Skip to main content

(19) Err Dan Bless, Panggil Namaku

Pernahkah kamu bosan memandang laut? Pernahkah kamu jenuh berada di pinggir laut? Pernahkah kamu membenci laut?

Aku mencintai laut! Aku cinta pantai! Semua hal yang berhubungan dengan pantai, laut, tak pernah membuatku jadi jenuh, bosan, apalagi membenci. Tidak akan pernah!

Kenapa? Ah, laut, pantai, pasir, angin, sengatan matahari, beserta anginnya, membawa kedamaian untukku.

Dan aku ada di sini di pantai, menatap laut yang tenang.

Bless? Dia ada di sisiku. Duduk menatap laut juga.

"Bless, sedang berpikir tentang apa?"

"Tentangmu."

"Tentangku? Tentang apa?"

"Apakah kamu menyayangiku?" Tanya Bless.

Terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, alisku berkerut, mata pun menyipit. Lalu beringsut berpindah duduk ke hadapannya.

"Err, aku bertanya sungguh-sungguh. Apakah kamu menyayangiku?"

Wajahnya terlihat serius, tanpa senyum.

"Ya!"

"Jangan berteriak. Aku mendengarmu, Err."

Bersungut-sungut dia menjawab, tapi kemudian tersenyum.

"Bless, kamu tidak mendengarku. Aku menyayangimu, mencintaimu, mengasihimu. Dari sikapku, perkataanku padamu, semua jelas menyatakan bahwa aku menyayangi, mencintai, mengasihi. Tapi masih juga kamu bertanya tentang itu."

Senyumku melebar.

Bless tertawa.

"Apakah kamu bosan bersamaku di sini?"

"Pertanyaan macam itu?"

"Aku bertanya, jawablah. Ayo, jawablah."

Rengekan lelaki tinggi besar yang dewasa!

"Aku bahagia bersamamu di sini. Tak akan pernah bosan. Kamu melengkapiku."

Matanya berbinar.

"Panggil namaku, Err."

Sebuah permintaan yang sederhana dari lelaki penuh kasih.

"Bless, Bless, Bless."

"Terima kasih, Err."

Kupeluk dia penuh kasih.

"Ada apa, Bless?"

"Aku rindu namaku disebut."

"Bless, Bless, Bless."

Sebiji matanya penuh dengan bintang-bintang kecil bersinar.

Diraihnya tanganku, digenggam erat.

"Kamu perempuan terbaik yang kumiliki."

Senyumku melebar.

Bless, ucapanmu membuatku melambung tinggi!

"Panggil lagi namaku."

Pinta orang terkasihku.

"Bless. Bless. Bleeeeess! I love you!"

Bless tertawa mendengar teriakanku.

"I love you, too, Err."

"Tidak, tidak! Aku tidak mau hanya too! Aku mau three, four, five, six, seven, eight, nine, ten, infinity! Too sama kan dengan 2?"

Bless tertawa.

"Ya, I love you, infinity!"

Aku bertepuk tangan mendengar ucapannya.

"Bless, Bless, Bless, I love you infinty!"

Diraihnya aku dalam pelukan dingin. Lebih dingin dari es!

"Yuk kita jalan-jalan keliling pantai," ajaknya.

Kami pun bangkit, lalu bergandengan tangan berkeliling pantai.

"Aku bahagia digandeng olehmu."

Bless menoleh, tersenyum.

"Aku bahagia melihat senyummu."

Bless masih tersenyum.

"Aku bahagia selalu bersamamu."

Bless menghentikan langkah.

"Err, kamu serius?"

Aku tertawa lalu menjawab,"Jangan sembarangan berkata bahwa aku serius!"

Matanya menyipit. Ada kecewa di sana.

"Aku duarius, tigarius, empatrius, infinity rius!"

Kami tertawa bersama keras sekali!

"Aku ingin bercerita sesuatu padamu, Err."

"Apa? Cerita saja."

"Aku mencintai perempuan."

"Bless, ya aku tahu. Kamu kan lelaki! Pantasnya mencintai perempuan."

Bless tertawa pelan. igandengnya aku erat.

"Hmm, kamu mencintaiku, Bless?"

Tanyaku tak dijawabnya. Bless tetap menggandeng erat. Matanya menatap ke depan.

Aku tak ingin mengganggunya. Biar sajalah dia berada dalam pikirannya sendiri.

"Err, jika satu saat biji mataku tumbuh dengan sendirinya, apakah aku bisa melihat sepertimu?"

Aku diam. Sebuah pertanyaan aneh, menurutku.

"Err, jawablah."

Kuajak Bless menghentikan langkah. Duduk bersisian di atas pasir yang hangat.

"Jika biji matamu tumbuh lagi, Bless. Kuharap kamu bisa melihat dengan baik. Mungkin berbeda dengan caraku melihat, tapi kurasa kamu punya cara sendiri untuk menikmati sebuah keindahan dari pandangmu."

Setitik air mata hendak turun, kutahan. Jangan menangis, Err Jangan.

"Jika biji matamu tumbuh kembali, kamu bisa melihat segala sesuatu menurut caramu. Bukan lagi sebagai aku. Mungkin cara kita akan amat berbeda, malah mungkin bertentangan. Tapi kuharap saat itu aku tetap mengenalmu sebagai Bless, lelaki tinggi besarku yang memiliki kasih yang luas. Kuharap saat itu kamu mengenalku sebagai Err, hantu pengganggu jalan kisahmu.""

Kugenggam erat jemari tangannya. Sungguh kutakut kehilangannya. Tapi jika memang satu saat itu terjadi, aku ingin bisa kuat menghadapinya tanpa menangis.

Menumbuhkan biji mata baru baginya adalah sebuah keinginanku. Walau kutahu itu bisa membuatnya menghilang dari kisahku.

"Kuserahkan matamu kembali, Err."

Terkejut kumendengarnya.

"Ya,nanti jika matamu sudah bertumbuh, Bless. Kamu boleh mengembalikan padaku, atau juga boleh membuangnya."

Apa yang harus kulakukan saat ini? Menangis atau tersenyum?

"Err, panggil namaku."

"Bless, Bless, Bless."

Air mataku turun perlahan. Bless tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Sungguh aku takut kehilangan dirinya!

"Bless."

"Ya."

"Aku takut kehilangan kamu."

"Hei! Aku ada di sini, Err!"

Genggamanku makin erat.

"Beberapa kali kamu menghilang, Bless. Kurasa satu waktu nanti kamu akan meninggalkanku selamanya. Apalagi setelah matamu bertumbuh."

Ganti genggamannya yang dipererat.

Tidak menutup kemungkinan Bless akan pergi meninggalkanku. Semua bisa saja terjadi. Bless punya masa lalu yang melekat di kisahnya, dan aku tak pernah tahu seperti apa kisahnya.

Menikmati hari ini bersamanya adalah hal terindah dalam kisahku.

"Bless, Bless, Bless."

"Err, Err, Err."

Saling memanggil, kurasa cukuplah membahagiakan saat ini. Entah esok.

Aku, Err. Dia, Bless. Kami sepasang hantu yang ada dalam kasih berbagi. Berbagi hal yang sederhana, namun membahagiakan. Bukankah bahagia bukan sebuah hal  yang mewah?

Aku, Err. Dia, Bless. Jangan pertanyakan kami ada atau tidak. Tapi jika kamu mendengar sebuah suara bedengung, berarti kami sedang saling memanggil.

Kamu yang ada di dunia hidup, apakah kamu pun seperti kami? Saling memanggil dengan penuh kasih.


Nitaninit Kasapink













Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI