Skip to main content

error,"Ingkar"

Sebenarnya ini cerita tentang 2 tahun yang lalu, setelah beberapa bulan sakit dan pertama kali lumpuh tangan.

Disarankan oleh dokter yang waktu itu memeriksa kondisi Pink, untuk membawa Pink ke seorang psikolog anak, karena khawatir kondisi psikis menjadi kurang baik setelah berbulan-bulan ga sekolah, hanya di rumah, dan bolak-balik kontrol ke rumah sakit. Di taxi, dalam perjalanan menuju rumah, gue teringat seorang teman kuliah dulu, perempuan yang juga seorang psikolog, yang membuka taman kanak-kanak sekaligus jasa konseling, dan kebetulan bertempat tinggal lumayan ga begitu jauh dari perumahan tempat gue tinggal. Saat itu juga gue menghubungi dia. Dia meminta gue datang saat itu juga, karena kebetulan memang sedang kosong jadwal, katanya. Gue bertanya pada Pink, apakah Pink mau untuk konseling dengan teman gue itu yang sudah dikenalnya, dan apakah Pink kuat untuk pergi lagi setelah tiba di rumah. Jawaban Pink adalah ya. Sip, berarti sesampai di rumah, Pink dan gue akan pergi lagi ke tempat teman gue itu, naik motor.

Pink duduk lemah di boncengan motor. Berdua ke tempat teman gue. Semangat untuk menjadi sehat fisik dan psikis! Gue bangga pada Pink yang selalu bersemangat untuk sehat. Ga berapa lama, sampai juga di tempat teman gue. Disambut dengan senyum, rasanya lega banget. Gue bersyukur ada teman yang bisa dihubungi. Setidaknya, ga jauh dari rumah, dan Pink sudah mengenalnya, jadi konseling pasti berlangsung lebih mudah, dan lancar. Gue berharap konseling yang akan dijalani oleh Pink, akan membuat rasa percaya dirinya pulih. Bayangkan saja, berbulan-bulan sakit, ga berangkat ke sekolah, dan jelas ga mempunyai teman.

Semenit, dua menit, sepuluh menit, lima belas menit, setengah jam, ga ada konseling. Teman gue sepertinya menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gue mulai khawatir dengan kondisi Pink yang terlihat melemah. Tapi gue masih menahan diri, diam, menunggu. Tunggu ditunggu, teman gue malah tambah sibuk. Apakah dia lupa tadi dia yang memberi jadwal konseling untuk Pink? Dua jam sudah Pink menunggu, dan gue ga melihat tanda-tanda teman gue akan jadi konselor untuk Pink, malah semakin terlihat menyibukkan diri.

Akhirnya gue menyadari ternyata teman gue memang ga ingin jadi konselor untuk Pink. Padahal kalau dia terus terang mengatakan,"Ga mau", atau,"Ga bisa", itu ga masalah kok untuk gue. Atau mungkin dia takut ga gue bayar? Gue menghubungi untuk konseling, pastilah gue juga sudah bersiap untuk membayar biaya konseling. Gue pamit pulang, teman gue mengantar ke depan. Gue menyempatkan diri berbisik,"Terimakasih".

Sampai saat ini gue ga tahu alasan teman gue yang sebenarnya kenapa dia bersikap begitu. Tapi ya sudahlah, itu jadi pelajaran berharga untuk gue dan anak-anak gue, supaya ga bertindak dan bersikap ingkar seperti itu. Membuat janji berarti dituntut konsekuensi. Pelajaran berharga banget yang selalu gue ingat. 



Salam senyum,
error





Comments

  1. Ya Tuhan...kok iso ngono temannya ya, Mbak.
    Cepat sembuh buat Pink, ya. Tetap semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin...
      Ya, mbak. Aku juga ga ngerti kok dia bisa gitu. Padahal dia sendiri yang bikin janji.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...