Skip to main content

Hari Ini Tanpa Khawatir, Tanpa Cemas

Yes, selamat datang hari ini. Hari yang mungkin saja dikhawatirkan oleh kemarin. Ya, ada saja kekhawatiran tentang hari esok. Entah mengenai keuangan, hubungan dengan siapa-siapalah itu, atau bisa juga khawatir tentang anak.

Terkadang gue juga dihinggapi rasa khawatir. Dan tahu ga menyebabkan apa? Khawatir, cemas, trus stress deh. Ish, ga enak banget merasakan stress! Deg-degan, nangis ga jelas juntrungannya, dan jelas bikin pusing! Ga enak banget, ga nyaman banget.

Biasanya sih gue berusaha untuk menghilangkan khawatir dengan,"Ok, GUSTI, ini bagianMU." Hihi, kelihatannya curang ya, pas bagian yang stress-stress kasihkan aja ke GUSTI. Lah tapi bukankah sudah seharusnya begitu? Mengembalikan pada yang Empunya Rencana.

Trus sekarang gue ga punya khawatir sama sekali, gitu? Hihi, nop. Bukan begitu. Kan tadi gue bilang, berusaha. So, tetap sih sesekali muncul kekhawatiran. Tapi langsung aja gue 'gebrak' diri sendiri,"Bukan bagian lo, Nit! Itu bagianNYA."

Khawatir, cemas, bukan bagian gue, itu yang gue percaya, GUSTI memberi pertolongan di titik yang pas menurutNYA, memberikan yang dibutuhkan menurutNYA. See, menurutNYA loh ya, bukan menurut kita. Ya sih suka-suka beda antara pas menurut kita dan pas menurutNYA. Tapi gue percaya, GUSTI tahu yang terbaik.

Jujur sih awalnya gini, gue kan percaya bahwa GUSTI melindungi sebaik-baik perlindungan. Dan pernah di satu saat sekitar tahun 2007 - 2008, gue dihadapkan pada kasus: GUE BUNUH LO DAN TIGA ANAK LO!
Der! Gila, mampus, gue takut! Gue ga takut berhadapan dengan lelaki brutal dengan tinggi 180 cm. Gue ga takut harus berkelahi dengan lelaki yang jago taekwondo! Tapi gue takut, cemas, khawatir, meninggalkan anak-anak, tiga kekasih. Ya GUSTI, lindungi tiga kekasihku.

Saat itu gue ga menangis, tapi langsung cabut ke kantor polisi, bikin laporan bla bla bla. But you know apa yang terjadi? Orang itu masih sliweran di depan mata gue! GUSTI, apa-apaan ini?

Lalu gue mengurus pindah sekolah untuk tiga kekasih, sekaligus asrama. Karena gue pikir, pastilah aman. Ya dong aman, kan sewaktu gue bekerja (saat itu gue sudah menjadi singlemom), anak-anak ada di asrama. Lagipula, tempat baru jauh dari rumah, jauh dari sekolah asal. Beres, semua clear!

Hingga di malam hari gue berkata pada Sang Empunya Hidup, GUSTI,"GUSTI, aku ga mau tidur malam ini. Aku mau ngobrol denganMU." Yes, gue bergadang, sibuk bicara padaNYA. Menceritakan segala hal yang dihadapi, yang terjadi. Lalu ini yang terjadi. Gue menangis sejadi-jadinya! Kenapa? Karena saat gue sedang menceritakan kecemasan, kekhawatiran, ada jawaban yang menohok sekali,"Percaya padaKU, bukan percaya pada manusia. Kalau percaya padaKU, kenapa kamu masih saja takut?" Sumpah seperti ditampar!

Akhirnya anak-anak ga jadi pindah sekolah, ga jadi masuk asrama.

"Kamu takut ga dibunuh?"
Jawaban tiga kekasih yang saat itu masih kecil-kecil,"Ga!"

GUSTI, aku salah. Ampuni aku!
Yes, ga ada yang bisa membunuh gue, atau anak-anak gue, kalau GUSTI ga mengijinkan.

Sejak saat itu gue jadi malu kalau khawatir, cemas. Malu banget ke GUSTI. Setiap khawatir, cemas, buru-buru deh berdoa minta ampun. Krisis iman, itu menurut gue. Percaya bukan cuma di mulut, tapi dari hati.

Sampai saat ini gue masih tetap belajar untuk berusaha benar-benar, sungguh-sungguh, percaya dari hati, yang berarti membuang cemas dan khawatir.

Oh iya, tentang si orang tinggi gede itu yang mengancam membunuh gue dan anak-anak, akhirnya terkapar di jalanan depan rumahnya. Mau tahu kenapa? Gue ajak berkelahi, setelah itu dia menghilang. Ini cerita gue sesungguhnya, bukan fiksi.

Salam Penuh Kasih,
Nitaninit Kasapink









Comments

  1. Kunjungan perdana, salam kenal ya :)
    mampir ya di blog baruku, terimakasih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal. Terimakasih kunjungannya :)
      Aku bw ya ke blogmu :)

      Delete
  2. Wooow.... ๐Ÿ˜Ž

    Seru.....
    Dikasih... jurus...

    Langsung.. ka... oh... ๐Ÿ‘๐Ÿ˜Š

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...