Skip to main content

Sabar? Tenang saja

Sabar itu ga ada batas, katanya sih gitu. Sabar itu susah, juga katanya sih gitu. Iya, itu katanya.
Gue orang yang ga sabaran. Hedeh, parah. Berusaha untuk bisa sabar, ga lulus juga. Masih aja ga bisa sabar. Trus gimana dong? Gue memutuskn untuk mengubah usaha menjadi sabar ke menjadi tenang.
Whaaat? Tenaaang? Maksudnyah apah yah?
Dalam menghadapi semua kejadian hidup, gue berusaha untuk tenang. Ga panik, ga marah, ga jengkel, ga kesal, ga bad mood, ga ngamuk-ngamuk. Tenang, tenang, tenang. Segala sesuatu ga ada yang buruk. Semua itu indah, bagus. Gue belajar untuk bisa menyerahkan segala sesuatu ke GUSTI. Susah banget ternyata! Apalagi saat putri bungsu sakit.
"Kalau Allah 'ngambil' anak lo, gimana, Nit?" Tanya seorang sahabat.
Bug! Rasanya kayak ditinju tepat di jantung! Ya, menyerahkan semua ke GUSTI, berarti semua, termasuk hidup dan mati orang-orang terkasih.
Terus dan terus, belajar, berusaha, untuk tenang, dengan cara berserah ke GUSTI. Berusaha melihat segala kejadian dari sisi bahagia. Berusaha mensyukuri yang terjadi, apa pun itu.
Namanya berusaha, belajar, pasti ada waktunya testing. Gue menahan semua gejolak hati dan pikiran. Menenangkan diri, kembali ke GUSTI.
Ternyata benar, semua indah dari GUSTI, ga ada yang buruk. Bahagia adalah takdir manusia.
Sekarang gue jauh lebih tenang dibanding dulu. Dan gue bahagia.
Gue ga berhasil menjadi sabar, tapi gue lumayan berhasil mengendalikan emosi marah, jengkel, kesal, sedih, kecewa. Sabar? Ga, gue memilih menjadi orang yang tenang aja. Dan sampai sekarang pun masih terus berusaha menjadi orang yang tenang. Intinya menyerahkan segala kejadian ke GUSTI.

Salam Senyum Manis,
Nitaninit Kasapink

Comments

  1. Mbak Nita sungguh rendah hati. Di mataku, mbak Nita orang yg sabar.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...