Skip to main content

BAHAGIA ITU SEDERHANA DAN BELANJA KE WARUNG

“Ka, mau ga ke warung belanja?” Tanyaku pada Ngka kecil kelas 2 SD.

“Mau, Ma!”

“Belanja kayak Mama kalau ke supermarket tiap bulan itu loh. Mau, ga?”

“Ngka ga bisa, Ma.”

“Suka ikut Mama ke warung, sama ke supermarket, kan?”

“Iyah.” Dianggukannya kepala dengan keras.

“Berani ga, Ngka sekarang belanja sendiri, mau?”

“Bilangnya gimana?”

“Mama tulis surat untuk tantenya.”

“Mau.”

“Berani?”

“Berani.”

Ini pertama kali Ngka kukenalkan bagaimana berbelanja sendirian, membeli beberapa item kebutuhan rumah sehari-hari. Bukan belanja ke supermarket atau minimarket, tapi ke warung dekat rumah, warung Freddy (disebut begitu karena nama anak pemilik warung bernama Freddy). Pemilik warung pun sudah mengenal kami dengan baik.

Kutuliskan dafttar belanja yang harus dibeli, berikut jumlah uang yang dibawa Ngka, berikut pesan untuk pemilik.

Ci’, tolong anakku mau beli ini: Pasta gigi (merk tertulis), sabun (merk tertulis), shampo (merk tertulis), deterjen (merk tertulis). Harganya tolong ditulis, ya Ci’, juga jumlah kembaliannya. Belanjaannya taruh aja di ranselnya. Makasih ya Ci’.

“Nanti sampai di warung Freddy, kasih ini ke tantenya, ya. Uangnya juga.” Pesanku pada Ngka.

Riang sekali wajah Ngka saat kuberikan uang, kertas pesan untuk warung Freddy. Dan bertambah ceria waktu kubantu memakai ransel, kacamata hitam, dan topi.

“Ranselnya untuk apa, Ma?”

“Nanti belanjaannya taruuh di ransel aja. Jadi ga cape. Kalau bawa pakai tas plastik, pasti sakit tangannya bawa berat begitu.”

Ngka mengangguk.

“Hati-hati, ya.”

“Daah mama..!”

Ngka berangkat dengan langkah gagah. Tersenyum mengantar, lalu melihatnya semakin jauh.
Ga lama kemudian Ngka pulang. 

”Mamaaa..!” 

Aku yang sedang menjemur pakaian di teras menyambutnya dengan senyum.

“Mama, ini belanjaannya! Ngka dikasih permen dong. Tadi tantenya kasih ini.” Dijulurkannya lidah yang berisi permen.

“Waah, asyik banget! Eh, anak Mama hebat banget udah bisa belanja, loh!”

Kubantu melepas ransel, mengambil kertas berisi pesan, dan uang kembalian dari dalam tas. Daftar belanja sudah diisi harga, dan ditulis total pembelian, juga jumlah uang kembalian.
Ngka sibuk mengeluarkan isi ransel. Satu persatu barang belanjaan diletakkan di meja.

“Kata tantenya, Ngka pinter udah bantuin Mama, terus tantenya ngasih permen.”

“Tadi waktu sampai warung, Ngka bilang apa?”

“Tante, beli ini. Ini dari Mama. Ngka kasih surat sama uangnya. Tantenya ambilin belanjaan, habis itu bilang gini, ranselnya sini, diisi belanjaan, gitu Ma. Terus katanya, udah ya, hati-hati, salam untuk Mama.”

“Pinternya annak Mama. Yuk sekarang kita lihat belanja apa aja, habis uang berapa, kembali uangnya berapa.”

Ngka, dan aku pun sibuk menghitung total belanjaan, serta uang kembalian. Belajar berbelanja, belajar menghitung. Ngka senang, ga merasa sedang belajar, padahal sedang belajar berhitung, belajar berbelanja, juga belajar berani.

“Ma, besok Ngka belanja lagi, ya?”


Yes, berhasil! 

Comments

  1. melatih kebranian untuk belanja, ke warung lebih asyik dengan dititpikan catatan dan uang

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...