Skip to main content

Dua Ribu Enam Belas

Dua ribu enam belas, disambut dengan suara petasan, dan meriahnya kembang api. Di depan rumah juga terlihat nyala kembang api yang pecah di langit, dengan warna-warni yang cerah! Ga hanya itu, beberapa tetangga ga mau sepi menyambut si dua ribu enam belas. Dipasangnya speaker di depan sawah, yang ada di depan tempat tinggal kami. Dari lagu dangdut sampai lagu jedag-jedug disetel. Riuh, hingar-bingar, meriah, heboh, entah apa lagi nama yang tepat untuk mengungkapkan bagaimana suasana malam itu. Rumah kecil kami terasa penuh dengan suara-suara akhir tahun.

Cimut dan Cilut, berlari masuk ke dalam rumah, panik! Suara petasan membuat mereka terkaget-kaget! Setiap bunyi DOR!, mereka terlihat kaget. Lalu perlahan mengintip takut-takut, tapi penuh rasa ingin tahu dari jendela. DOR! Kaget lagi. Cimut dan Cilut ga tahu bahwa manusia sedang asyik menyambut sang dua ribu enam belas. Ternyata memang benar ya, kucing ga merayakan hari apa pun. Lempeng aja jalani hari yang ada. Beda banget sama manusia yang heboh.

Tahun-tahun sebelumnya sih gue dan anak-anak nyantai aja mau tahun baru juga. Tapi kemarin tuh pulang kerja, gue dan Ngka mampir ke pasar di Kranji. Maksudnya sih mau bikin cemilan untuk kita berempat. Sambil nonton tv, ngemil-ngemil kan asyik! Lupakan diet yang ga pernah berhasil!

"Mau bikin apa, Ma?" Tanya Ngka.

"Pangsit aja, simpel."

Dan akhirnya beli keribetan untuk pangsit yang asyik! Tenteng sana, sini, lumayan cape juga, apalagi sambil bawa ransel kerja.

"Macet banget, Ma."

Iya, ampun deh macetnya!

"Lapar, Ma."

Eh iya, udah malam, dan belum makan.

"Cari tukang jualan apa gitu, Ka. Makan deh, yuk."

"Kayaknya ga rela tuh ngeluarin duit untuk jajan."

Gue nyengir, tapi Ngka ga tahu. Kan dia yang bawa motor, di depan, sedangkan gue duduk manis imut di belakang sambil memangku para pembela kebenaran, eh, bahan-bahan pangsit.

"Padang, Ma?"

"Jawa."

"Mamaaaa, maksud Ngka, mau makan di rumah makan Padang? Bukan nanya Mama tuh Padang atau bukaaaan!"

"Eh, ga ah. Bosan."

"Kapan kita makan di rumah makan Padang? Kayaknya terakhir tahun lalu pas pindah rumah, deh."

"Semalam."

"Kapan? Kok Ngka ga tahu?"

"Semalam Mama mimpi makan di rumah makan Padang!" Gue berteriak menyetarakan jenjang bising jalanan yang macet.

"Ga tahu ah! Sebodo amat." Ngka mulai ngomel pendek. Iyalah, ga berani dia ngomel panjang, bisa lapar sepanjang jalan, kan emaknya yang pegang uang.

"Ka, tukang soto, minggir."

Akhirnya makanlah kami di situ. Soto ceker Pak Kumis. Ingat ya, soto ceker pak Kumis, bukan soto cekernya pak Kumis!

"Dua, pakai ceker."

Ga terbayang kalau ceker pak Kumis nyemplung di mangkuk soto! Bubar, bubar!

"Bungkus, ya."

Biasa, oleh-oleh untuk Esa dan Pink, yang ada di rumah. Masa emaknya jajan, anaknya ga? Curang kan tuh! Makanya gue selalu mikir dulu kalau mau jajan, karena tetap aja harus berpikir untuk 4 porsi. Eh, kalau Ngka terkadang bisa nambah. Namanya emak-emak yang kadar hitung menghitungnya kadang njelimet, ya gini ini.

"Ma, siapa yang masak pangsit?" Tana Ngka sewaktu perjalanan pulang.

"Ya, kamu."

"Haaaah?"

"Ga usah kaget, ini biasa terjadi." Kalem banget gue menjawab.

Sampai di rumah, sibuk deh menyiapkan alat-alat untuk memasak. Pisau, parut, clurit, pedang, samurai, cangkul, linggis. Eh, ini mau masak atau mau perang antar preman?

Tiba-tiba Ngka berkata,"Ma, Resen ngajak malam tahun baruan. Patungan bakar-bakaran. Bakar apa, gitu, biar ramai."

"Itu ada sandal jepit, bakar ajah."

Ngka mingkem dengan mulut aneh.

"Ngka jawab, lagi masak, gituh."

Gue ga menjawab, sibuk menyincang bawang bombay.

"Katanya, ikutan, Ma." Ngka berkata lagi.

"Ya udah, nih, Mama ikutan nih." Sambil mencabut uang dari dompet.

Nah, jadilah bakar-bakar di depan rumah. Bakar jagung, sambil makan pangsit goreng.




Semua itu di tengah riuh ramainya suara penyambutan si dua ribu enam belas, di antara kekagetan Cimut dan Cilut, dan di dalam ramai canda tawa di rumah.

Semakin ramai suara DOR DOR DOR! Hey, sang lakon datang! Dua ribu enam belas datang! Kembang api makin ramai di luar! Rumah kecil depan sawah tempat kami tinggal, jadi makin heboh! Cimut dan Cilut yang sudah mulai tidur, kaget, berlari ke belakang. 



Selamat Dua Ribu Enam Belas! Menjadi dewasa dalam hadapi dan jalani hidup, bahagia selalu, amin.

Ciuman gue mendarat manis di kening anak-anak tercinta. Cimut dan Cilut, ga gue cium, karena masih panik.

Lalu gue mulai menulis untuk Ngka, Esa, Pink, tiga anak yang mengisi hidup bersama gue. Tiga cinta, tiga kekasih, tiga penyemangat hidup, tiga motivator.

Surat cinta untuk kekasih
Kembang api sudah padam, petasan sudah bisu, bara pemanggang jagung sudah masuk dikemas, piring pun kosong. Apa yang tinggal? Aku, kamu, dia, kita! Selamat menjadi dewasa di tahun yang baru, Ngka, Esa, Pink. Tetap tersenyum, dan tenang menghadapi, menjalani, dan menikmati segala kejadian hidup dengan syukur. Senyum pada GUSTI, DIA Pemilik kita yang sebenar. Bahagia selalu, mama mencintaimu... :*
-Mama- 010116

Yup. pesta sudah usai, Cimut dan Cilut sudah ga panik lagi.

Selamat datang dua ribu enam belas! Selamat datang dalam hidup kami!


Salam Senyum,
Nitaninit Kasapink (Error)




Comments

  1. selamat tahun baru 2016, mbak Nita...semoga makin sukses di 2016, aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Terimakasih doanya, Mbak. Sukses, dan bahagia selalu untuk Mbak, amin.

      Delete
  2. Semoga berkah dan kasih sayangNya semakin melimpah di tahun yang baru. Selamat tahun baru 2016.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin...
      Selamat 2016, Mbak. Sukses dan bahagia selalu, amin

      Delete
  3. Tahun baruan bakar jagung paling enak. Apalagi ditemenin keluarga dan sahabat tercinta. Seru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget! Bakar jagung, santai-santai, bareng keluarga dan sahabat. Rasanya tuuuh membahagiakan banget!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...