Skip to main content

Tidak Ada Hal Yang Sia-Sia

Gue pernah cerita tentang anak tetangga yang sering dapat kekerasan dari ibunya, kan? Dan gue berusaha untuk menarik anak tersebut ke rumah, memberi pendampingan belajar menulis, mewarnai, dan juga gue mendongeng untuknya, dongeng yang berisi ajakan moral menjadi orang yang murah senyum, ceria, dan ga mudah marah. Sang ibu kerap cemberut ke gue, berteriak-teriak ke arah rumah gue, tapi gue sih cuek aja, gue rasa ga perlu membalas dengan perbuatan yang sama. Gue punya keinginan agar anak tetangga gue memiliki rasa kasih sayang, ga meniru ibunya, tapi juga ga marah, apalagi memendam dendam pada sang ibu. Haduh, seram kalau terjadi hal seperti itu! Gue hanya ingin memutus rantai kekerasan yang didapat olehnya. Jangan sampai terjadi karena dia mendapat kekerasan sewaktu kecil, lalu saat dewasa dan memiliki anak, dia pun melakukan hal yang sama seperti sang ibu padanya. Ga cuma gue, 3 anak gue pun ikut serta dalam pendampingan ini.

Hari demi hari dilalui, bulan demi bulan pun lewatlah sudah (glek!), belum ada perubahan juga. Berbulan-bulan gue mendengar teriakan, jerit tangis sang anak memohon agar ibunya stop memukulinya. Itu benar-benar menyedihkan! Banyak teman menganjurkan agar gue melaporkan ke kantor polisi tentang kekerasan ini. Ya, gue pada awalnya setuju, tapi tentunya dengan bukti akurat. Gue ingin menyelamatkannya dari kekerasan sang ibu. Setiap kali mendengar tangisan, jeritannya, gue sedih banget! Tekad melaporkan pada yang berwenang. Tapi lalu gue pikir, bijaksanakah tindakan gue kalau gue melaporkan hal itu? Gue jadi bimbang. Jika gue laporkan kekerasan, otomatis ibu dan anak akan dipisahkan. Nah kalau dipisah, bagaimana sang ibu bisa mengenal kasih sayang, penerapan kasih pada anak? Iya kalau dia menyesali sikap dan perlakuan kasarnya pada si anak, kalau malah jadi semakin marah? Dan bagaimana si anak jika dipisah dari sang ibu? Argh, bimbang semakin menjadi.

Setelah melalui bimbang dan bimbaaaaaang, gue memutuskan untuk mengajarkan, mengenalkan kasih pada sang anak, agar dia mengenal kasih sayang dengan penerapan sikap serta tindakan yang baik. Gue terus menerus mendampinginya. Nakalkah dia? Ga! Sama seperti anak-anak yang lain, penuh rasa ingin tahu, dan pandai mengopi sikap dan perbuatan yang dia lihat, dan yang dia terima. "Uh, sialan!", itu salah satu kata yang suka diucapnya, dan masih banyak lagi kata umpatan yang sebenarnya ga perlu diucap. "Hloh, hayo, itu namanya kasar. Jangan mau jadi orang kasar. Kamu pintar, dan kamu lembut hati," setiap kali gue mengingatkan. Untuk anak usia 4 tahun, gue rasa dia bisa menerimanya dengan baik, karena lama kelamaan kata-kata umpatan ga terdengar lagi diucap olehnya. Lega banget rasanya saat dia ada di rumah, ga terdengar umpatan-umpatan loncat dari bibir mungilnya. Sedangkan jeritan tangisnya sih tetap terdengar dari rumah gue saat dia ada di rumahnya, karena rumah kami berhimpitan.

Seperti biasanya, dia datang ke rumah sejak pagi-pagi sekali. Sudah mandi, dan sudah sarapan. Kalau dia datang belum mandi, biasanya gue ingatkan untruk mandi dulu, begitu juga kalau dia belum sarapan. Gue ingin dia terbiasa mandi pagi, dan sarapan sebelum pergi. Main, mewarnai, belajar menulis, dan bercanda, penuhi hari bersamanya. Hingga ssiang hari, dia pun tertidur di rumah gue. Ibunya berteriak-teriak, lalu gue jawab bahwa anaknya sedang tidur. Kakaknya lalu datang ke rumah menjemput. Tapi karena memang sedang pulas tidur, gue gendong dia ke rumahnya. Ibunya terlihat kaget. Bincang-bincang pun terjadi. Dia bercerita bagaimana sulitnya anak itu diatur. Gue hanya mendengarkan, dan sedikit bercerita bagaimana anaknya di rumah kami. Gue perlihatkan foto-foto anaknya di hp gue. Sang ibu terlihat makin kaget. "Saya heran, kenapa kok dia malah lebih nurut sama orang lain dibanding sama saya, dan sama bapaknya," ujar sang ibu. Gue tersenyum, dan bercerita bagaimana anaknya bersikap di rumah kami, dan bagaimana kami memperlakukan anaknya. Gue ga mau terlihat menggurui, ga juga mau menjudge bahwa dia ga mencintai anaknya. Gue tahu, dia mencintai anaknya, hanya penyikapan dalam mengasuh saja yang kurang lembut hati. Selebihnya tentang cinta seorang ibu terhadap anaknya, gue percaya itu ada.

Lalu keesokan harinya gue ga mendengar jeritan tangis dan ga ada teriakan kesakitan.Melegakan, membahagiakan! Begitu juga di hari selanjutnya.Ini menyadarkan gue, bahwa ga ada hal yang sia-sia! Selama berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan, dan memang dilakukan dengan niat baik, ada hasil yang didapat. Gue hanya ingin berbagi kasih, membagi pengalaman tentang kasih, berusaha agar mereka mengenal dan menyikapi kasih dengan baik. Hasilnya gue serahkan pada GUSTI, karena hanya GUSTI yang sungguh berkuasa atas hidup dalam kehidupan.

Salam,
Nitaninit Kasapink, seorang ibu sekaligus sahabat dari Ngka, Esa, Pink


Comments

  1. Allhamdulillah kalau sudah ada perubahan ya mbak

    ReplyDelete
  2. Ya, Mbak Lidya. Bahagia banget rasanya! Ga ada yang sia-sia dalam bergerak positif :)

    ReplyDelete
  3. Serem ya mba kalau ada ibu yang sekejam itu ke anaknya. Semoga kelak aku tetap ingat untuk gak melakukan itu ke anak-anak aku hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin...
      Serem banget! Dan kejadian itu setiap hari, loh!

      Delete
  4. Subhanallaaaah..... peluuuuukkkkkl

    ReplyDelete
    Replies
    1. Peluuuk Mbakkuuuu... Muach muach muach jugaaa..!

      Delete
  5. Subhanallaaaah..... peluuuuukkkkkl

    ReplyDelete
  6. Replies
    1. Alhamdulillah... Bersyukur banget akhirnya ga lagi mendengar tangisan kdrt, Mak :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...