Skip to main content

(12) Err Dan Bless, Tawa Hari Ini

"Err!"

Aku seperti merasa mendengar suara Bless memanggil. Tapi kutak melihatnya!

"Err!"

"Bless? Kamukah itu?"

Tetap tak kulihat Bless!

"Bless, kamu di mana? Keluarlah, jangan sembunyi!"

Suara angin mendesau menjawab teriakanku.

Lagi dan lagi aku sendiri bermain pasir di sini. Angin mengajakku bercanda. Diangkatnya sekuntum bunga dan diletakan di atas rambutku, yang kemudian terjatuh menghempas bumi.

"Err!"

Huh, aneh saja, sudah menjadi hantu, masih saja berhalusinasi! Rutukku dalam hati.

"Err!"

Menjengkelkan sekali berhalusinasi di saat langit kelam begini.

"Err!"

Bless! Kenapa kamu  menjengkelkanku? Pergi ya pergilah jangan menggangguku dalam halusinasi.

Tetiba kumerasa ada yang memeluk dari belakang. Pelukan yang dingin, leih dingin dari es.

"Bless!"

"Err."

Tawa dan tangis bercampur jadi satu! Lelaki besarku kembali!

"Bless, kamu kembali."

"Ya. Aku sudah katakan padamu, aku pasti kembali. Hmm, pasti kamu tidak percaya."

Lelakiku kembali dengan membawa setangkup hati yang siap kuisi dengan sepenuh kerinduan.

Bless menggandeng tanganku, lalu kami duduk di atas karang besar di pingggir laut. Ombak menabrak keras karang, tapi sama sekali tak mengganggu.

"Kapan kamu kembali?"

Garis senyumnya tampak lelah di mataku.

"Bless, kapan kamu kembali?"

Matanya menyipit, memandangku seperti baru pertama kali melihat.

"Bleeess, ayolah jawab. Kapan kamu kembali?"

Senyumnya mengerucut. Lelaki ini sungguh mengganggu perasaanku!

"Bless, jawab."

Senyumnya mengembang sedikit. Kusandarkan kepala ke lengannya. Damai mengalir di seluruh rasaku.

"Bless."

"Err."

"Jawab."

"Ya."

"Apa?"

"Ya."

"Hei, jawab pertanyaanku, Bless."

"Yang mana?" Tanyanya sambil tetap duduk tenang.

"Yang tadi."

"Lupa."

Tawaku pecah. Bless! Beberapa lama aku lupa bagaimana cara tertawa! Tapi saat dia muncul, tawa ini bergema.

"Apa pertanyaanmu?"

"Hmm, aku tak pernah bertanya apa pun padamu," jawabku sambil tetap menyandarkan kepala di lengan dinginnya.

"Hmm. Ya, jangan bertanya apa-apa. Aku sudah di sini. Ya kan?"

"Ya."

"Bagaimana kabarmu?"

"Not well."

"Hei, kenapa?"

"Entahlah. Ada lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45 yang pergi meninggalkanku, dan membuatku menjadi kehilangan senyum." Ujarku ringan.

"Siapa lelaki itu? Beritahu aku. Biar kucubit dia!"

"Bleeess! Huh, sudahlah."

Tawanya menyejukkanku. Sebiji matanya penuh cahaya! Serongga kosongnya gelap, tapi di ujung bibirnya kulihat ada garis melengkung yang amat lembut.

"Sudah kamu baca semua suratku yang ditulis di seluruh daun sepantai ini?" Tanyanya dengan nada yang amat menenangkan.

"Sudah sebagian."

"Hah? Sebagian?"

"Hei, kamu pikir aku tidak lelah membaca tumpukan daun yang menggunung?"

Tawanya lagi-lagi menembus gelap. Dan aku suka!

"Hmm, mana daun-daun itu?"

"Kukubur dalam pasir. Bersama rindu, juga cinta dan kasih."

"Sejak kapan kamu menjadi penyair, Err?"

Aku tergelak.

"Sejak lelaki itu meninggalkanku, Bless! Aku belajar memahami diri sendiri."

"Katakan padaku, siapa lelaki itu?"

Kuangkat kepala, lalu beranjak dari sisinya. Berlari bersama angin.

"Namanya Bless! Namanya Bless! Namanya Bless! Ya, namanya Bleeeess!"

Berlari mundur sambil menendang pasir ke arahnya. Bless tertawa. Garis senyumnya merebak.

Dunia kami memang  berbeda denganmu. Tapi jangan lupa, kami pernah hidup di kehidupan sepertimu.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu yang berbagi biji mata.

Aku, Err. Hantu perempuan cantik yang mencintai Bless sepenuh kasih tanpa peduli apakah dia mencintaiku atau tidak. Yang kutahu kasihnya tak menghilang dariku.

Dia, Bless. Lelaki yang dulu bermata kosong. Dia memiliki masa lalu yang dipendamnya sendiri. Satu waktu dia akan bercerita padaku tentang semuanya. Mungkin juga akan menceritakannya padamu. Tapi kalau pun dia hendak menyimpannya sendiri, tak mejadi masalah bagiku. Bukankah siapa pun pasti punya masa lalu? Tapi yang terpenting adalah hari ini.

Kamu yang berada di dunia hidup, apakah kamu pun merasakan hal yang sama sepertiku? Memiliki masa lalu, tapi berpijak pada hari ini.

Aku, Err. Dia, Bless. Sepasang hantu yang melihatmu diam-diam dari sudut ruang mata yang kosong dan ruang mata yang  bercahaya. Mungkin kamu tak melihat kami, tapi kami melihatmu dengan jelas.


Nitaninit Kasapink,




Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...