"Kenapa air laut rasanya asin, Bless?"
"Karena yang manis itu teh botol." Jawab Bless.
Aku terperangah mendengar ucapannya. Bless! Dia adalah lelaki tinggi besar yang selalu memeriahkan hariku.
"Karena yang manis tuh akuuu!" Ujarku sambil tertawa.
Dia tertawa keras. Suaranya menggetarkan daun-daun yang ada di pepohonan, lalu sebagian berguguran.
"Bless! Suaramu menyakiti dedaunan!"
"O ow! Maaf, daun-daun. Maaf, pohon-pohon," Bless berkata dengan suara terdengar seperti menyesali.
"Tidak boleh diulangi. Tidak boleh nakal. Ingat ya, tidak boleh nakal."
"Tidak boleh nakal! Aku kenal dengan kalimat itu," ucapnya sambil tertawa yang ditahan. Mungkin dia takut daun-daun berguguran lagi.
"Hahaha, ya jelas. Itu kalimat petuahmu untukku. Petuahmu. Ingat? Pe-tu-ah! Hahaha!"
"Petuah. Aku jadi tetiba merasa tua seketika!"
"Hei Bless. Kamu pikir berapa usiamu? Sepuluh tahun?"
"Err! Aku sweet seventeen!"
Tawa kami membahana. Dedaunan berguguran banyak sekali. Angin berhembus kencang.
"Err! Suara tawamu! Hampir saja bumi ini dilanda gempa karenanya!" Celetuk Bless.
Lagi-lagi tawa kami menggema. Biarkan saja dedaunan jatuh ke bumi, biarkan saja angin berhembus menerbangkan apa pun yang ada. Kami tertawa lepas tanpa beban.
Laut yang ada di hadapan kami menghidangkan ombak yang berlarian. Besar, membesar, makin besar. Indah sekali pecahan airnya di batu karang. Bukan hanya sekali, tapi terus berulang-ulang. Seakan-akan mereka sedang berlomba siapa yang paling besar dan siapa yang paling menakjubkan deburannya.
Langit membiru. Awan putih menggoda untuk ikut bersama mereka berada di atas sana.
"Bless, pernahkah kamu ke atas awan?" Tanyaku.
"Belum pernah."
"Sewaktu kecil aku memimpikan berbaring dalam awan. Berlari di antara bintang. Juga memetik kilat yang menakutkan itu! Lalu memeras awan hingga hujan turun! Impian yang konyol, ya? Oh ya, aku selalu berlari menuju ujung pelangi saat kulihat lengkungan indahnya di langit, dulu. Melompat karena ingin segera tiba di atas langit, memanjat pohon hingga puncak karena ingin mencapai awan!"
Bless mendengarkanku. Seperti biasa dia memperhatikanku. Dan seperti biasa, aku bercerita tanpa henti. Masuk dalam masa kecil sungguh membahagiakan. Tetiba terbayang semua apa yang kulakukan saat kecil, dan semua yang kuinginkan juga seluruh khayalan!
"Apa lagi?" Tanya Bless.
"Aku ingin bertanya pada langit, apakah dia merasa terganggu dengan kehadiranku saat berada di sana? Karena saat aku berada di langit, aku bernyanyi keras-keras!"
Bless tersenyum. Digandengnya tanganku dengan erat.
Aku suka caranya memperhatikanku. Aku suka caranya menggenggam erat jemariku. Aku suka cara dia menatap mataku. Aku suka caranya mendengarkan seluruh cerita konyolku. Aku suka semua yang dilakukannya untukku.
"Apa lagi mimpimu?"
"Banyak!"
"Apa? Ceritakan padaku."
"Aku ingin berpelukan di dalam lebatnya hujan! Aku ingin dipeluk dalam kegelapan yang pekat! Aku ingin berada dalam kenyamanan saat aku berada dalam situasi yang aku tak tahu bagaimana harus bersikap."
"Itu mimpimu?"
"Ya. Itu mimpi saat kumenua."
"Bukankah dia, sang terkasih memelukmu?"
"Tidak. Pelukku selalu ditepisnya."
"Oh, maafkan pertanyaanku."
"Bless, it's ok. Tak apa. Toh saat ini aku bahagia. Jauh lebih bahagia dibanding saat kuberada di dunia hidup! Kenapa kamu tak ada saat kumasih bernapas, Bless? Dimanakah kamu saat itu? Andai saja aku menemukanmu dulu, pasti hidupku tak sesakit itu."
Tanganku digenggam erat-erat. Bless tak menjawab.
"Dulu aku membangun bahagiaku, mencipta bahagiaku sendiri. Makiannya memenuhi seluruh detikku dan hampir saja membuatku gila." Lirih suaraku menceritakan masa lalu yang tak bisa disebut indah.
"Err."
"Bless. kenapa kamu tak ada sejak dulu?"
Direngkuhnya aku dalam pelukan dinginnya. Bless, kamu selalu menenangkanku. Maafkan aku dan masa laluku. Amat membekas dalam ingatan. Amat meluka dalam kenang.
"Sekarang ada aku. Kalau dulu kita bersama, mungkin saat ini kita tak bisa bertemu, Err."
Air mataku membasahinya, juga mengalir membasahi seluruh pantai berpasir. Lukaku begitu dalam dan menyakitkan. Padahal aku sudah berusaha menerima segala yang terjadi. Tapi ternyata masih ada luka tertinggal.
"Err, ada aku. Saat ini ada aku. Aku memelukmu dan tak akan pernah menepismu. Aku akan tetap di sini. Tak meninggalkanmu. Ada aku. Seperti kamu ada untukku."
Dibelainya punggungku lembut. Lembut sekali. Dan sungguh menenangkan.
"Jangan pergi dariku, Bless. Jangan pergi. Aku bisa saja sendirian tanpa siapa pun. Aku bisa saja menjalani segala sesuatu tanpa siapa pun bersamaku. Tapi bersamamu amat menenangkanku."
"Ya, ya, aku tidak meninggalkanmu. Ayo ceritakan lagi padaku tentang mimpi-mimpimu. Cerita padaku tentang angan dan inginmu, tentang semua kisah hidupmu dahulu. Kita urai bersama. Kita rasa bersama. Juga kita melegakan hati bersama. Setuju?"
"Yes! Kita saling menyembuhkan, ya?"
Pelukannya makin erat membawaku dalam hening yang damai.
Bless, lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45 adalah hantu sebiji mata kiri dan serongga mata kosong. Dia lelaki yang berbagi pandang denganku, penuh kasih. Dia bukan lelaki sempurna. Tapi justru menjadi amat sempurna karena penuh kasih dan sanggup berbagi denganku.
Bless, menjadi penyempurnaku, penyeimbangku. Yang membasuh seluruh luka dalam kenang masa lalu. Aku pun menjadi penenang baginya. Kasih yang kami miliki adalah kasih yang tulus. Berada di sini menyadarkan bahwa hidup adalah anugerah terindah, dan semestinya diisi dengan hal yang selalu indah. Bukan dengan kemarahan, apalagi kebencian dan dendam. Hidup diisi dengan saling mengasihi dalam seluruh sisi kehidupan.
Kami sepasang hantu melihatmu dari sini.
Ingin bertanya padamu, apakah kamu tulus berbagi kasih, atau masih sibuk menepis peluk erat yang mengasihimu?
Aku, Err. Dia, Bless. Kami hantu yang berada di pantai ini. Sejak pagi hingga pagi, kami ada di sini. Terkadang kami meninggalkan tempat ini untuk sejenak melepas kejenuhan, tapi lalu kembali ke sini lagi. Karena di sini ada kasih yang tak ingin kami tinggalkan. Jangan bertanya apakah kami ada atau tak ada. Dengar saja kisah kami dari angin yang mengembara.
Nitaninit Kasapink
"Karena yang manis itu teh botol." Jawab Bless.
Aku terperangah mendengar ucapannya. Bless! Dia adalah lelaki tinggi besar yang selalu memeriahkan hariku.
"Karena yang manis tuh akuuu!" Ujarku sambil tertawa.
Dia tertawa keras. Suaranya menggetarkan daun-daun yang ada di pepohonan, lalu sebagian berguguran.
"Bless! Suaramu menyakiti dedaunan!"
"O ow! Maaf, daun-daun. Maaf, pohon-pohon," Bless berkata dengan suara terdengar seperti menyesali.
"Tidak boleh diulangi. Tidak boleh nakal. Ingat ya, tidak boleh nakal."
"Tidak boleh nakal! Aku kenal dengan kalimat itu," ucapnya sambil tertawa yang ditahan. Mungkin dia takut daun-daun berguguran lagi.
"Hahaha, ya jelas. Itu kalimat petuahmu untukku. Petuahmu. Ingat? Pe-tu-ah! Hahaha!"
"Petuah. Aku jadi tetiba merasa tua seketika!"
"Hei Bless. Kamu pikir berapa usiamu? Sepuluh tahun?"
"Err! Aku sweet seventeen!"
Tawa kami membahana. Dedaunan berguguran banyak sekali. Angin berhembus kencang.
"Err! Suara tawamu! Hampir saja bumi ini dilanda gempa karenanya!" Celetuk Bless.
Lagi-lagi tawa kami menggema. Biarkan saja dedaunan jatuh ke bumi, biarkan saja angin berhembus menerbangkan apa pun yang ada. Kami tertawa lepas tanpa beban.
Laut yang ada di hadapan kami menghidangkan ombak yang berlarian. Besar, membesar, makin besar. Indah sekali pecahan airnya di batu karang. Bukan hanya sekali, tapi terus berulang-ulang. Seakan-akan mereka sedang berlomba siapa yang paling besar dan siapa yang paling menakjubkan deburannya.
Langit membiru. Awan putih menggoda untuk ikut bersama mereka berada di atas sana.
"Bless, pernahkah kamu ke atas awan?" Tanyaku.
"Belum pernah."
"Sewaktu kecil aku memimpikan berbaring dalam awan. Berlari di antara bintang. Juga memetik kilat yang menakutkan itu! Lalu memeras awan hingga hujan turun! Impian yang konyol, ya? Oh ya, aku selalu berlari menuju ujung pelangi saat kulihat lengkungan indahnya di langit, dulu. Melompat karena ingin segera tiba di atas langit, memanjat pohon hingga puncak karena ingin mencapai awan!"
Bless mendengarkanku. Seperti biasa dia memperhatikanku. Dan seperti biasa, aku bercerita tanpa henti. Masuk dalam masa kecil sungguh membahagiakan. Tetiba terbayang semua apa yang kulakukan saat kecil, dan semua yang kuinginkan juga seluruh khayalan!
"Apa lagi?" Tanya Bless.
"Aku ingin bertanya pada langit, apakah dia merasa terganggu dengan kehadiranku saat berada di sana? Karena saat aku berada di langit, aku bernyanyi keras-keras!"
Bless tersenyum. Digandengnya tanganku dengan erat.
Aku suka caranya memperhatikanku. Aku suka caranya menggenggam erat jemariku. Aku suka cara dia menatap mataku. Aku suka caranya mendengarkan seluruh cerita konyolku. Aku suka semua yang dilakukannya untukku.
"Apa lagi mimpimu?"
"Banyak!"
"Apa? Ceritakan padaku."
"Aku ingin berpelukan di dalam lebatnya hujan! Aku ingin dipeluk dalam kegelapan yang pekat! Aku ingin berada dalam kenyamanan saat aku berada dalam situasi yang aku tak tahu bagaimana harus bersikap."
"Itu mimpimu?"
"Ya. Itu mimpi saat kumenua."
"Bukankah dia, sang terkasih memelukmu?"
"Tidak. Pelukku selalu ditepisnya."
"Oh, maafkan pertanyaanku."
"Bless, it's ok. Tak apa. Toh saat ini aku bahagia. Jauh lebih bahagia dibanding saat kuberada di dunia hidup! Kenapa kamu tak ada saat kumasih bernapas, Bless? Dimanakah kamu saat itu? Andai saja aku menemukanmu dulu, pasti hidupku tak sesakit itu."
Tanganku digenggam erat-erat. Bless tak menjawab.
"Dulu aku membangun bahagiaku, mencipta bahagiaku sendiri. Makiannya memenuhi seluruh detikku dan hampir saja membuatku gila." Lirih suaraku menceritakan masa lalu yang tak bisa disebut indah.
"Err."
"Bless. kenapa kamu tak ada sejak dulu?"
Direngkuhnya aku dalam pelukan dinginnya. Bless, kamu selalu menenangkanku. Maafkan aku dan masa laluku. Amat membekas dalam ingatan. Amat meluka dalam kenang.
"Sekarang ada aku. Kalau dulu kita bersama, mungkin saat ini kita tak bisa bertemu, Err."
Air mataku membasahinya, juga mengalir membasahi seluruh pantai berpasir. Lukaku begitu dalam dan menyakitkan. Padahal aku sudah berusaha menerima segala yang terjadi. Tapi ternyata masih ada luka tertinggal.
"Err, ada aku. Saat ini ada aku. Aku memelukmu dan tak akan pernah menepismu. Aku akan tetap di sini. Tak meninggalkanmu. Ada aku. Seperti kamu ada untukku."
Dibelainya punggungku lembut. Lembut sekali. Dan sungguh menenangkan.
"Jangan pergi dariku, Bless. Jangan pergi. Aku bisa saja sendirian tanpa siapa pun. Aku bisa saja menjalani segala sesuatu tanpa siapa pun bersamaku. Tapi bersamamu amat menenangkanku."
"Ya, ya, aku tidak meninggalkanmu. Ayo ceritakan lagi padaku tentang mimpi-mimpimu. Cerita padaku tentang angan dan inginmu, tentang semua kisah hidupmu dahulu. Kita urai bersama. Kita rasa bersama. Juga kita melegakan hati bersama. Setuju?"
"Yes! Kita saling menyembuhkan, ya?"
Pelukannya makin erat membawaku dalam hening yang damai.
Bless, lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45 adalah hantu sebiji mata kiri dan serongga mata kosong. Dia lelaki yang berbagi pandang denganku, penuh kasih. Dia bukan lelaki sempurna. Tapi justru menjadi amat sempurna karena penuh kasih dan sanggup berbagi denganku.
Bless, menjadi penyempurnaku, penyeimbangku. Yang membasuh seluruh luka dalam kenang masa lalu. Aku pun menjadi penenang baginya. Kasih yang kami miliki adalah kasih yang tulus. Berada di sini menyadarkan bahwa hidup adalah anugerah terindah, dan semestinya diisi dengan hal yang selalu indah. Bukan dengan kemarahan, apalagi kebencian dan dendam. Hidup diisi dengan saling mengasihi dalam seluruh sisi kehidupan.
Kami sepasang hantu melihatmu dari sini.
Ingin bertanya padamu, apakah kamu tulus berbagi kasih, atau masih sibuk menepis peluk erat yang mengasihimu?
Aku, Err. Dia, Bless. Kami hantu yang berada di pantai ini. Sejak pagi hingga pagi, kami ada di sini. Terkadang kami meninggalkan tempat ini untuk sejenak melepas kejenuhan, tapi lalu kembali ke sini lagi. Karena di sini ada kasih yang tak ingin kami tinggalkan. Jangan bertanya apakah kami ada atau tak ada. Dengar saja kisah kami dari angin yang mengembara.
Nitaninit Kasapink
Comments
Post a Comment