dan penuh kasih."
"Ya, lalu?"
"Dunia pengabaian hanya ada di masa lalu. Bukan di saat sekarang. Saat ini ada kamu bersamaku, mengiringi langkahku, mendampingiku. Tak seharusnya masih berpikir tentang kekecewaan yang bersumber di masa lalu."
"Lalu?"
"Aku bahagia bersamamu."
"Lalu?"
"Aku pernah kecewa. Tapi itu telah diubah menjadi bahagia setelah kita bersama."
"Lalu?"
"Aku tak mau bercerita tentang dunia pengabaian."
"Lalu?"
"Aku mau bercerita tentang aku, kamu, kita, dan dunia kebersamaan yang kita punya! Dunia penuh peduli dan penuh kasih!"
"Lalu?"
"Bless, aku bahagia bersamamu. Bahagia bersamamu. Ya, bahagia bersamamu."
"Sikapi dengan bahagia. Sikapi dengan senyum dan tawa. Sikapi dengan keceriaan. Jika kamu bahagia bersamaku, sikapi dengan bahagia, tunjukkan bahagia yang kita punya. Jangan tenggelam dalam masa lalu yang mengecewakanmu. Bukankah aku adalah hari ini milikmu, Err?"
Sebiji mata kirinya memandangku lekat-lekat.
"Err, lihat sebiji mata ini. Kita berbagi mata, berbagi pandang. Bahagia ini kita yang punya. Kita ada di hari ini, Err."
Serongga mata kosong kanannya gelap dan pekat.
Kupeluk Bless.
"Jangan pergi dari aku, Bless."
Erat dan penuh perlindungan yang kurasa saat berada dalam dekapnya yang dingin. Ya, aku tak akan lagi berada dalam masa kecewa yang dulu pernah ada dalam masa lalu. Hari ini adalah hari ini, dan hari ini adalah bahagia, karena Bless bersamaku.
"Hei, Err, mari kita berlomba menuju pasir yang menjorok ke laut! Ayo!"
Lalu kami berlari riang! kemudian duduk beralas pasir, menantang ombak. Kami tidak takut ombak menghajar. Kami bersama menghadapi apa pun yang terjadi. Aku bahagia, Bless bahagia, kami bahagia!
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga yang saling mengasihi di dunia mati. Sepasang hantu yang berbagi biji mata.
Kami pernah hidup di masa lalu, sama sepertimu. Kami punya kisah yang tak indah di dunia hidup, lalu mengubahnya menjadi kisah bahagia di hari ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu berbaju hitam. Aku adalah hari ini miliknya, dan dia adalah hari ini milikku. Hari ini, setiap hari. Kami adalah hari ini, bukan masa lalu, juga bukan masa depan.
Bagaimana denganmu? Masih berkutat dengan pengabaian yang pernah didapat? Atau seperti kami, menghadapi hari ini sebagai hari ini? Kekecewaan masa lalu adalah masa lalu, dan jangan mau tenggelam di sana.
Mari hadapi ombak, jangan takut!
Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Saat kamu tenggelam dalam kecewa masa lalu, kami hadir mengajakmu menghadapi hari ini, hanya hari ini, setiap hari. Mau?
Nitaninit Kasapink
Selaluuu syukaaa ceritanya, ditunggu episode selanjutnya ya mbak Nita :) Semangat nulisnya
ReplyDeleteTerima kasih banyak, Mbak :)
DeleteDitunggu kelanjutan Err dan Bless selanjutnya, ya :)