Skip to main content

error,"Monas (bagian I)".

Pada 28 Desember 2014 lalu, ada undangan acara Parade Baca Puisi yang diadakan oleh grup Pedas-Penulis dan Sastra, yang akan diadakan di tanggal 10 Januari 2015, dan jelas gue tertarik mengikutinya. Selain memang gue anggota grup Pedas, ajang tersebut memang menarik banget! Baca puisi, dan kopdar dengan teman-teman. Menambah ilmu, menambah saudara, bagus banget kan? 


Waktunya bagus pula. Sabtu siang, yang berarti Esa pun sudah pulang sekolah. Jadi gue berencana mengajak Pink, dan Esa.

"Pink, Mama mau ke Monas, tanggal 10 Januari tahun depan. Acaranya Pedas-Penulis dan Sastra. Pembacaan puisi", ujarku pada Pink satu hari di Desember 2014.

"Mau, Ma. Ikut aja, ikut! Pink kuat!", Pink merespon kata-kata gue dengan antusias, dan Esa pun mengiyakan dengan antusias.

Gue senang banget Pink dan Esa terlihat antusias untuk ikut pergi. Tapi ga gue pungkiri, ada rasa was-was mengajak Pink ke Monas. Plis deh, Monas tuh jauuuuh dari rumah gue! Dan tahu dong, Monas itu lapangan, yang berarti jalan kaki...! Tapi gue ga mau melihat Pink kecewa. Gue ga mau membunuh semangat yang dimilikinya. Setiap melihat binar-binar di matanya berkilau-kilau, gue merasa harus terus membinarkannya. Dan gue pun mengangguk tanda mengiyakan Pink. Dan untuk persiapan berangkat ke Monas, gue ajak Pink ke kantor di tanggal 2 Januari 2015, naik motor. Jika Pink kuat ke kantor gue naik motor, berarti kondisinya bisa gue bilang bagus. Dan ternyata Pink kuat, sehat, pulang pergi ke kantor gue naik motor!

Belum selesai sampai di situ. Mendekati tanggal 10 Januari 2015, Pink sariawan! Ini ga lebay, cuma gegara sariawan aja kok gue ga ragu mengajak Pink. Sariawan untuk Pink, itu sangat menyiksa. Dari sariawan, bisa ada organ lain yang diserang oleh imunnya. Gue resah. Semakin mendekati hari H, gue semakin resah, khawatir, cemas. Gue mulai stress. Gue ga mau terjadi hal-hal yang ga bagus ke Pink, gegara pergi ke Monas! Gue merasa harus melindungi Pink dari segala hal yang bisa berakibat buruk terhadap kondisi kesehatannya. Larangan dokter sudah gue langgar, pantangan-pantangan yang berjibun banyaknya gue tabrak untuk Pink. Memelihara kucing pun sudah dijalani. Semua karena gue memasrahkan Pink pada GUSTI, menyerahkan segalanya pada GUSTI. Tapi ternyata gue masih belum sanggup mengajak
 untuk bepergian jauh, dan naik fasilitas umum yang berarti ada banyak ketidaknyamanan, duh, gue ga berani! Sesudah Pink diketahui autoimun, gue ajak pergi Pink naik taxi, karena kalau tiba-tiba dia lemas, aman ada di dalam taxi. Tapi naik taxi dari rumah gue sampai Monas? Oh noooo!! Ga sanggup bayar argonyalah gue. Dan gue makin tenggelam dalam resah... Apalagi ternyata jadwal acara dimajukan, jadi pukul 10.00, Esa ga bisa ikut karena belum pulang sekolah.



Gue resah, gelisah, dan benar-benar menyiksa gue. Hingga akhirnya gue menyadari 1 hal, dan ternyata itu adalah hal yang terpenting! Gue ga berpasrah, ga berserah pada GUSTI SANG EMPUNYA HIDUP. Gue terpekur, menangis. Gue lupa bahwa GUSTI selama ini menjaga, melindungi, melebihi siapa pun, dan melebihi apa pun! Gue salah... Saat itu juga gue berdoa, mengadu, pada GUSTI. Hanya padaNYA, seluruh resah, gelisah, gue adukan, tapi ini juga dibarengi dengan pasrah, total berserah padaNYA. Menyerahkan hidup dan mati anak-anak gue padaNYA, juga termasuk Pink. Gue memohon ampunan karena sudah resah gelisah, was-was, atas sehat dan sakitnya Pink. Setelah itu, gue merasa tenang. Gue mantap pergi ke monas bersama Pink. Gue percaya Pink selalu didampingi GUSTI. Sehat dan sakitnya, adalah rencana GUSTI. Tak ada rencana yang lebih indah dari rencanaNYA...

Tiba tanggal 9 Januari 2015, gue meminta Pink untuk tidur lebih cepat, jangan terlalu malam, dan tidak terlalu lelah beraktifitas, karena besok, Sabtu, 10 Januari 2015, Pink, dan gue, akan keliling dunia! Monas, tunggu kami...!!


Salam,
error






Comments

  1. Replies
    1. Waaah juga, Uwan...! Ayo, udah nulis belum tentang Monas kemarin?
      Makasih ya, sudah menjejakkan komentar di sini :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...