Skip to main content

(18) Err Dan Bless, Semua Sesuai Prasangkamu Saja

Bless berjalan sendiri di pantai. Kakinya menendang pelan pasir di setiap kakinya melangkah. Butirannya beterbangan.

Sedangkan aku asyik duduk di atas pasir hangat sinar matahari.

Angin lembut bertiup. Daun-daun bergoyang pelan. Jajaran pohon meneduhi pantai. Melindungi siapa pun dari sengatan matahari.

Beberapa orang terlihat asyik duduk bercengkrama.

Pantai ini sepi, tidak hiruk pikuk.

Air laut tenang mengalir menuju batas pantai, lalu kembali menuju laut. begitu terus menerus, tak berhenti. Suaranya tidak memekakkan, tapi bagiku malah menenangkan.

Terlihat beberapa orang sedang menyusuri susunan batu yang disusun rapi. Senyum mereka jelas mengembang.

Apakah kamu tahu? Aku amat suka melihat siapa pun tersenyum! Bagiku, senyum adalah wujud syukur karena telah diberi segala bahagia dalam seluruh kejadian yang hadir.

Dan saat ini aku sedang menikmati setiap senyum yang ada. Bahagianya! Indahnya!

Tapi saat kumemutar pandang, seorang perempuan sedang duduk di dalam gelombang ombak. Menunduk. Rambut panjangnya berkibar ditiup angin!

Hei! Gelombang menembus tubuhnya!

Sosoknya terlihat pucat. Oh bukan, seluruh tubuhnya abu-abu!

Aku belum pernah melihatnya di sekitar sini!

Setengah berlari kumendekatinya.

Melewati air laut yang berlari menerjang.

Mendekati, menepuk halus pundaknya yang jatuh bagai tak bertulang.

"Hai. Aku, Err. Kamu siapa? Kenapa bersedih?"

Wajahnya masih menunduk, isaknya terdengar pelan.

Pelahan kepalanya bergerak menoleh ke arahku. Rambutnya yang tergerai makin berkibar.

"Aku...."

Suaranya bergetar.

Oh! Matanya! Kosong! Seperti Bless dulu! Tapi wajahnya menyeramkan. Penuh dengan darah!

Tidak! Walau pun aku juga hantu, tetap saja itu mengejutkanku!

"Apa yang terjadi?"

Air mata yang mengalir adalah darah berwarna hitam. Luka lama yang telah lama dirasakan!

"Aku, Err. Siapa namamu?"

 "Aku, Ell."

Wajahnya kemudian menunduk lagi.

"Kenapa kamu ada di sini?" Tanyaku.

"Bukan maksudku ke sini. Tapi ini pantai yang dulu ada dalam masa laluku!"

Wajahnya menegang. Darah hitam makin banyak mengalir dari matanya yang kosong!

Tidak, jangan, berhentilah, jangan seperti ini.

Tiba-tiba dia menghilang!

Ganti aku menangis, duduk dalam gelombang ombak yang semakin menggemuruh!

"Err! Sedang apa kamu di sini? Bangunlah. Sini, sini, aku peluk. Sini, Err."

Suara yang menenangkanku. Bless!

Aku bangun, memeluknya erat!

"Bless, tadi ada perempuan abu-abu, berambut panjang. Matanya kosong sepertimu! Darah hitam mengalir dari rongga mata yang kosong. Lalu dia menghilang. Namanya Ell. Aku merasa mengenalnya, Bless."

Bless memeluk erat, lebih erat dari sebelumnya.

"Err, sewaktu kita menyambangi rumah masa lalumu, aku melihat guratan kasar di tembok kamarmu. Tertulis, Ell. Apakah ini ada hubungannya dengan perempuan abu-abu itu?"

Tercekat aku mendengar penuturan Bless.

Ell, Ell, Ell?

Telunjukku mengetuk-ngetuk kening.

Ell, Ell, Ell.

Siapa Ell? Tapi rasanya aku mengenal nama itu.

Bless masih memelukku.

"Err, apakah tak ada hubungannya antara nama Err dan Ell? Bukankah itu serupa?"

Ell!

Astaga, Ell adalah sebutanku di masa lalu! Karena cadel, aku menyebut namaku, Ell. Dan sering kali kedua orang tuaku memanggilku, Ell.

Perlahan kuberbisik lirih di telinga Bless,"Apakah dia adalah aku di masa lalu, Bless?"

Dibelainya kepalaku. Dikecupnya rambutku. Sedangkan dengan satu tangan dia memelukku lebih erat lagi.

Ya, segala sesuatu yang terjadi menjadi sesuai dengan prasangka kita sendiri.

Ketika kumengira bahwa perempuan berwarna abu-abu berambut panjang adalah hantu sepertiku, jadilah dia hantu.

Dan saat aku berpikir bahwa dia adalah aku di masa lalu, bahwa dia adalah aku yang merasa tersiksa dengan keadaan yang terjadi di masa itu, hingga kehilangan seluruh warna hidup, berubahlah seluruh warnaku menjadi abu-abu! Dan mata kosong itu adalah milikku dulu. Yang tak pernah bisa melihat kebahagiaan. Darah hitam yang mengalir menjadi penguatan tentang luka yang dirasakan. Luka-luka yang tak pernah terpikir akan terus menerus dibawa, dan tanpa pernah berubah menjadi sembuh dan normal, . Menghitam karena dendam!

Semakin erat kumemeluk Bless.

"Jangan tinggalkan aku. Bantu aku menyembuhkan luka-lukaku. Bantu aku, Bless."

Air mata mengalir dan terus mengalir.

Air laut menjadi pasang. Langit gelap makin kelam. Guntur yang menggelegar membuat tubuhku gemetar.

"Peluk aku, Bless. Jangan lepas pelukanmu."

Lalu kulanjutkan,"Bless, aku pun bermata kosong sepertimu, di masa lalu. Berarti kamu bisa menumbuhkan biji matamu sendiri! Kita sama-sama berusaha, Bless. Kita saling mendukung."

Bless tak berkata apa pun. Tapi aku tahu dia memiliki jawaban terhangat yang penuh dengan kasih.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga yang berbagi biji mata, berbagi pandang, berbagi kasih.

Aku, Err. Dia, Bless. Sepasang hantu yang berusaha menuntaskan kisah masa lalu, hingga tak lagi menjadi luka, apalagi mendendam. Masa kami sudah habis di dunia hidup. Sekarang kami ada di dunia mati. Dan sekaranglah masanya kami untuk menjalani hidup di dunia mati tanpa kesakitan yang memerih.

Hai, kamu. Kamu ada di dunia hidup. Jangan pernah lukai hati dan jiwa siapa pun. Karena itu amat mematikan, bahkan di saat sudah mati sekali pun.

Tebar kasihmu untuk siapa pun.

Bukankah kasih adalah hal yang membahagiakan?

Aku, Err. Dia, Bless.
Kami bahagia ada di dunia mati.

Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Tapi kami melihatmu dari sini.


Nitaninit Kasapink







                                          





   

Comments

  1. Ngebayangin hidup err di dunia yg dulu, sedih ihh. Kyknya dia bener2 tersiksa banget dulu yaa mba. Kdg aku kebawa momen baca ceritamu ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Err memiliki masa lalu yang kelam. Dia sedang berusaha untuk bisa menjadikan masa lalu bukan sebagai luka.
      Terima kasih sudah mengikuti kisah ini dan ikut berimajinasi, Mbak.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI