"Err, pernah ke sana?" Tanya Bless sambil menunjuk ujung garis pandang laut.
Aku menggeleng.
"Mau ke sana?"
Aku menggeleng.
"Lehermu patah?"
Antara mata berkerut mendengar pertanyaan anehnya.
"Maksudmu, Bless?"
"Hahaha! Itu loh, kepala mengeleng-geleng terus seperti akan terlepas dari leher! Hahaha!" Katanya tergelak.
Kedua alis terangkat, mulut menganga. Sesaat kemudian barulah kumenyadari kalimat candaannya. Menyendok segenggam pasir lalu kuterbangkan ke arahnya. Butiran pasir melayang, menari menembus bayang tanpa raga. Dan kulihat ada sinar di sebiji mata miliknya!
"Aku lelah, Bless."
"O ow, hantu Err pun bisa merasa lelah! Mana, mana, biar kuseka keringatmu!"
"Bleeess! Aku hantu yang tanpa keringat!"
Kami tergelak bersama.
"Bless, you're amazing for me."
"Hei, hei, aku hantu lokal, bukan hantu bule!"
Lagi-lagi gelak kami memenuhi pantai.
"Ayo menembus laut!"
"Emoh. Aku cuma ingin duduk di sini saja. Enak di sini duduk bersantai lebur dengan malam."
Bless menuruti keinginanku. Duduk memandang laut.
Bless adalah lelaki yang baik. Sungguh baik. Sopan, tidak memaksakan kehendak, dan selalu punya banyak tawa. Lelaki baik yang punya banyak kisah masa lalu tapi disimpannya erat. Lelaki yang memiliki sebiji mata dan serongga mata kosong.
Dia masih duduk menatap laut dalam-dalam. Sesekali kucuri pandang.
"Ceritakan tentang sesuatu, Err."
"Tentang apa?"
"Apa pun. Cerita sesuatu."
"Kancil mencuri timun?"
"Apa pun, Err, apa pun. Aku ingin mendengar ceritamu tentang apa pun."
"Tentang mimpiku, mau mendengarkah?"
"Ceritalah. Aku mendengarkan," dia berkata sambil menutup matanya.
"Ok, aku akan ceritakan padamu tentang mimpi yang pernah datang dalam hidupku dulu."
Kurebahkan tubuh di atas pasir berbantal tangan. Ternyata dia pun mengambil posisi sama sepertiku. Bedanya mataku menerawang jauh ke langit malam yang tanpa batas dan tanpa bintang, sedangkan dia menutup segala pandang.
"Pernah sesosok terkasih membunuhku, membunuh pikiranku, juga rindu yang kumiliki."
"Err, kamu dibunuh? Mana, mana, siapa yang membunuhmu? Biar kudatangi dia!" Suaranya meninggi, matanya menatapku.
"Nop, dia bukan membunuh membuang nyawaku, Bless. Tapi dia membunuhku setiap kali. Membunuhku, pribadiku, seluruh hidupku."
Tatapannya menyiratkan luka ada dalam hati. Bless, apakah kamu mengasihaniku? Plis, jangan mengasihaniku.
"Lanjutkan, Err."
"Kami tidak setiap hari bertemu. Dan kembang rindu selalu tumbuh saat dia tak ada. Tapi lalu gugur ketika dia berada di rumah. Hancur, bukan hanya gugur."
Kuhela napas panjang untuk meringankan beban sesak dalam dada. Mengatur rangkaian kalimat agar tak berisi kalimat negatif. Aku tak ingin menghujatmu, Su, desah hati.
Mata masih saja memandang kelamnya langit. Mungkin akan turun hujan. Aku tak takut kedinginan karena duniaku yang sekarang lebih dingin dari air hujan! Aku tak takut gelegar halilintar, karena dulu dalam hidupku sudah diisi dengan jutaan gelegar amarahmu, Su.
Lagi-lagi kuhela napas panjang.
"Kalau berat bagimu, jangan lanjutkan. Ganti tema saja, Err."
Kepalaku dielusnya pelan. Amat pelan, seakan takut menyakitiku.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang akan menjadi lebih baik untukku jika mengosongkan seluruh perjalananku dulu dari pikiran dan kenangku, Bless. Aku baik-baik saja walau sebenarnya sangat tidak baik-baik saja."
Bless memandangku penuh rasa ingin tahu.
"Aku mencintainya dengan seluruh cinta yang kumiliki. Tapi cintaku hanya bagai sampah dalam hidupnya. Hanya untuk dicampakkan, tak berharga sama sekali."
Kembali mengatur kalimat agar tak bernada menyalahkanmu, walau sungguh sulit. Tapi bukankah tak ada seorang pun yang sungguh-sungguh salah?
"Dia momok menakutkan, karena setiap kali dia membunuh hatiku. Padahal aku mencintainya dengan setulus hati."
"Kamu menangis, Err?"
"Tidak. Hanya sedikit sesak."
"Ingin melanjutkan, atau hendak berhenti bercerita?"
"Hingga satu hari dia pergi dan tak pernah kembali lagi. Tapi selalu hadir dalam mimpi! Kamu tahu rasanya dihantui setiap waktu?"
"Hahaha, kamu bertanya pada hantu, Err!" Bless terbahak-bahak. Tapi lalu segera mengucap,"Maaf."
"Hahaha, tidak apa-apa. Aku lupa sedang berkencan dengan hantu lelaki."
"Lanjutkan?" Tanyanya.
"Aku tersiksa dengan mimpi-mimpi yang berbeda dengan kenyataan! Dalam mimpi setelah dia pergi, pasti dia begitu baik. Diajaknya aku pergi, dan dia amat mencintaiku. Hanya dalam mimpi. Dan kutahu, itu bukan sosok yang sesungguhnya! Aku tak suka dusta walau dalam mimpi!"
Bless diam. Diraihnya tanganku, digenggamnya erat. Dingin, lebih dingin dari es.
"Aku tidak ingin ditipu oleh mimpi, Bless. Aku tersiksa oleh segala kebohongan dalam mimpi-mimpi yang seakan-akan dia memang mencintaiku dulu. Tidak! Kenyataan adalah kejujuran."
Mulai tersendat saat bercerita.
"Kamu tahu, setiap malam kuberdoa untuk menggenapi kebahagiaannya."
Hening. Aku diam. Bless menghela napas panjang.
Angin meniup pepohonan hingga merunduk ke bawah. Beberapa daun jatuh ke pasir, lalu terbang ke arah kami.
"Satu malam aku bermimpi lagi tentangnya. Tapi dengan membawa kejujuran kenyataan, dan aku hadir sebagai diriku yang tegas menolak kehadirannya."
Bless mendekat padaku.
"Di mimpi itu, aku ada di sebuah ruangan penuh orang-orang yang aku kenal. Lalu tetiba dia muncul di hadapanku. Memaki, membentak, seperti kenyataan setiap hari yang kami jalani." Suaraku melemah.
Lalu melanjutkan lagi,"Kamu tahu, aku berjalan ke arah pintu! Berkata tenang padanya, aku yang keluar, atau kamu yang keluar. Blesss, kamu tahu bagaimana tanggapannya? Dia terkejut! Tapi kemudian menjawab bahwa dia yang akan keluar! Dia keluar ruangan, kemudian pintu kututup. Aku menangis sejadi-jadinya dalam mimpi! Jongkok menangis karena merasa lega! Dia keluar dari hidupku! Dia keluar!"
Senyumku mengembang saat melihat Bless mengangkat alis tebalnya. Bless, kamu tidak tahu bahwa betapa ingin kumengecup matamu!
"Oh ya? Wow!"
"Ya. Setelah kejadian mimpi itu, aku tak pernah lagi dihantui mimpi-mimpi tentangnya. Selesai. Aku bahagia."
Bless meraihku, memeluk erat tanpa berkata apa pun. Bless, tahukah kamu, kamu selalu menguatkanku dengan hangatnya sikapmu.
Ya, banyak yang terjadi dalam masa laluku. Dan dulu aku tak pernah membayangkan hal seperti ini bisa ada dalam kehidupanku, kehidupan dunia mati. Tak terbayangkan bisa merasakan hangatnya kasih di dunia mati, waktu kumasih ada dalam dunia hidup sepertimu.
Kamu yang menghadapi dan menjalani hidup dalam dunia cahaya kehidupan, hangatkan kekasihmu, orang terkasihmu, dengan hati yang penuh kasih. Jangan bunuh dia dengan amarah.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami ada di dunia mati. Pernah berada dalam dunia hidup sepertimu. Jangan sia-siakan kasih yang ada dalam kehidupanmu. Karena belum tentu saat kamu datang di dunia mati seperti kami, kamu bisa memiliki kasih seperti yang kami jalani saat ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Jangan pertanyakan kami sungguh ada atau tidak. Tapi yang jelas kami ada bercerita padamu dari sini, dunia mati.
Nitaninit Kasapink
Aku menggeleng.
"Mau ke sana?"
Aku menggeleng.
"Lehermu patah?"
Antara mata berkerut mendengar pertanyaan anehnya.
"Maksudmu, Bless?"
"Hahaha! Itu loh, kepala mengeleng-geleng terus seperti akan terlepas dari leher! Hahaha!" Katanya tergelak.
Kedua alis terangkat, mulut menganga. Sesaat kemudian barulah kumenyadari kalimat candaannya. Menyendok segenggam pasir lalu kuterbangkan ke arahnya. Butiran pasir melayang, menari menembus bayang tanpa raga. Dan kulihat ada sinar di sebiji mata miliknya!
"Aku lelah, Bless."
"O ow, hantu Err pun bisa merasa lelah! Mana, mana, biar kuseka keringatmu!"
"Bleeess! Aku hantu yang tanpa keringat!"
Kami tergelak bersama.
"Bless, you're amazing for me."
"Hei, hei, aku hantu lokal, bukan hantu bule!"
Lagi-lagi gelak kami memenuhi pantai.
"Ayo menembus laut!"
"Emoh. Aku cuma ingin duduk di sini saja. Enak di sini duduk bersantai lebur dengan malam."
Bless menuruti keinginanku. Duduk memandang laut.
Bless adalah lelaki yang baik. Sungguh baik. Sopan, tidak memaksakan kehendak, dan selalu punya banyak tawa. Lelaki baik yang punya banyak kisah masa lalu tapi disimpannya erat. Lelaki yang memiliki sebiji mata dan serongga mata kosong.
Dia masih duduk menatap laut dalam-dalam. Sesekali kucuri pandang.
"Ceritakan tentang sesuatu, Err."
"Tentang apa?"
"Apa pun. Cerita sesuatu."
"Kancil mencuri timun?"
"Apa pun, Err, apa pun. Aku ingin mendengar ceritamu tentang apa pun."
"Tentang mimpiku, mau mendengarkah?"
"Ceritalah. Aku mendengarkan," dia berkata sambil menutup matanya.
"Ok, aku akan ceritakan padamu tentang mimpi yang pernah datang dalam hidupku dulu."
Kurebahkan tubuh di atas pasir berbantal tangan. Ternyata dia pun mengambil posisi sama sepertiku. Bedanya mataku menerawang jauh ke langit malam yang tanpa batas dan tanpa bintang, sedangkan dia menutup segala pandang.
"Pernah sesosok terkasih membunuhku, membunuh pikiranku, juga rindu yang kumiliki."
"Err, kamu dibunuh? Mana, mana, siapa yang membunuhmu? Biar kudatangi dia!" Suaranya meninggi, matanya menatapku.
"Nop, dia bukan membunuh membuang nyawaku, Bless. Tapi dia membunuhku setiap kali. Membunuhku, pribadiku, seluruh hidupku."
Tatapannya menyiratkan luka ada dalam hati. Bless, apakah kamu mengasihaniku? Plis, jangan mengasihaniku.
"Lanjutkan, Err."
"Kami tidak setiap hari bertemu. Dan kembang rindu selalu tumbuh saat dia tak ada. Tapi lalu gugur ketika dia berada di rumah. Hancur, bukan hanya gugur."
Kuhela napas panjang untuk meringankan beban sesak dalam dada. Mengatur rangkaian kalimat agar tak berisi kalimat negatif. Aku tak ingin menghujatmu, Su, desah hati.
Mata masih saja memandang kelamnya langit. Mungkin akan turun hujan. Aku tak takut kedinginan karena duniaku yang sekarang lebih dingin dari air hujan! Aku tak takut gelegar halilintar, karena dulu dalam hidupku sudah diisi dengan jutaan gelegar amarahmu, Su.
Lagi-lagi kuhela napas panjang.
"Kalau berat bagimu, jangan lanjutkan. Ganti tema saja, Err."
Kepalaku dielusnya pelan. Amat pelan, seakan takut menyakitiku.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang akan menjadi lebih baik untukku jika mengosongkan seluruh perjalananku dulu dari pikiran dan kenangku, Bless. Aku baik-baik saja walau sebenarnya sangat tidak baik-baik saja."
Bless memandangku penuh rasa ingin tahu.
"Aku mencintainya dengan seluruh cinta yang kumiliki. Tapi cintaku hanya bagai sampah dalam hidupnya. Hanya untuk dicampakkan, tak berharga sama sekali."
Kembali mengatur kalimat agar tak bernada menyalahkanmu, walau sungguh sulit. Tapi bukankah tak ada seorang pun yang sungguh-sungguh salah?
"Dia momok menakutkan, karena setiap kali dia membunuh hatiku. Padahal aku mencintainya dengan setulus hati."
"Kamu menangis, Err?"
"Tidak. Hanya sedikit sesak."
"Ingin melanjutkan, atau hendak berhenti bercerita?"
"Hingga satu hari dia pergi dan tak pernah kembali lagi. Tapi selalu hadir dalam mimpi! Kamu tahu rasanya dihantui setiap waktu?"
"Hahaha, kamu bertanya pada hantu, Err!" Bless terbahak-bahak. Tapi lalu segera mengucap,"Maaf."
"Hahaha, tidak apa-apa. Aku lupa sedang berkencan dengan hantu lelaki."
"Lanjutkan?" Tanyanya.
"Aku tersiksa dengan mimpi-mimpi yang berbeda dengan kenyataan! Dalam mimpi setelah dia pergi, pasti dia begitu baik. Diajaknya aku pergi, dan dia amat mencintaiku. Hanya dalam mimpi. Dan kutahu, itu bukan sosok yang sesungguhnya! Aku tak suka dusta walau dalam mimpi!"
Bless diam. Diraihnya tanganku, digenggamnya erat. Dingin, lebih dingin dari es.
"Aku tidak ingin ditipu oleh mimpi, Bless. Aku tersiksa oleh segala kebohongan dalam mimpi-mimpi yang seakan-akan dia memang mencintaiku dulu. Tidak! Kenyataan adalah kejujuran."
Mulai tersendat saat bercerita.
"Kamu tahu, setiap malam kuberdoa untuk menggenapi kebahagiaannya."
Hening. Aku diam. Bless menghela napas panjang.
Angin meniup pepohonan hingga merunduk ke bawah. Beberapa daun jatuh ke pasir, lalu terbang ke arah kami.
"Satu malam aku bermimpi lagi tentangnya. Tapi dengan membawa kejujuran kenyataan, dan aku hadir sebagai diriku yang tegas menolak kehadirannya."
Bless mendekat padaku.
"Di mimpi itu, aku ada di sebuah ruangan penuh orang-orang yang aku kenal. Lalu tetiba dia muncul di hadapanku. Memaki, membentak, seperti kenyataan setiap hari yang kami jalani." Suaraku melemah.
Lalu melanjutkan lagi,"Kamu tahu, aku berjalan ke arah pintu! Berkata tenang padanya, aku yang keluar, atau kamu yang keluar. Blesss, kamu tahu bagaimana tanggapannya? Dia terkejut! Tapi kemudian menjawab bahwa dia yang akan keluar! Dia keluar ruangan, kemudian pintu kututup. Aku menangis sejadi-jadinya dalam mimpi! Jongkok menangis karena merasa lega! Dia keluar dari hidupku! Dia keluar!"
Senyumku mengembang saat melihat Bless mengangkat alis tebalnya. Bless, kamu tidak tahu bahwa betapa ingin kumengecup matamu!
"Oh ya? Wow!"
"Ya. Setelah kejadian mimpi itu, aku tak pernah lagi dihantui mimpi-mimpi tentangnya. Selesai. Aku bahagia."
Bless meraihku, memeluk erat tanpa berkata apa pun. Bless, tahukah kamu, kamu selalu menguatkanku dengan hangatnya sikapmu.
Ya, banyak yang terjadi dalam masa laluku. Dan dulu aku tak pernah membayangkan hal seperti ini bisa ada dalam kehidupanku, kehidupan dunia mati. Tak terbayangkan bisa merasakan hangatnya kasih di dunia mati, waktu kumasih ada dalam dunia hidup sepertimu.
Kamu yang menghadapi dan menjalani hidup dalam dunia cahaya kehidupan, hangatkan kekasihmu, orang terkasihmu, dengan hati yang penuh kasih. Jangan bunuh dia dengan amarah.
Aku, Err. Dia, Bless. Kami ada di dunia mati. Pernah berada dalam dunia hidup sepertimu. Jangan sia-siakan kasih yang ada dalam kehidupanmu. Karena belum tentu saat kamu datang di dunia mati seperti kami, kamu bisa memiliki kasih seperti yang kami jalani saat ini.
Aku, Err. Dia, Bless. Jangan pertanyakan kami sungguh ada atau tidak. Tapi yang jelas kami ada bercerita padamu dari sini, dunia mati.
Nitaninit Kasapink
Bagus seperti biasanya :) .. Ceritanya slalu bikin aku penasaran, gimana kelanjutannya lg mba.. Jd kyk cerita bersambung :)
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak Fanny :)
DeleteIya, aku bikin serial, Mbak :)