Skip to main content

Bekasi - Tangerang - Semarang (3)

Lagi-lagi Ngka duduk bareng Esa, dan kursi mereka ada di depan kursi Pink yang bareng gue. Pink menikmati perjalanan dengan melihat langit, awan-awan yang putih bersih. Gue tidur nyenyak, dan terbangun saat akan landing.

Semarang! Dalam hati berteriak saat memandang kota yang ada di bawah. Delapan tahun kami meninggalkan kota ini. Kota yang penuh kenangan, dan tempat papa Ngka, Esa, Pink, dimakamkan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar.

"Ma, Semarang."

"Ya, Nduk. Semarang."

Wajah Pink ceria.

"Kita langsung ke hotel, atau ke makam papa?"

"Makam papa, Nduk."

Ga ada yang tahu saat itu gue sedang menahan airmata. Jangan menangis, plis, itu yang berulang kali diucap untuk diri sendiri.

Bandara Ahmad Yani. Semarang, kaki kami ada di tanahmu sekarang. Semakin sulit membendung airmata, tapi tetap bertahan untuk tenang.

"Toilet ya, Ma."

Ngka dan Esa, berdua menuju toilet, sedangkan Pink dan gue menunggu mereka keluar. Pink terlihat agak gelisah. Mungkin karena ingin segera nyekar ke makam sang papa.

 Setelah Ngka, Esa, keluar dari toilet, kami menuju luar.

"Taxi atau angkot?"

"Angkot aja, Ma." Jawab Pink.

Kaget sewaktu mendengar Pink yang menjawab. Tubuhnya ringan berjalan, dengan senyum terpahat. Sengatan matahari Semarang ga memudarkan cerah wajahnya!

"Ok, jalan kaki ya ke jalan raya," ujar gue.

Wuaduh, jalan raya masih jauh! Panas pula!

"Taxi aja, ya?"

Baru saja gue selesai mengucap, taxi berhenti di depan kami.

"Bergota, Pak."

Di dalam taxi, bapak sopir mengobrol dengan Esa. Ngka sibuk memegang hp, juga Pink. Gue diam mengamati kota masa lalu.

"Mau nyekar siapa?"

"Papa."

Gue tetap diam. Bagaikan sebuah film panjang diputar kembali dalam kenang.

"Makamnya sebelah mana?"

"Bagian atas, Pak." Jawabku. Film sejarah masa lalu terpenggal.

Taxi melalui jalan menanjak. Pa, sebentar lagi kami tiba, bisik hati.

"Pak, salah jalan. Bukan ini. Di dekat makam ada tempat parkirnya."

"Oh, berarti belokan yang di sana, masih satu belokan lagi."

Sesak. Napas mulai sesak, dada terasa sakit. Sebentar lagi, sebentar lagi!

"Ya, Pak. Di sini, betul. Bapak tunggu aja, ya?"

"Baik, Bu."

Gue bergk cepat membuka pintu. Menggandeng tangan Pink, putri cantik. Ngka dan Esa, pangeran gagah mengawal kami dari belakang.

"Itu papa! Itu papa!" Gue berteriak histeris, berlari menuju makamnya!

Airmata yang dibendung sejak lama, ga bisa lagi ditahan. Terisak duduk di pinggiran makam. Tiga kekasih terdengar isakannya juga.

"Maaf, Pa. Baru bisa mengajak anak-anak menjenguk, sesudah delapan tahun lebih. Maaf ya Pa? Ini anak-anak, Pa." Suara gue terbata saat mengucap maaf ke Henk yang  ada di dalam bumi. Lelaki dalam bumi, sejak 28 September 2007. Yang pergi karena kanker hati, di usia 39 tahun.

"Ini Ngka, Pa."

"Ini Esa, Pa."

"Ini Pink, Pa."

Satu persatu menyapanya, menyapa seorang papa yang delapan tahun pergi.

"Doa untuk Papa, sayang."

Tiga kekasih berdoa, begitu juga gue, lalu kami larut dalam doa. Airmata turun deras.

"Foto, Ka. Foto sama papa."

Lalu berfoto di sana, berfoto bareng lelaki yang ada dalam sejarah hidup, lelaki dari masa lalu, yang ga akan pernah kami lupakan. Darahnya mengalir dalam tubuh Ngka, Esa, Pink.


Selesai berdoa, berfoto, kembali ke taxi.

"Pak, tahu baso petruk?"

"Tahu, Bu."

"Kita ke sana aja, Pak. Ke hotelnya nanti aja."

"Hotel apa, Bu?"

"Whizz, Pak."

"Oh, deket, Bu. Jalan kaki sebentar juga sampai, kok."

Taxi berjalan lambat, dan akhirnya sampai juga di warung baso Petruk.

"Terimakasih ya, Bu. Selamat makan, selamat menikmati kota Semarang."

Lalu pak sopir yang gue lupa namanya itu pun berlalu.

 Ngka, Esa, Pink, ga terlihat lelah. Wajah mereka penuh kegembiraan, kelegaan. Sambil menunggu pesanan baso dan minum datang, gue iseng membuka instagram. Dan sungguh mengejutkan ternyata Esa mengunduh foto kami berempat bersama sang papa, dengan tulisan: Hai papa, kita berjumpa lagi.


 Ah cinta, perjalanan ini membuat airmata harus ditahan lagi.


Salam penuh kasih,






Nitaninit Kasapink

Comments

  1. ikut mewek, masih berlanjut ini???

    ReplyDelete
  2. Aku baru tahu tentang ini, Mbak. Hiks
    Papa pasti bahagia di sana. :)

    ReplyDelete
  3. Perjalanan yang sangat luar biasa mbak, saya membacanya sambil ikut2tan mewek nih mbak ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini benar-benar luar biasa, Mas. Perjalanan yang jadi cita-cita selama delapan tahun.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...