Skip to main content

(13) Err Dan Bless, Berdua Menguatkan

Aku berlari kencang mengejar Bless yang ada di depan!

"Bleeeeess!"

Huh, langkah kakinya panjang sekali!

"Bleeeess!"

Huh, langkahnya terlalu cepat untuk kuikuti!

"Bleeeeess!"

Huh, ya sudahlah, lelah berlari mengikuti langkahnya. Aku berhenti saja sampai di sini. Huh!

Duduk di pasir basah membiarkan dingin semakin merasuk dalam dinginnya diri ini, malah membuat nyaman. Menekuk kaki, menyangga tubuh pada dua tangan yang ke belakang, menengadahkan kepala hingga seluruh otot leher dan tengkuk terasa ditarik, mengatupkan mata, kuheningkan diri.

Jemari menelisik ke dalam pasir. Butiran kasarnya membawa kenang dalam pikiran.

"Err!"

Kudiam. Teriakan itu tak lagi membuatku takut. Bentakan hanya jadi angin kosong.

"Err!"

Berhentilah memanggilku dengan suara usangmu.

"Err! Tuli!"

Ya, aku memang tuli pada bentakan dan makian, tentu saja. Tapi jika kamu memanggilku dengan lembut, pasti aku mendengarmu.

"Err! Jawab!"

Hmm, aku tak perlu suara indah yang merdu. Cukup suara yang membawa damai, maka aku pasti menjawabmu dengan damai juga.

"Err!"

Aku tetap diam. Menyibukkan diri dalam pikiran sendiri. Cukup, cukup, cukup, cukup sudah semua ini.

"Err!"

Kuangkat kepala, menatap dengan binar mata penuh sepi. Bintang-bintang yang bertebaran memang ada di mata ini, tapi bukan untukmu.

"Jangan melihatku seperti itu!"

Lalu apa yang kamu harapkan dari seorang Err?

"Sebuah kesalahan besar berada di sini bersamamu, hidup bersamamu!"

Ragaku kosong, jiwaku melayang menembus langit tanpa batas.

Ditinggalkannya aku dalam kekosongan. Senyum dalam jiwa menari dalam damai yang kudapat dalam hening sendiri.

Aku bagai asap yang meninggi tanpa halangan mencapai atap langit yang tertinggi! Rambut seleher ditiup angin yang entah datang dari mana. Jangan ajak aku untuk kembali menjejak bumi! Jangan ajak kukembali pada raga yang mendingin tanpa kasih. Biarkan saja kunikmati semua ini tanpa harus mengingat apa pun.

Jangan, jangan bawa aku dalam kesakitan yang perih. Sudah, sudah cukup semua ini. Jangan, jangan bawa aku dalam kegelapan yang membekap. Biarkan aku dalam heningku sendiri. Jangan seret aku ke kehidupan yang penuh suara menggelegar!

Air mata luruh dari rongga kosong mata kiri.

"Jangan, jangan bawa aku pada kesakitan yang membunuhku berulang-ulang. Jangan beri aku rasa yang membuatku hidup tapi tak berada dalam kehidupan. Jangan. Kumohon, jangan," lirih kumerintih.

Debur ombak tak terdengar. Semua senyap. Aku berada di dunia kosong dan gelap.

Air mata dari rongga kosong mata kiriku mengguyur seluruh tubuh tanpa berhenti. Isak mulai mengguncang.

"Err."

No! Suara itu datang lagi!

"Err."

Pergi! Pergilah dari sini! Aku benci namaku disebut!

"Err."

Isak semakin keras. Kututup wajah dengan dua tangan. Menggeleng kuat!

Tidak! Jangan hadir di sini lagi! Pergi! Pergi! Pergilah!

Terasa sebuah pelukan dingin dari belakang.

Pelukan dari belakang!

Segera kubuka mata, membuang tangan yang menutup wajah. Menghapus air mata yang basahi seluruh pantai.

"Bless. Kamukah ini?"

"Err."

"Kamu meninggalkanku tadi," ujarku sambil cemberut.

"Hahaha! Tadi aku mencari jejak ombak yang besar. Bukankah amat indah jika satu saat nanti kita berdua berada di sana, Err. Menghadapi ombak besar sambil berpegangan tangan. Err, kamu ngambek? Err, kamu sudah bisa ngambek? Hahaha!"

"Huh! Bless!"

Kulepaskan pelukannya. Lalu berbalik memandang sebiji mata kirinya dan serongga kosong mata kanannya. Lelaki besar yang kukasihi dalam batasan kasih.

"Aku suka menyebut namamu. Seperti kamu menyebut namaku," Ucapnya serius.

"Bless. Tadi aku...."

"Sudahlah, aku sudah tahu. Jangan kembali pada masa lalu, Err."

Suaranya menenangkan gemuruh yang ada di dalam kenang. Mendamaikan kericuhan yang berusaha menyekik setiap kali.

"Err, gunakan sebiji mata kita bersama. Buang rongga kosong mata kita. Err, kita ada di sini, bukan di masa lalu."

Suaranya amat tenang masuk ke telinga.

"Ya, Bless. Ya."

"Kita ada di sini, hari ini, anak cengeng!"

Haaai, dia bicara sambil tertawa meledek!

"Bangun, berdiri, berlarilah sekencang kamu bisa. Aku akan menyusulmu, sebagai pengganti tadi kamu berusaha menyusulku." Katanya sambil mengurai seujung senyum.

Bergegas aku bangkit, lalu berlari sambil tertawa.

"Bleeess! Kamu tidak akan bisa menyusul akuuu!"

Ini dunia kami. Err dan Bless. Aku, Err. Dia, Bless. Dulu kami pernah berada di duniamu, dunia hidup dalam kehidupan. Sekarang kami sepasang hantu.

Kami saling menguatkan, saling berbagi pandang.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu yang berada dalam kehidupan yang hidup pun saling menguatkan seperti kami? Atau malah saling meninggalkan?

Aku, Err. Dia, Bless. Kami melihatmu dengan sebiji mata yang masing-masing kami miliki. Bisakah kamu melihat kami?



Nitaninit Kasapink









                                                                                                                         

Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI