Skip to main content

Bekasi - Tangerang - Semarang (2)

Esa dan Ngka duduk berdua di dalam bus Damri yang membawa kami ke bandara Soekarno Hatta, sedangkan Pink bareng gue, si emak cantik. Uang transport sudah ada di tangan Ngka. Santailah gue. Selama ini memang gitu, gue ga pernah pegang uang transport, salah satu anak pasti diserahi tanggung jawab untuk membayar, walau pun uang tetap dari emak yang keceh ini. Plis jangan protes, di cerita ini cuma gue satu-satunya emak. Menyerahkan uang transport ke anak tuh selain mengajarkan tanggung jawab, ada fungsi lain, berguna banget untuk gue. Apa coba? Hihi, gue bisa tidur pulas selama perjalanan! Hahaha, asyik banget dah ah!

Tapi perjalanan kali ini ga membuat mata gue mengantuk. Gue dan Pink, foto-foto di dalam Damri.


Ga terasa, yes, yes, yes, bandara!

"Turun, yang." Ujar gue ke Ngka yang duduk bersama Esa.

"Turun, udah terminal 1B." Lanjut gue lagi.

"Udah tau, Ma."

Wajah cuek Ngka tertangkap mata, tapi kemudian ada cengiran asli khasnya. Anak siapa sih tuh? Mbok ya menjawab tuh yang indah gitu, loh. Misalnya,"Iya, Mama yang cantik."

Turun pelan-pelan. Ya iyalah, kalau lari-lari di lapangan aja, kali. Gue, disusul Esa, lalu Pink, dan terakhir Ngka.

Waah, sepiii! Celingak-celinguk mencari bahu untuk bersandar. Eh!

"Duduk di situ aja yuk," ajak gue ke Ngka, Esa, Pink.

Hura, hura, kami bisa  duduk nyaman!

"Ma, ke toilet dulu. Jagain ransel Ngka, ya."

"Esa juga ikut! Jagain ransel Esa juga, ya."

Hmm, besok gue bakal bikin peraturan jam penitipan ransel. Kan kami membawa ransel masing-masing. Jadi lumayan kan ya kalau setiap anak meminta gue menjaga ranselnya. Hihi.

"Pink, Mama lapar. Mau lontong, ga? Bakwan?" Gue sibuk mengobrak-abrik tas perbekalan perang. Untung gue bawa lontong dan bakwan, ga perlu jajan. Irit, bukan  pelit. Sayangnya si lontong dan bakwan ga terdokumentasi.

"Ga, ah. Udah kenyang. Ma, tadi bukannya sarapan? Katanya mau diet?" Tanya Pink dengan suara halus, tapi serasa jeleger di kuping! Tapi gue sih cuek aja, pura-pura ga mendengar.

Esa dan Ngka terlihat berjalan cepat dari arah toilet.

"Mau dong lontongnya." Kata Esa.

Oh, jadi terburu-buru tuh karena lontong! Gue pikir karena khawatir meninggalkan emak dan adik bungsunya. Gue baper banget.

"Nih. Ngka juga ga?" Sambil menyodorkan selonjor lontong isi. Eh, lontong tuh sebuah, atau apa, ya?

"Ngka mau juga, dong."

"Pakai bakwan, ga?"

"Boleh deh."

Sigap gue ambil lontong dan bakwan untuk Ngka,"Lima ribu rupiah aja satunya, Bang."

Ngka bengong.

Akhirnya karena melihat Ngka dan Esa sibuk menghabiskan lontong banyak banget, Pink pun makan lontong.

"Ma, minum."

Gue sodorkan minum ke Esa. Tuh kaaan, kalau pergi sama emak-emak, pasti urusan perbekalan konsumsi komplit!

"Masuk, yuk. Check in sekarang aja."

"Hayuk, Ma."

Kami pun check in. Sebenarnya gue agak dag dig der dor, loh. kondisi Pink kan kurang bagus, kuat ga ya jalan sebegitu jauhnya?

"Pelan-pelan, Ka, Sa. Inget Pink."

"Ya elah Mama, ini udah pelan, kali."

"Ih, Mama, Pink kuat kok, ga apa-apa."

Weeh, gue dikeroyok anak sendiri. Tapi bener loh, Pink jalan dengan gagahnya! Yes! Makasih ya GUSTI.

Ah, benar-benar diberi kemudahan perjalanan ke Semarang ini. Pink kuat, ga terlihat lemas, dan kursi-kursi menanti kami untuk diduduki! Yeyeye!

"Masih lama ya, Ma?"

"Masih, Sa."

Lalu sibuk berfoto. Yey! Ada foto keluarga lagi, selain foto-foto narsis ga jelas.

Ngka, Esa, Pink, main bertiga. Seperti biasanya, mereka asyik bertiga, sampai ga menyadari emaknya mengabadikan kebersamaan mereka. Bahagia rasanya melihat mereka ada dalam keceriaan yang hangat bersama.


"Ma, yuk! Pink, ranselmu." Esa berkata sambil bersiap-siap menuju pesawat. Ngka berdiri di sampingnya.

Semarang, kami datang!

Cerita di Semarang, di bagian ke-3, ya.

Salam senyum manis,








Nitaninit Kasapink

Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...