Skip to main content

(4) Cerita Panjang: Dia Yang Pernah Ada

Pernahkah kamu melihat dirimu sendiri? Bukan melihat di cermin, atau melihat pantulan bayang di genangan air. Tapi sosokmu sendiri yang kamu lihat. Aku sering mengalami hal ini. Melihat diriku sedang tidur, atau sedang duduk, malah terkadang sedang bersamamu. Pada akhirnya memang tanpa harus tidur pun aku bisa 'pergi' menghilang kemanapun kumau. Dan kamu tak pernah tahu bahwa aku berada jauh dari jangkauanmu, berada di tempat yang kamu tidak sangka. Raga ini bisa saja berada di dekatmu, di sisimu, berbincang denganmu. Tapi aku yang sesungguhnya ada di tempat berbeda. Jangan dipikir aku tidak merasa takut. Tetap saja takut, hanya tidak setakut dulu. Mungkin karena sudah terbiasa dengan keadaan ini.

Barusan saja hal itu terjadi lagi. Masuk ke dalam dunia yang gelap tanpa cahaya. Ketakutan menyergap, tapi akhirnya bisa menguasai diri. Biar saja 'mereka' berusaha menggapaiku, toh tidak akan pernah bisa menyentuh. Mereka yang berbeda, menakutkan, dengan segala macam bentuk yang tidak biasa. Ingin menjerit, tapi percuma karena tak ada yang bisa membantuku.

Sesosok tinggi besar melotot ke arahku. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi langkah ini semakin melaju cepat. Tidak, aku tak ingin melihatmu apalagi berkomunikasi denganmu! 

Di satu sudut sesosok perempuan melihatku dengan airmata bercucuran. 

"Err."

Tidak! Aku tidak mengenalnya! Tapi bagaimana bisa dia tahu namaku?

"Err, ini aku."

Kupandang wajahnya dan tetap tak mengenalnya. Lalu ingatanku melayang pada kenangan masa kecil. Sosok itu ada! Dia yang sering kali menemaniku, dulu. Sosok yang membuatku ketakutan. Hanya aku yang bisa melihatnya dan membuatku gemetar.

Aku harus kembali ke rumah! Ini bukan duniaku! Mama! Dimanakah mama dan orang-rang lain yang kukenal? Aku tidak melihat mereka.

"Err, kamu kenapa?"

Suara mama terdengar samar olehku. Kemudian semakin jelas.

"Err, kamu sakit? Bajumu basah, Nak."

Aku sudah kembali di dunia yang kukenal.

"Ga apa-apa, Ma. Tadi tertidur lalu mimpi yang menakutkan."

"Tertidur? Bukankah kamu sedang membaca?"

"Iya, Ma. Tertidur."

"Ya sudahlah. Kamu terlalu lelah. Tidurlah. Mama juga akan tidur, sudah malam."

Tidur? Oh, Tidak!



Nitaninit Kasapink






















Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...