Skip to main content

(25) Err Dan Bless, Dunia Pengabaian

Langit malam ini luar biasa indahnya! Penuh bintang bertebaran, kerlap-kerlip cahaya kecilnya! Daun-daun nyiur ditiup angin menari. Ombak-ombak kecil seperti anak-anak yang bermain kejar-kejaran.

Aku, Err, perempuan bergaun hitam tanpa raga, hantu pantai yang memilih duduk di sini, di hamparan permadani pasir yang sejuk. Butir-butiran halusnya memberi sensasi pijat yang lembut di telapak kaki, dulu. Sedangkan sekarang aku hanya bisa mengenang betapa nyamannya butiran itu mengelus kulit.

Tak pernah sekali pun terbayang akan berada di sini, di pantai dengan gaun hitam panjang yang sejak dulu kusuka. Dengan sebiji mata kanan yang kupunya, berusaha melihat dengan jelas ke depan, ujung garis pembatas laut.

Menikmati kesendirian dalam hening adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dulu. Lebih menyukai berada sendirian dibanding bersama dengan yang lain. Sering kali mulutku terkunci, diam, tak bisa bicara sepatah kata pun. Sendiri, menyendiri, dan itu kebahagiaanku! Aneh? Ya, aku memang aneh.

Ketika teman sebaya menyukai berkumpul, pergi bersama-sama, kulebih menyukai bergaul dengan tulisan. Buku-buku, majalah, adalah sahabat terbaikku. Jiwa tulisan lebih bisa kumengerti dibanding jiwa orang lain. Karakter tulisan lebih bisa kucerna dibanding karakter siapa pun.

Sama seperti aku lebih menyukai bersahabat dengan binatang dibanding dengan manusia. Karakter binatang lebih bisa kumengerti. Manusia amat rumit.

Tetiba sedaun nyiur melewati batas tanganku. Ah, ternyata aku tadi melamun.

"Bless!"

Kupanggil Bless yang sedang asyik menggoda seekor kucing kecil. Kucing berguling-guling di atas pasir, Bless tertawa-tawa.

"Bless!"

Berlari mendekatinya. Gaun hitam menari ditiup angin.

Bless menoleh padaku, tersenyum, bangkit, lalu membuka dua tangannya bersiap memelukku. Aku tertawa lalu mempercepat lari, kemudian masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.

"Kenapa, Err?"

Aku menggeleng pelan.

"Perempuan. Kamu perempuan yang memang perempuan."

Semakin kumasukkan kepalaku dalam peluknya yang melindungi dari segala hal yang tak menyenangkan.

"Pasti tadi kamu melamun, ya?"

"Ya. Aku mengembara ke masa lalu, Bless."

"Yuk, jalan-jalan. Berkeliling, mau?"

"Mau."

"Ayo. Bagaimana kita bisa berkeliling kalau kamu masih memeluk erat begini?"

"Aku masih mau dipeluk."

"Ya, aku peluk."

Dipeluknya aku makin erat.

"Ada apa?"

"Hanya merasa kembali berada di masa lalu, tadi. Bless, pernahkah saat berada di dunia hidup mendengar tentang kekasih yang menghilang karena diabaikan? Dia masuk ke dalam dunia pengabaian! Menjerit tak ada yang mendengar. Merintih tak ada yang peduli. Hingga akhirnya dirinya disedot masuk ke dunia bebas tanpa suara."

"Pengabaian? Aku tidak pernah mendengar itu."

"Ya, dunia pengabaian. Tidak ada kepedulian, tidak ada kasih. Hanya ada pengabaian, hanya ada ketidak pedulian. Seorang perempuan pernah hidup dalam dunia yang tidak peduli pada hidupnya."

Aku makin masuk dalam pelukannya. Baju hitamnya dibasahi air mata yang merembes keluar.

"Hey, kamu tidak boleh menangis, sayang."

Bless, love you, my big guy!

"Aku tidak menangis."

"Perempuan. Apakah basah oleh air mata bukan menangis namanya?"

Kumasukkan kepala makin masuk dalam pelukan dinginnya yang menenangkan.

"Perempuan. Kamu sedang sensitif."

Bless, love you!

"Perempuan. Jangan simpan gundahmu. Bukankah ada aku, lelaki besarmu?"

Senyum kecilku mulai terbit.

"Yuk, kita duduk di pasir yang menjorok ke laut! Biarkan ombak itu menerpa. Bukankah kita tak bisa lagi dihanyutkannya?"

Aku menganggukkan kepala.

Angin menghembus hingga gaun hitamku melambai, menari. Baju hitamnya terlihat basah karena air mataku tadi.

Hei, mengapa masih saja aku berpikir tentang dunia pengabaian, sedangkan bersamaku ada lelaki besar penuh kasih?

"Bless."

Langkahku berhenti. Tanganku menahannya agar tak melanjutkan langkah.

"Ya, Err. Kenapa?"

"Maafkan aku, Bless. Kamu lelakiku yang amat baik dan penuh kasih."

"Ya, lalu?"

"Dunia pengabaian hanya ada di masa lalu. Bukan di saat sekarang. Saat ini ada kamu bersamaku, mengiringi langkahku, mendampingiku. Tak seharusnya masih berpikir tentang kekecewaan yang bersumber di masa lalu."

"Lalu?"

"Aku bahagia bersamamu."

"Lalu?"

"Aku pernah kecewa. Tapi itu telah diubah menjadi bahagia setelah kita bersama."

"Lalu?"

"Aku tak mau bercerita tentang dunia pengabaian."

"Lalu?"

"Aku mau bercerita tentang aku, kamu, kita, dan dunia kebersamaan yang kita punya! Dunia penuh peduli dan penuh kasih!"

"Lalu?"

"Bless, aku bahagia bersamamu. Bahagia bersamamu. Ya, bahagia bersamamu."

"Sikapi dengan bahagia. Sikapi dengan senyum dan tawa. Sikapi dengan keceriaan. Jika kamu bahagia bersamaku, sikapi dengan bahagia, tunjukkan bahagia yang kita punya. Jangan tenggelam dalam masa lalu yang mengecewakanmu. Bukankah aku adalah hari ini milikmu, Err?"

Sebiji mata kirinya memandangku lekat-lekat.

"Err, lihat sebiji mata ini. Kita berbagi mata, berbagi pandang. Bahagia ini kita yang punya. Kita ada di hari ini, Err."

Serongga mata kosong kanannya gelap dan pekat.

Kupeluk Bless.

"Jangan pergi dari aku, Bless."

Erat dan penuh perlindungan yang kurasa saat berada dalam dekapnya yang dingin. Ya, aku tak akan lagi berada dalam masa kecewa yang dulu pernah ada dalam masa lalu. Hari ini adalah hari ini, dan hari ini adalah bahagia, karena Bless bersamaku.

"Hei, Err, mari kita berlomba menuju pasir yang menjorok ke laut! Ayo!"

Lalu kami berlari riang! kemudian duduk beralas pasir, menantang ombak. Kami tidak takut ombak menghajar. Kami bersama menghadapi apa pun yang terjadi. Aku bahagia, Bless bahagia, kami bahagia!

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga yang saling mengasihi di dunia mati. Sepasang hantu yang berbagi biji mata.

Kami pernah hidup di masa lalu, sama sepertimu. Kami punya kisah yang tak indah di dunia hidup, lalu mengubahnya menjadi kisah bahagia di hari ini.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu berbaju hitam. Aku adalah hari ini miliknya, dan dia adalah hari ini milikku. Hari ini, setiap hari. Kami adalah hari ini, bukan masa lalu, juga bukan masa depan.

Bagaimana denganmu? Masih berkutat dengan pengabaian yang pernah didapat? Atau seperti kami, menghadapi hari ini sebagai hari ini? Kekecewaan masa lalu adalah masa lalu, dan jangan mau tenggelam di sana.

Mari hadapi ombak, jangan takut!

Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Saat kamu tenggelam dalam kecewa masa lalu, kami hadir mengajakmu menghadapi hari ini, hanya hari ini, setiap hari. Mau?


Nitaninit Kasapink

















Comments

  1. Selaluuu syukaaa ceritanya, ditunggu episode selanjutnya ya mbak Nita :) Semangat nulisnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak, Mbak :)
      Ditunggu kelanjutan Err dan Bless selanjutnya, ya :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI