"Err!"
Aku seperti merasa mendengar suara Bless memanggil. Tapi kutak melihatnya!
"Err!"
"Bless? Kamukah itu?"
Tetap tak kulihat Bless!
"Bless, kamu di mana? Keluarlah, jangan sembunyi!"
Suara angin mendesau menjawab teriakanku.
Lagi dan lagi aku sendiri bermain pasir di sini. Angin mengajakku bercanda. Diangkatnya sekuntum bunga dan diletakan di atas rambutku, yang kemudian terjatuh menghempas bumi.
"Err!"
Huh, aneh saja, sudah menjadi hantu, masih saja berhalusinasi! Rutukku dalam hati.
"Err!"
Menjengkelkan sekali berhalusinasi di saat langit kelam begini.
"Err!"
Bless! Kenapa kamu menjengkelkanku? Pergi ya pergilah jangan menggangguku dalam halusinasi.
Tetiba kumerasa ada yang memeluk dari belakang. Pelukan yang dingin, leih dingin dari es.
"Bless!"
"Err."
Tawa dan tangis bercampur jadi satu! Lelaki besarku kembali!
"Bless, kamu kembali."
"Ya. Aku sudah katakan padamu, aku pasti kembali. Hmm, pasti kamu tidak percaya."
Lelakiku kembali dengan membawa setangkup hati yang siap kuisi dengan sepenuh kerinduan.
Bless menggandeng tanganku, lalu kami duduk di atas karang besar di pingggir laut. Ombak menabrak keras karang, tapi sama sekali tak mengganggu.
"Kapan kamu kembali?"
Garis senyumnya tampak lelah di mataku.
"Bless, kapan kamu kembali?"
Matanya menyipit, memandangku seperti baru pertama kali melihat.
"Bleeess, ayolah jawab. Kapan kamu kembali?"
Senyumnya mengerucut. Lelaki ini sungguh mengganggu perasaanku!
"Bless, jawab."
Senyumnya mengembang sedikit. Kusandarkan kepala ke lengannya. Damai mengalir di seluruh rasaku.
"Bless."
"Err."
"Jawab."
"Ya."
"Apa?"
"Ya."
"Hei, jawab pertanyaanku, Bless."
"Yang mana?" Tanyanya sambil tetap duduk tenang.
"Yang tadi."
"Lupa."
Tawaku pecah. Bless! Beberapa lama aku lupa bagaimana cara tertawa! Tapi saat dia muncul, tawa ini bergema.
"Apa pertanyaanmu?"
"Hmm, aku tak pernah bertanya apa pun padamu," jawabku sambil tetap menyandarkan kepala di lengan dinginnya.
"Hmm. Ya, jangan bertanya apa-apa. Aku sudah di sini. Ya kan?"
"Ya."
"Bagaimana kabarmu?"
"Not well."
"Hei, kenapa?"
"Entahlah. Ada lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45 yang pergi meninggalkanku, dan membuatku menjadi kehilangan senyum." Ujarku ringan.
"Siapa lelaki itu? Beritahu aku. Biar kucubit dia!"
"Bleeess! Huh, sudahlah."
Tawanya menyejukkanku. Sebiji matanya penuh cahaya! Serongga kosongnya gelap, tapi di ujung bibirnya kulihat ada garis melengkung yang amat lembut.
"Sudah kamu baca semua suratku yang ditulis di seluruh daun sepantai ini?" Tanyanya dengan nada yang amat menenangkan.
"Sudah sebagian."
"Hah? Sebagian?"
"Hei, kamu pikir aku tidak lelah membaca tumpukan daun yang menggunung?"
Tawanya lagi-lagi menembus gelap. Dan aku suka!
"Hmm, mana daun-daun itu?"
"Kukubur dalam pasir. Bersama rindu, juga cinta dan kasih."
"Sejak kapan kamu menjadi penyair, Err?"
Aku tergelak.
"Sejak lelaki itu meninggalkanku, Bless! Aku belajar memahami diri sendiri."
"Katakan padaku, siapa lelaki itu?"
Kuangkat kepala, lalu beranjak dari sisinya. Berlari bersama angin.
"Namanya Bless! Namanya Bless! Namanya Bless! Ya, namanya Bleeeess!"
Berlari mundur sambil menendang pasir ke arahnya. Bless tertawa. Garis senyumnya merebak.
Dunia kami memang berbeda denganmu. Tapi jangan lupa, kami pernah hidup di kehidupan sepertimu.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu yang berbagi biji mata.
Aku, Err. Hantu perempuan cantik yang mencintai Bless sepenuh kasih tanpa peduli apakah dia mencintaiku atau tidak. Yang kutahu kasihnya tak menghilang dariku.
Dia, Bless. Lelaki yang dulu bermata kosong. Dia memiliki masa lalu yang dipendamnya sendiri. Satu waktu dia akan bercerita padaku tentang semuanya. Mungkin juga akan menceritakannya padamu. Tapi kalau pun dia hendak menyimpannya sendiri, tak mejadi masalah bagiku. Bukankah siapa pun pasti punya masa lalu? Tapi yang terpenting adalah hari ini.
Kamu yang berada di dunia hidup, apakah kamu pun merasakan hal yang sama sepertiku? Memiliki masa lalu, tapi berpijak pada hari ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Sepasang hantu yang melihatmu diam-diam dari sudut ruang mata yang kosong dan ruang mata yang bercahaya. Mungkin kamu tak melihat kami, tapi kami melihatmu dengan jelas.
Nitaninit Kasapink,
Aku seperti merasa mendengar suara Bless memanggil. Tapi kutak melihatnya!
"Err!"
"Bless? Kamukah itu?"
Tetap tak kulihat Bless!
"Bless, kamu di mana? Keluarlah, jangan sembunyi!"
Suara angin mendesau menjawab teriakanku.
Lagi dan lagi aku sendiri bermain pasir di sini. Angin mengajakku bercanda. Diangkatnya sekuntum bunga dan diletakan di atas rambutku, yang kemudian terjatuh menghempas bumi.
"Err!"
Huh, aneh saja, sudah menjadi hantu, masih saja berhalusinasi! Rutukku dalam hati.
"Err!"
Menjengkelkan sekali berhalusinasi di saat langit kelam begini.
"Err!"
Bless! Kenapa kamu menjengkelkanku? Pergi ya pergilah jangan menggangguku dalam halusinasi.
Tetiba kumerasa ada yang memeluk dari belakang. Pelukan yang dingin, leih dingin dari es.
"Bless!"
"Err."
Tawa dan tangis bercampur jadi satu! Lelaki besarku kembali!
"Bless, kamu kembali."
"Ya. Aku sudah katakan padamu, aku pasti kembali. Hmm, pasti kamu tidak percaya."
Lelakiku kembali dengan membawa setangkup hati yang siap kuisi dengan sepenuh kerinduan.
Bless menggandeng tanganku, lalu kami duduk di atas karang besar di pingggir laut. Ombak menabrak keras karang, tapi sama sekali tak mengganggu.
"Kapan kamu kembali?"
Garis senyumnya tampak lelah di mataku.
"Bless, kapan kamu kembali?"
Matanya menyipit, memandangku seperti baru pertama kali melihat.
"Bleeess, ayolah jawab. Kapan kamu kembali?"
Senyumnya mengerucut. Lelaki ini sungguh mengganggu perasaanku!
"Bless, jawab."
Senyumnya mengembang sedikit. Kusandarkan kepala ke lengannya. Damai mengalir di seluruh rasaku.
"Bless."
"Err."
"Jawab."
"Ya."
"Apa?"
"Ya."
"Hei, jawab pertanyaanku, Bless."
"Yang mana?" Tanyanya sambil tetap duduk tenang.
"Yang tadi."
"Lupa."
Tawaku pecah. Bless! Beberapa lama aku lupa bagaimana cara tertawa! Tapi saat dia muncul, tawa ini bergema.
"Apa pertanyaanmu?"
"Hmm, aku tak pernah bertanya apa pun padamu," jawabku sambil tetap menyandarkan kepala di lengan dinginnya.
"Hmm. Ya, jangan bertanya apa-apa. Aku sudah di sini. Ya kan?"
"Ya."
"Bagaimana kabarmu?"
"Not well."
"Hei, kenapa?"
"Entahlah. Ada lelaki tinggi besar dengan ukuran sepatu 45 yang pergi meninggalkanku, dan membuatku menjadi kehilangan senyum." Ujarku ringan.
"Siapa lelaki itu? Beritahu aku. Biar kucubit dia!"
"Bleeess! Huh, sudahlah."
Tawanya menyejukkanku. Sebiji matanya penuh cahaya! Serongga kosongnya gelap, tapi di ujung bibirnya kulihat ada garis melengkung yang amat lembut.
"Sudah kamu baca semua suratku yang ditulis di seluruh daun sepantai ini?" Tanyanya dengan nada yang amat menenangkan.
"Sudah sebagian."
"Hah? Sebagian?"
"Hei, kamu pikir aku tidak lelah membaca tumpukan daun yang menggunung?"
Tawanya lagi-lagi menembus gelap. Dan aku suka!
"Hmm, mana daun-daun itu?"
"Kukubur dalam pasir. Bersama rindu, juga cinta dan kasih."
"Sejak kapan kamu menjadi penyair, Err?"
Aku tergelak.
"Sejak lelaki itu meninggalkanku, Bless! Aku belajar memahami diri sendiri."
"Katakan padaku, siapa lelaki itu?"
Kuangkat kepala, lalu beranjak dari sisinya. Berlari bersama angin.
"Namanya Bless! Namanya Bless! Namanya Bless! Ya, namanya Bleeeess!"
Berlari mundur sambil menendang pasir ke arahnya. Bless tertawa. Garis senyumnya merebak.
Dunia kami memang berbeda denganmu. Tapi jangan lupa, kami pernah hidup di kehidupan sepertimu.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu yang berbagi biji mata.
Aku, Err. Hantu perempuan cantik yang mencintai Bless sepenuh kasih tanpa peduli apakah dia mencintaiku atau tidak. Yang kutahu kasihnya tak menghilang dariku.
Dia, Bless. Lelaki yang dulu bermata kosong. Dia memiliki masa lalu yang dipendamnya sendiri. Satu waktu dia akan bercerita padaku tentang semuanya. Mungkin juga akan menceritakannya padamu. Tapi kalau pun dia hendak menyimpannya sendiri, tak mejadi masalah bagiku. Bukankah siapa pun pasti punya masa lalu? Tapi yang terpenting adalah hari ini.
Kamu yang berada di dunia hidup, apakah kamu pun merasakan hal yang sama sepertiku? Memiliki masa lalu, tapi berpijak pada hari ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Sepasang hantu yang melihatmu diam-diam dari sudut ruang mata yang kosong dan ruang mata yang bercahaya. Mungkin kamu tak melihat kami, tapi kami melihatmu dengan jelas.
Nitaninit Kasapink,
Comments
Post a Comment