Skip to main content

Han

"Maafkan aku."

Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah. 

"Maafkan aku, Err."

Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya.

Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf.

Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan ribut kecil. Tapi itu malah membuat hubungan kami makin menguat. 

Semua berjalan manis dan baik-baik saja. Hingga tiba-tiba dia menghilang, lenyap ditelan kegelapan, meninggalkanku tanpa penjelasan sedikitpun. Menyakitkan sekali. Tak satu katapun dia tinggalkan untukku. Hilang begitu saja, menyisakan duka mendalam. Hari-hari yang kujalani setelah dia menghilang hanya ada air mata mengalir. Mencoba bangkit dari keterpurukan tapi sungguh sulit. Aku merasa sendirian tanpa siapapun bisa menolong. 

"Maafkan aku. Bisakah kamu memaafkanku? Langkahku amat sulit dan sungguh berat. Maafkan aku." 

Dan tiba-tiba sekarang dia ada di sini. Sosoknya berdiri tenang memandangku dengan matanya yang kosong. Tanpa senyum. Dingin. Bibirnya putih, pucat bergetar. Rambutnya hitam perak dan kemerahan, berantakan. Wajahnya sembab. Ingin segera memeluknya erat, menangis di pelukannya. Kerinduan ini semakin lekat. Tapi aku hanya diam tak bergerak. Tidak, dia bukan untukku. Dia bukan milikku lagi. 

Selangkah dia maju mendekat. Diulurkannya tangan yang terlihat kurus, gemetar. 

"Kamu terlihat pucat. Kenapa? Terkejutkah bertemu denganku saat ini?"

Tubuhnya mulai goyang, akan jatuh. Matanya gelap kosong. Setitik keringat berwarna merah menitik dari dahinya. 

"Selama ini kamu di mana? Aku mencarimu tapi tak pernah ada kejelasan. Apakah kamu tahu aku gila mencari keberadaanmu," suaraku lemah dan terdengar putus asa. Air mataku mulai membuat samar pandangan. 

Dia mengangkat wajah. Lusuh tak terawat. Terlihat amat letih dan menahan sakit.

Andai saja aku bisa berlari mendekat. Tapi tak bisa. Kakiku tak bisa bergerak. Aku mulai gemetar. 

Lalu tanpa kata perpisahan, dia menghilang.

"Jangan pergi! Kita belum selesai bicara! Haaan!"

Aku memekik memanggil namanya sambil menangis. Menjerit sejadi-jadinya. Meraung memanggil namanya. Tapi Han menghilang lagi tanpa memberitahu dia berada di mana selama ini. Lenyap begitu saja tanpa salam perpisahan. 

Deras air mata membasahi wajah. 

"Han, aku memaafkanmu. Aku rindu keberadaanmu di sini, di sisiku. Kenapa kamu pergi lagi dan menghilang tanpa pesan apapun padaku?" Rintihku dalam hati.

"Err, ada apa? Err!" Kudengar suara mama panik dan terasa pelukan eratnya. 

"Han. Dia datang tadi tapi lalu menghilang lagi. Dia meminta maaf." Jawabku sambil terisak.

"Sudahlah, maafkan Han."

"Tapi dia pergi tanpa pamit. Meninggalkanku lagi."

Mama mengelus rambutku pelan.

"Katupkan matamu, doakan Han. Maafkan dia."

Aku diam menenangkan diri, menghela napas panjang. Han, aku mencintaimu lebih dari yang kau kira. Aku mengharapkan hadirmu lebih dari yang kaupikir.

"Nanti kita ke makamnya. Relakan dia." Suara mama lembut di telinga.

Samar-samar kulihat sosok Han menghampiriku sambil tersenyum,"Maafkan aku."


                                                               ****






Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...