Skip to main content

(20) Err Dan Bless, Masa Lalu Sudah Usai

Aku baru menyadari bahwa apa yang sedang terjadi adalah sebuah mimpi kosong yang kamu beri untukku. Semua pernyataan dan pertanyaanmu tentang aku dan tentang  rasa yang kumiliki terhadapmu hanyalah sebuah kisah kasih yang kosong.

Aku baru menyadari bahwa semua yang terjadi dulu hanya sebuah guyon halus yang menerbangkanku jauh tinggi ke atas awan! Aku cuma secelah sempit tentang kasih yang ada.

Kung!

"Err, ada apa?"

Lelaki besar yag selalu mendampingiku di dunia mati menyentuh bahuku perlahan, membuat lamunanku pecah seketika.

"Tidak ada apa-apa, Bless."

"Lalu kenapa kamu seperti hanyut dalam sebuah kenangan? Berapa banyak kenangan yang kamu punya?"

Aku tersenyum padanya.

Bless, andai kamu tahu apa yang ada dalam kenanganku.

"Ceritakan padaku."

"Tidak, ini hanya untuk kukenang sendiri. Tidak untukmu."

Wajahnya berubah menjadi sendu.

"Oh, ada rahasia yang kamu simpan, ternyata."

Bless, kamu tidak tahu aku sedang berusaha melepas seluruh kenang agar bisa melangkah dengan tenang di dunia ini.

"Jangan ceritakan padaku."

Bless, kalau saja kamu tahu yang sedang aku rasakan, tanpa harus kuceritakan padamu.

"Aku bukan hantu yang pandai meramal tentang hantu lainnya, Err. Aku hanya tahu jika diberitahu."

"Ya, Bless. Aku tahu itu."

"Jadi kamu menceritakan atau tidak?"

"Ya."

"Apa?"

"Aku mau bercerita."

"Mulailah. Aku menyimak. Tentang siapa? Kung?"

Aku beringsut mendekat pada Bless. Menyandarkan kepala di bahu kanannya.

"Ya, Kung. Aku masih memiliki kisah yang belum berhenti dengannya."

"Maksudmu?"

"Bless my dear, bukankah kita sudah seharusnya menuntaskan apa yang terjadi agar jalan ini menjadi ringan?"

Diraihnya kepalaku, dielusnya lembut.

"Kung mempermainkan cintamu, hantu perempuan."

Aku makin masuk dalam elusannya.

"Dia mencintaiku!"

Dikecupnya rambutku.

"Tapi kalian tidak dalam ikatan apa pun, bukan?"

"Aku mencintainya, Bless!"

"Iya, hantu perempuan. Aku tahu."

"Tapi dia tak ingin bersamaku."

Melemah suaraku.

"Dia memilih perempuan lain!"

"Bukan kamu?"

"Bukan. Tapi dia berkata mencintaiku."

Bless memelukku bahuku erat.

"Bagaimana mungkin dia tak ingin bersamamu? Bukankah dia mencintaimu?"

"Ada sesuatu yang tak bisa kuceritakan padamu."

Bless diam. Kakinya menyungkil pasir kuat-kuat hingga pasir beterbangan bagai terkena badai.

"Aku bertemu dengannya dulu sekali."

Berhenti sejenak, lalu melekatkan kepala di bahu Bless.

"Bertahun kemudian aku bertemu dengannya. Lelaki besar dengan senyum yang nyaris hilang. Penuh kegelisahan."

Bless menarikku lebih dekat.

"Untuk apa kamu menemuinya, Err?"

"Tidak sengaja!"

"Tidak sengaja?"

"Ya. Hingga akhirnya dia sering sharing denganku."

"Kenapa denganmu?"

"Karena dia percaya aku adalah orang yang tepat."

Bless mengelus bahuku lembut.

"Dear, ulanglah sekali lagi kalimatmu."

Aku langsung menoleh ke arah Bless. Aneh! Mengapa aku harus mengulang kalimatku tadi?

"Ulanglah sekali lagi, dear."

"Karena dia percaya aku adalah orang yang tepat."

"Yes! Poinnya ada di situ! Dia percaya padamu karena kamu adalah orang yang tepat! Orang, Err. Orang! Dan sekarang kamu sudah bukan seperti dulu lagi, bukan? Kamu sudah bukan orang, Err!"

Terkejut aku mendengar ucapannya. Ya, aku hantu perempuan! Kung mencintaiku saat masih ada di masa lalu, bukan di saat ini! Lagi pula bukankah dulu pun dia bersama yang lain?

"Lalu?" Tanyaku pada Bless.

"Kisahmu sudah usai bersamanya. Ya kan? Sudah tuntas sejak kamu ada di dunia mati ini, Err."

"Begitukah menurutmu?"

"Ya, Err. Ya."

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Menutup kisahmu dengannya."

"Caranya?"

"Dasar perempuan. Caranya cintai kisahmu saat ini. Masa lalumu ada di masa lalu. Hadapi dan jalani yang ada di saat ini. Mengerti maksudku?"

Dengan lembut diusapnya bahuku perlahan.

"Bless! Kamu jenius!"

Bless tertawa terbahak-bahak.

"Perempuan! Baru sekarang kamu menyadari kejeniusanku?"

Kukecup pipinya.

"Astaga, selama ini aku masih saja berpikir bahwa kisahku belum tuntas dengannya!"

"Err, kalau belum tuntas, bagaimana caramu menuntaskannya? Bisakah?"

Aku tertawa terbahak-bahak. Ya, tak akan bisa!

"Bless, kamu jenius! Luar biasa!"

"Masih merasa kisahmu belum tuntas?"

"Tuntas! Uh, belum pernah aku merasa selega ini, Bless."

"Sini, sini, peluk hantu lelaki ini."

"Terima kasih, Bless. Caramu memandang kisahku memang berbeda dengan caraku. Tapi justru itu yang kubutuhkan. Kita saling berbagi cara memandang, Bless."

Senyumnya pun melebar.

Bless, love you!

Dan laut pun tenang. Angin semilir menyapa. Ombak kecil riang menghampiriku. Pasir yang jadi alas duduk ini pun menjadi amat lembut.

Hai, aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga, sepasang hantu yang saling berbagi kasih, berbagi pandang. Sebiji mataku jadi mata kirinya, dengan cara itu kami berbagi pandang.

Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Yang pasti kami melihatmu dengan masing-masing sebiji mata yang kami punya.

Aku, Err. Dia, Bless. Berusaha melepaskan masa lalu yang pernah jadi kehidupan kami. Sekarang kami ada di dunia mati, yang jelas berbeda dengan masa lalu.

Bagaimana denganmu? Masih hidup dalam masa lalu? Masih belum bisa melepaskan masa lalu? Atau sudah bisa menghadapi dan menjalani hari ini tanpa bayagan masa lalu?



Nitaninit Kasapink












Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI