Skip to main content

(17) Err Dan Bless, Apakah Cinta Itu Ada?

Laut masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Masih belum berwarna biru, masih berombak liar, dan juga masih menyimpan ikan yang berenang keluar masuk bebatuan di pantai.

Langit jernih biru dengan awan putih berarak seperti arum manis, gulali. Matahari bersinar cerah!

Angin bertiup sepoi-sepoi memainkan rambut seleher, mengibarkan daun-daun nyiur yang lemah gemulai.

Aku seperti biasa ada di sini, duduk santai di hamparan butiran pasir pantai. Jari kaki masuk ke dalam pasir. Hangat bermandi sinar matahari. Bless duduk di sisiku, dengan posisi duduk yang sama. Dia pun memainkan pasir dengan jari kaki dan jari tangannya.

Aku, Err, perempuan syantik tanpa raga, karena ragaku sudah ditanam dalam bumi. Duniaku adalah dunia mati. Begitu juga Bless. Kami hidup dan berbagi kasih dalam dunia mati, tidak berada dalam dunia bercahaya kehidupan sepertimu. Tapi di sini malah kami mempunyai kematian yang lebih hidup dibanding hidupmu yang saling mematikan .

Aku perempuan yang tak bisa feminin, tapi tetap syantik! Syantik, itu kata yang kudapat dari Bless, si lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45. Menurutnya, aku perempuan cantik, karena itu disebutnya aku, syantik! Lalala, indahnya menjadi aku!

"Err, kenapa diam?"

"Aku sedang menikmati hening bersamamu."

Kami bicara tanpa saling menoleh.

"Err, cerita lagi, Err."

"Cerita apa?"

"Hmm, pernahkah kamu mencintai seseorang saat belum masuk ke dunia sekarang ini?"

"Pernah!"

"Ceritakan padaku. Aku mau dengar ceritamu tentang cinta."

Bless memandangku. Aku tersenyum padanya.

"Cinta? Cerita tentang cinta? Hmm...."

"Keberatan?"

"Tidak."

"Ayolah ceritakan padaku."

"Aku pernah mencintai Su. Dia suamiku, dulu. Lalu setelah Su pergi meninggalkanku, bertahun kemudian, aku mencintai Kung, seorang lelaki tinggi besar sepertimu, Bless. Amat mirip denganmu. Namanya Kung."

"Kung? Hanya Kung?"

Bless pindah dari posisinya yang duduk di sisiku jadi berada di hadapanku.

Kupandang Bless lekat-lekat. Bless tersenyum kecil padaku.

"Ya, Kung. Namanya Kung. Dia amat baik. Aku mencintainya. Lelaki ramah yang penuh kasih! Tapi aku tak tahu apakah dia mencintaiku atau tidak."

"Oh ya? Bagaimana mungkin kamu tidak tahu, Err? Apakah dia tidak mengatakan padamu bahwa dia mencintaimu?"

Sebiji matanya melotot ke arahku.

Bless, kamu amat mirip dengannya!

"Kami saling berkabar, tukar cerita. Dan seringkali aku merindukannya. Menurutnya, dia pun merindukanku."

Bless tersenyum lebar.

"Kamu mecintainya sepenuh hati?"

"Ya! Dia lelaki besar dengan senyum kecil."

Kami tertawa bersama.

"Sepertiku?" Tanyanya.

"Ya. Sepertimu. Lelaki besar dengan senyum kecil."

Tangannya menopang kepala. Badannya condong ke arahku. Matanya penuh rasa ingin tahu.

"Ada di mana dia sekarang? Di dunia hidupkah?"

"Ya."

"Mau ke sana melihatnya? Kamu merindukannya?"

"Saat aku ada dalam dunia yang sama dengannya, dalam dunia hidup, ya jelas aku merindukannya, Bless."

"Bagaimana dengan sekarang?"

Mata dan senyumnya menggodaku. Kumonyongkan bibirku.

"Jawab, Err."

"Aku ada di dunia mati, Bless!"

Kami tertawa terbahak-bahak.

Disentuhnya tanganku lembut.

"Katamu, kamu tidak tahu dia mencintaimu atau tidak. Bagaimana mungkin kamu tidak tahu?"

Tersenyum memandang lelaki di hadapanku.

"Iya, dia mencintaiku. Dia mencintaiku. Puaaaaas?"

Bless menggenggam tanganku erat.

"Dan sekarang kamu mencintai siapa?"

Kuhembuskan napas keras-keras ke wajahnya.

"Mencintaimu!"

Digenggamnya tanganku lebih erat lagi.

"Bagaimana dengan Kung?"

Mataku melotot!

"Bless, apakah kamu mencemburui Kung?"

"Ya," jawabnya.

"Bagaimana mungkin kamu cemburu padanya?"

Mulutku semakin monyong ditambah menggembungkan pipi.

"Karena aku mencintaimu."

Sebiji matanya tenang menatapku. Tangannya tetap erat menggenggam tanganku.

"Kung punya seorang kekasih yang cantik. Dia masih bersamanya."

Bless membelalakkan sebiji matanya!

"Apaaaa?"

"Sudahlah, Bless. Jangan banyak bertanya."

"Err, kamu sedang bercerita tentang Kung. Jadi wajar saja kan aku bereaksi atas ceritamu itu."

Kulepas genggamannya. Masuk dalam pelukannya. Menangis tanpa bersuara. Hanya air mata mengalir.

"Err, kamu menangis?"

Aku diam.

"Maafkan aku. Jangan menangis."

Semakin erat kupeluk Bless.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Dia tetap mencintaiku. Tapi tak bisa meninggalkan kekasihnya. Aku mencintainya, tapi tak ingin memisahkan mereka. Cintaku adalah cinta yang mengasihi, Bless. Bukan cinta yang harus memiliki, walau sejujurnya aku  ingin selalu bersama."

"Dia menyakitimu!"

"Tidak. Aku tak merasa disakiti."

Dilepasnya pelukanku, lalu dipegangnya wajahku.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ya. Ada kamu dalam duniaku. Jika dulu kamu ada di dunia hidupku, pastilah sangat membahagiakan."

Air mataku masih terus mengalir.

"Bless, apakah cinta itu ada?"

Bless meraihku masuk dalam dekapannya yang menyejukkan.

"Ada, Err. Buktinya kamu mencintai Su, walau pun Su memperlakukanmu dengan tidak baik. Lalu kamu mencintai Kung. Dan sekarang kamu mencintaiku, lelaki tinggi besarmu di dunia mati."

"Bless, kamu mencintaiku?"

"Ya! Dan aku juga tahu, Kung mencintaimu. Hanya saja waktu mempertemukan kalian di saat yang tidak tepat."

Aku enggan menjawabnya. Berada dalam dekapan Bless sungguh melegakan hati. Bless, kekasih di dunia mati.

"Jika kamu masih ada di dunia hidup dan dia memilihmu, apakah kamu akan bersamanya, Err?"

Aku terisak, mengangguk pelan.

Bless, andai saja kamu tahu, Kung dan kamu adalah sosok berbeda tapi sama. Banyak kemiripan antara kalian. Hanya saja Kung ada di dunia hidup, dan kamu ada di dunia mati. Tapi aku mencintai kalian berdua. Aku tak bisa memiliki Kung. Tapi aku memiliki Bless dalam seluruh kisahku, dalam seluruh detikku.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga, sepasang hantu. Kami saling mengasihi, mencintai. Kami punya masa lalu yang tak mungkin bisa dihapus. Tapi kami tak mempermasalahkan masa lalu yang pernah dilalui. Masa lalu adalah cermin untuk kami, agar bisa menjalani hari ini dengan lebih baik.

Kamu yang ada di dunia hidup, bisakah aku meminta tolong padamu? Sampaikan salam kasihku untuk Kung, lelaki tinggi besar dengan sepatu ukuran 45, yang mencintaiku tapi tak bisa meninggalkan kekasih cantiknya. Kuharap dia tahu, aku tetap mencintainya seperti aku mencintai Bless. Hanya saja aku sekarang ada di dunia mati. Seandainya aku ada di dunia hidup sepertimu dan sepertinya, pastilah duniaku tetap berisikan nama Kung. Hanya Kung.

Tiba-tiba Bless mendekapku dari belakang!

"Hai, salam dariku juga, ya!"

Oh, sampaikan pada Kung, salam itu dari aku dan Bless.


Nitaninit Kasapink
















Comments

  1. Aku penasaran kenapa bless dan err ini meninggal :) pernah dituliskah mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum, Mbak. Nanti bakal aku tulis kisah kematian Err dan kematian Bless, tapi mungkin masih nanti, Mbak.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI