Skip to main content

(15) Err Dan Bless, Ketika Diperbolehkan Memilih

Suara ombak yang pecah di karang amat menenangkan. Mungkin ada sebagian yang takut pada gemuruhnya, tapi untukku ini amat menenangkan dan,menyenangkan!

"Bless, kamu suka gemuruh ombak?" Tanyaku.

"Hm, hm. Aku suka. Tapi sebenarnya aku lebih suka yang tenang dibanding suara debur berdebur."

"Hah? Lalu kenapa kamu memilih berada di sini?"

"Karena aku suka di deru ombak ada hening milikmu."

Aku terpana mendengar jawabannya yang di luar dugaanku.

"Hai hai, jangan bengong begitu! Yuk sesekali kita pergi dari sini."

"Kemana?"

"Sudahlah, ikut saja."

Digandengnya aku.

Hai, aku mengenal tempat ini!

"Bless, serius berada di sini?"

"Iya. Kenapa?"

"Kita di sini?"

"Apakah tidak boleh?" Tanyanya sambil tersenyum tipis.

"Boleeeh!" Teriakku hingga  membuat pintu di depanku menutup.

"Hei, kamu harus menahan diri, Err."

Lalu dilanjjutkan dengan,"Kamu mau menonton film yang mana?"

Aku memandang wajahnya, menatap matanya. Hm, aku tak terbiasa memilih, Bless. Aku biasa ikut dengan yang sudah dipilihkan. Tepatnya hanya ikut ketika diperbolehkan ikut.

"Kamu mau menonton film apa?" Tanya Bless sekali lagi.

Aku menatapnya tanpa tahu harus menjawab apa.

"Hei, menonton apa?"

"Aku tidak tahu. Terserah kamu."

"Aku terserah kamu saja, Err. Pilihlah mau menonton apa."

Amazing! Saat kuberada di dunia hidup yang enuh dengan film-film yang bisa ditonton, aku tak datang ke sini. Apalagi diberi kebebasan memilih hendak menonton apa.


"Apa?"

"Aku tidak tahu." Suaraku mulai terdengar resah karena tak tahu harus bagaimana menyikapinya.

"Terserah kamu. Aku menonton apa pun yang jadi pilihanmu."

Perlahan aku beranjak dari tempat duduk. Melihat poster film yang dipajang. Bless sabar menunggu pilihanku.

"Sebentar lagi film dimulai, loh."

Duh! Film apa, film mana?

"Bless, Bless, ini saja! Aku mendengar orang-orang di pantai membicarakan film ini. Menurut mereka, film ini bagus."

Aku menunjuk sebuah poster.

Bless menggandengku menuju studio yang menyetel film itu.

"Bless, kita tidak membeli tiket?"

Bless tertawa menatapku. Terus saja menggandengku.

"Err, kita sepasang hantu sebiji mata dan serongga mata kosong.Tidak wajib membeli tiket. Kita bebeas mennton di mana pun ita mau."

Hahaha, tawa kami menyatu di ruangan gelap. Aku lupa, aku Err, hantu perempuan yang syantik!

Wow, begitu banyak  kursi kosong di sini! Di antara kursi berpenghuni penonton, kami duduk dengan tenang. Tidak terpikirkan saat masih ada di dunia hidup sepertimu, bahwa ada sosok tanpa raga ikut menonton. Hmm, mungkin kamu ada di sebelah kami saat menonton film.

Cerita yang bagus, luar biasa! Tema yang bagus, sudut-sudut gambar yang bagus, warna-warni yang ada dalam film pun bagus, penokohan bagus, dan ditambah menonton dengan yang bagus juga! Aku bahagia!

Kulirik Bless yang duduk di samping kanan. Wajahnya tenang walau terlihat ada gurat lelah di sana. Lelaki besar dengan sabar yang besar.

"Bagus ya, Bless?"

"Iya. Bagus."

Melegakan mendengar bahwa film yang kami tonton dianggap bagus olehnya. Aku khawatir pilihanku hanya akan jadi hal membosankan untuknya.

"Aku suka filmnya. Bagus. Warna-warna yang diambil, pasti sudah dipikir matang. Film ini memanjakan mata," Kataku.

Bless tersenyum. Ujung senyumnya ada di mataku, melengkung indah. Tidak lebar, tapi cukuplah hinga bisa disebut sebagai senyum.

Mencuri pandang padanya membuatku ingin bersandar di bahunya. Tapi tidak kulakukan. Lebih menyenangkan tetap menahan diri agar bisa menatapnya dalam-dalam dengan sudut mataku.

Ini pertama kali kumendapat kehormatan memilih sesuatu sesuai kehendakku. Rasanya luar biasa! Apalagi dia pun menikmati pilihanku. Tidak sedang ingin membandingkan dengan apa yang terjadi saat dulu berada di dunia hidup yang penuh cerita. Tapi yang kualami dan kurasakan saat ini memang amat berbeda. Hei, kenapa sesudah menjadi hantu, aku baru merasakan semua ini? Aneh, tapi ini luar biasa!

Kupandang lagi Bless diam-diam. Ada nyaman mengalir dalam kinerja pikiran dan rasaku. Lelaki ini adalah kasih yang besar dalam gerakku.

"Err."

"Bless, kenapa?"

"Kamu menatapku sejak tadi."

"Hmm. tidak."

"Kamu suka filmnya?"

"Ya, jelas aku suka, Bless."

"Oh ya? Lalu kenapa menatapku terus?"

"Aku tidak menatapmu terus," ujarku.

"Baiklah, tapi apa kamu menyadari bahwa ruangan ini sudah kosong? Film sudah selesai sejak tadi, Err."

Senyum lebar terpampang indah di wajahnya.

Aku menebar pandang ke seluruh sudut ruangan. Kosong!

Bless memelukku erat, seraya berkata,"Aku baru tahu bahwa aku lebih menarik dibanding siapa pun dan apa pun di matamu. Kutahu sejak tadi ada aku di sebiji matamu."

Aku diam tak bicara apa pun. Ternyata hantu seperti aku pun bisa seperti ini. terpana pada cinta yang hadir dalam kisah dunia yang mati.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu sebiji mata dan serongga kosong mata. Apakah kamu yang berada dalam dunia hidup merasakan kisah kasih seperti kami yang berada dalam dunia mati?

Sebuah kesempatan memilih yang diberikan untukku dari Bless, yang terlihat sepele, ternyata bisa membuatku semakin mencintainya. Itu luar biasa bagiku. Hal yang tak kudapatkan saat masih ada di dunia hidup. Bagaimana denganmu? Apakah kamu seperti Bless, atau seperti orang yang dulu ada di masa laluku?

Aku, Err. Dia, Bless. Sepasang hantu yang berbagi pandang lewat sebiji mata. Berbagi kasih dalam memandang. Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Tapi kami ada di sudut ruang, memandangmu dengan sebiji mata kami.



Nitaninit Kasapink





Comments

  1. Nyess baca kisah cinta Err dan Bless. Sementara di dunia nyata begitu banyak cinta yang disia-siakan, hiks! Nice story, Mbak...Sukaa!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mbak.
      Iya, Err dan Bless hadir dengan kisah kasih mereka yang saling mau mengerti.
      Semoga di kehidupan nyata pun banyak kisah penuh kasih, seperti kisah mereka, ya Mbak.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI