Skip to main content

error,"Monas (Bagian II)".

Sudah pagi! Sabtu, 10 Januari 2015, hari H untuk pergi ke Monas . Pukul 3.30 bangun dari tidur. Ngka, Esa, dan Pink, masih lelap. Gue pandangi tiga kekasih jiwa tercinta, mengucap syukur, diberi indahnya kebersamaan selama ini oleh GUSTI, dan berserah atas hidup juga mati kami, gue, dan 3 anak gue, Ngka, Esa, Pink. Ga lupa berdoa untuk perlindungan bagi mereka, walau gue juga sudah tahu, GUSTI selalu melindungi. Gue sudah ga khawatir lagi. Ajaib banget!

Lalu mulai sibuk dengan laptop, browsing, juga on di medsos. Chatting dengan seorang sahabat mengenai acara pagi ini, acara di hari ini. Hingga ga terasa gue belum membangunkan Esa, yang hari Sabtu pun masuk sekolah. Tapi Esa ga terlambat berangkat sekolah, kok. Juga tetap sempat sarapan sebelum diantar oleh Ngka.

Pink bangun, mandi, bersiap. Gue? Sudah siap, lah! Sekitar pukul 07.45, Pink, dan gue, diantar Ngka. Mampir dulu membeli konsumsi untuk Pink. Lalu pukul 08.00, sudah berada di dalam angkot. Duduk di depan.

Seperti biasa, macet. Sepanjang perjalanan gue mengobrol dengan Pink. Tiba-tiba ada pengamen 2 orang masuk, dan mulai bernyanyi. Gue tersentak mendengar nyanyiannya! Lagu yang dibawakan oleh mereka, benar-benar menyentak gue. Lagu tentang berserah pada Tuhan, tentang Tuhan yang Amat Baik, Tuhan dengan rencanaNYA yang indah untuk kita. "GUSTI, ini pengingatMU, ini menandakan penyertaanMU dalam perjalanan kami. Terimakasih", bisik gue. Pink bertanya pada gue,"Apa, Ma?". Dan gue menjawab bahwa lagu itu adalah tanda GUSTI ada beserta kita, GUSTI ikut serta dalam perjalanan ini.

Tiba di depan Pulo Gadung, gue membayar ke supir, dan bertanya,"Naik bussway, turunnya di mana, Pak?". Dan dijawab,"Nanti di dalam aja. Jangan di depan sini, jauh". Yup, waktunya turun angkot.

Jalan menuju halte bussway, gue berkata pada Pink,"Pink, kalau lemas, kasih tahu Mama, ya?".

Pink,"Ya. Ini ga lemas, kok".

Ini pertama kalinya Pink akan naik Trans Jakarta. Dan gue lihat wajahnya bercahaya! Ya, GUSTI, ini pasti karenaMU...

Di loket, membeli tiket. sambil bertanya, ke Monas naik jurusan mana, pada petugas yang ada.

"Dukuh Atas. Itu mau berangkat!", jawab petugas loket.

Petugas yang berada di luar berteriak,"Dua lagiiii..!!".

Yea, berangkat! Oops, penuh! Pink dan gue, berdiri! Gue berkata pada Pink,"Lemas, kasih tahu Mama". Pink tersenyum. Berdiri sambil memeluk Pink dengan 1 tangan, membuat gue lebih merasa tenang. Dekat halte Lia, Pink berkesempatan duduk. Leganya gue! Sehabis itu, gue juga berkesempatan duduk. Hihihi, ini lebih melegakan lagiiii... Hahaha! Ah, GUSTI benar-benar sedang menunjukkan pada gue, bahwa DIA menjaga Pink dengan baik, amat baik! Sungguh ajaib menurut gue, karena berdiri cukup lama, dengan tempat yang sesak, bergoyang, itu pasti melelahkan untuk Pink, tapi ternyata Pink kuat! GUSTI, ah...

Di Dukuh Atas, turun, transit, dan bikin gue
 agak shock waktu pertanyaan gue pada petugas,"Mau ke Monas, lewat yang mana, ya?", dijawab,"Naik terus aja, ikut jalurnya aja". Ugh! Gue memandang Pink, dan bertanya,"Naik, kuat?". Pink menjawab,"Ya, kuat". Gue terbengong-bengong mendengar jawaban ajaib dari Pink!

Gerimis! Duh, gue ga bawa payung! Pink memang memakai topi, tapi kan ga bisa melindunginya dri hujan! Gue mengadu pada GUSTI dalam hati,"GUSTI, ini gerimis. Pink bisa kehujanan. Aku ga bawa payung. Tolong jangan hujan di Monas, ya GUSTI". Gue lihat Pink tenang-tenang saja. Ah, Nduk...

Trans Jakarta menuju Monsa datang, dan Pink juga gue, berdiri lagi. Gue pandangi Pink, dia terlihat tenang, dan bercahaya. GUSTI, ini ajaib...

Monas! Turun, dan waaah, terang benderang! GUSTI, Makasih, terang benderang di sini. Ajaib untuk gue...

Ternyata gerbang masuk Monas tuh jauuuuh...! Pink sempat meminta untuk beristirahat di bangku-bangku yang disediakan di pinggir jalan. Gue betanya lagi,"Pink, kuat?". Dan jawabannya adalah,"Yuk, jalan lagi".

Masuk Monas! Pukul 10.30, sudah terlambat, karena acara dimulai pukul 10.00. Tapi ga apa-apa lah, lebih baik terlambat, daripada ga datang. Lagipula perjalanan ini bukan semata-mata untuk gue aja, tapi juga untuk Pink. Ah, gue bahagiaaaa bangeeeet!! Lah kok bahagia? Cuma sampai Monas aja bahagia! Hai hai, jelas banget ya gue bahagia. Mau tahu kenapa? Gue berhasil membawa Pink ke Monas! Hal yang ga mungkin dilakukan dulu... Perjalanan ini perjalan yang amat jauh, dan melelahkan, tapi Pink terlihat bercahaya! Ajaib bangeeeet...!

"Toilet, Nduk? Daripada nanti kebelet pipis, mending sekarang aja, yuk". Dan jadilah itu sebagai suara sambutan di toilet... Haha!

Di luar, gue dan Pink, celingak-celinguk.

"Teman-teman Mama, mana?", tanya Pink.

"Ga tahu. Mama ga tahu, Nduk. Cuma tahu di Monas, gitu. Pelataran Monas, tapi ga tahu di mana".

"Mbak, naik kereta aja tuh. Gratis kok, daripada jallan, cape", ujar penjaga toilet, sambil menunjuk kereta yang sedang parkir. Tapi ternyata Pink menolak. Dia memilih berjalan kaki,"Supaya lebih gampang cari teman-teman Mama". Gue terkaget-kaget.

Mengelilingi Monas adalah sebuah tindakan hebat Pink! Sesekali Pink minta istirahat, dan jadilah kami berdua duduk santai di pinggiran trotoir Monas. Sambil tetap celingak-celinguk, dan bertanya pada orang yang lewat,"Lihat kumpulan orang baju biru dan merah, ga?". Sayangnya ga ada satu pun yang melihat.

Satu kelilingan Monas sudah dijalani. Di depan gue patung lima orang berdiri.

Pink bertanya,"Ma, gimana kalau ga ketemu sama teman-teman Mama?".

Gue menjawab,"Ga apa-apa. Ini perjalananmu, Pink. Perjalananmu, Nduk. Piknik ke Monas".

Eh, ada pemotret bayaran. Untungnya bukan pembunuh bayaran! Hehehe...

"Pak, lihat orang-orang baju biru dan merah, ga?".

"Saya ga tahu, ga lihatin", jawab si bapak dengan logat medoknya.

"Ya udah, foto aja, Pak. Berapa?".

"Lima belas ribu, Mbak".

"Sepuluh ribu aja", gue menawar. Namanya aja ibu-ibu, negosiasi dulu dong! :D

"Ga bisa, itu saya cuma dapat bonus aja. Ini harga dari koperasi", jawabnya.

Lalu deal, jadilah gue dan Pink bernarsis-ria. Gue pikir, kalau ga ketemu teman-teman Pedas-Penulis dan Sastra, setidaknya ada bukti bahwa gue memang sudah sampai di Monas. Gue bisa laporan besoknya, dan ga hoax, karena ada bukti foto.




"Pak, yang namanya pelataran Monas tuh yang mana? Taman di seputar sini, atau di dalam sana", tanya gue pada si bapak pemotret sambil menunjuk taman, lalu menunjuk tugu Monas.

"Di sana, Mbak", jawabnya sambil menunjuk tugu Monas.

Okelah kalau begituuu... Mungkin jadi terasa aneh ya, kenapa juga gue dan Pink bisa-bisanya ga ketemu dengan teman-teman Pedas-Penulis dan Sastra? WA, dong, BBM, dong, SMS, dong, buka inbox di medsos, dong! Gitu, ya? Eh, gue ga bisa menghubungi teman-teman gue, dan mereka pun ga bisa menghubungi gue! Lah, kok? Hihihi, ya iyalah, gue kan udah 3 bulan ga pegang hp. Jadi wajar aja gue, dan Pink, bingung mencari teman-teman gue.

"Pink, ada suara orang baca puisi deh. Di mana, ya?", tanya gue. Pink menggelengkan kepala. Gue memandang orang-orang di dalam Monas. Jangan-jangan teman-teman ada di sana!

"Masuk ke sana, yuk! Siapa tahu teman-teman Mama ada di sana", ujar gue sambil menunjuk ke arah dalam area Monas. Dijawab dengan anggukan.

"Naik kereta aja, yuk. Mama cape", kata gue. Ya sih, gue memang cape, tapi sebenarnya lebih karena menjaga Pink, jangan sampai kelelahan.

"Yuk".

Berjalanlah Pink, dan gue menuju kereta yang akan mengantar kami menuju pintu masuk tugu Monas. Di kereta asyik mengobrol, dan Pink makan sedikit.

Naik kereta api, tut tut tuuut...!! Hihihi, padahal ga bunyi tut tut tut, kan keretanya tuh kereta model odong-odong yang lewat depan rumah gue :D .

Tralala, trilili, perjalanan ini menyenangkan sekali...

Cerita masuk ke dalam tugu Monas, ada di bagian III :D.


Salam senyum,
error












Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...