Skip to main content

error,"Monas (bagian III)".

Di depan terowongan bawah tanah yang merupakan pintu masuk menuju Tugu Monas, banyak penjual souvenir. Ada penjual topi, kaus, gantungan kunci, aksesoris, dan layang-layang. Aku menawarkan pada Pink, mungkin ada yang ingin dibelinya. Tapi ternyata Pink menolak. Dalam hati, gue berkata,"Pinteeerrnya anak gueee...! Ga borooosss...!", Hahaha!

Masuk turun ke bawah, lewati anak tangga. Loket tiket ada 2, yang sebelah kiri untuk pengunjung yang masuk sampai ke puncak Monas, sedangkan yang satunya untuk pengunjung yang hanya sampai di pelatarannya saja. Gue memilih hanya sampai di pelatarannya saja, karena gue pikir, teman-teman Pedas-Penulis dan Sastra, berkumpul di sana. Tiketnya murah, Rp. 5.000,- untuk dewasa, dan Rp. 2.000,- untuk anak sekolah/anak-anak. Jadi untuk masuk ke sana, gue membayar tiket Rp. 7.000,-, karena gue berdua Pink, ditambah asuransi Rp. 1000,-.

Masuk terus ke dalam lorong, lalu sampai di ujung, harus naik tangga lagi. Haduh, banyak anak tangga yang harus dilewati selama di sini. Lalu gue dan Pink mengelilingi pelataran tugu Monas. Tapi kok di antara begitu banyak orang, gue ga lihat kumpulan orang yang berbaju merah dan biru, ya? Masuk melihat diorama sejarah Indonesia, juga ga ada teman-teman Pedas! Banyak pelajar SD, SMP, yang datang berkunjung dengan pendampingan guru, dan ada juga pendampingnya kakak Pramuka. Ramai banget!

"Ma, teman-teman Mama, mana? Ga jadi kali, Ma. Diundur kali. Masa sih dari banyak orang gini, ga ada satu pun", kata Pink, dengan nada sedih. Gue tahu, Pink kasihan sama gue.

"Ga diundur, kok. Cuma memang Mama ga ngerti mereka ada di mana. Mama kan ga WA, ga BBM, ga buka medsos juga", jawab gue.

"Mama sih, kenapa ga beli hp lagi? Harusnya Mama beli lagi", ujar Pink.

"Ga ah, biar aja, uangnya untuk sekolah aja, untuk kuliah aja, untuk homeschooling aja. Untuk pendidikan anak-anak Mama aja", jawab gue.

Pink bergelayut di lengan gue, dan mengelus lengan gue. Ah, Nduk, ini memang perjalanan wisata untukmu yang disediakan oleh GUSTI...

Lelah berjalan berkeliling, kami pun mencari tempat untuk duduk selonjor di lantai, dan bersender di dinding Tugu Monas. Rasanya nyamaaaan bangeeet, membiarkan otot kaki santai. Gue pandangi Pink, kok wajahnya bersinar terus, ya? Ga terlihat wajah lelah sedikit pun! Padahal gue aja nih, mulai rontok sedikit-sedikit. Tapi gue ga mau memperlihatkan lelah pada Pink. Pink harus tetap gembira! Semangaaaat, semangaaat!!

Makan lagi sedikit, mengunyah permen, minum, cemil kue, ngobrol berdua, bercanda. Llama-llama bosan hanya duduk-duduk di situ. Di sana gue dan Pink jadi parno kalau melihat merah dan biru. Jangan-jangan itu teman-teman Pedas! Tapi ternyata bukan...

"Nduk, naik ke puncak, yuk!", ajak gue ke Pink.

"Yuk!".

Tapi haduuh, kan tiketnya cuma untuk sampai pelataran aja! Gimana ya? Gue lihat ada petugas di sana.

"Pak, aku mau ke puncak, tapi gimana tiketnya? Beli ke mana? Harus balik lagi ke tempat tadi?", tanya gue.

Eh, si bapak itu berbaik hati membelikan tiket ke loket di bawah nun jauh di sana! Tiket dewasa Rp. 15.000,-, dan anak-anak Rp. 4.000,-. Yihaaa, makasih ya pak, kaki ini ga perlu berlelah lagi untuk beli tiket.

Tapi, weeeh, antrian untuk bisa masuk puncak Monas, panjaaaang bangeeet! Ular naga panjangnyaaa, bukan kepalaaang! Tapi ok deh, harus tetap semangat menuju puncak Monas! Pink santai aja tuh, ga terlihat lelah menyerah! Ajaib banget!!

Berdiri mengantri, membuat gue lelah. Bruk, gue duduk melantai, alis duduk di lantai. Pink pun meniru duduk di lantai. Mengobrol ini, dan itu, tentang ini, dan tentang itu. Di barisan antrian ramai pelajar yang berteriak-teriak. Gue jadi berpikir, dulu gue gitu juga ga ya? Atau malah lebih heboh dari itu? Ibu di depan gue memandangi gue yang santai duduk di lantai, lalu berkata,"Masih lama, ya Bu?". Gue tertawa,"Banget, Bu. Tuh lihat aja, kita termasuk bagian belakang". Si ibu pun tertawa. Akhirnya kami terlibat obrolan serius tentang hidup. Asyik mengobrol, sambil tetap aja celingak-celinguk, dan tetap parno melihat merah dan biru. Ga terasa sudah berada di depan. Untuk ke puncak yang ada di lantai 3, kami menggunakan lift, yang mengangkut per 11 orang.

Yeaaaa, puncak Monas!

"Ma, begini doang?", tanya Pink.


"Ya, begini ini", jawab gue.

Pink gue ajak melihat Jakarta lewat teropong yang disediakan di sana. Angin deras menerpa. Ya namanya aja di ketinggian tinggi-tinggi sekali.
 Hanya sebentar, lalu kami putuskan turun ke cawan, di lantai 2. menggunakan lift lagi, dan mengantri lagi.

Cawan Monas! Lebih nyaman, karena lebih luas tentunya. Mengelilingi cawan, celingak-celinguk, siapa tahu bertemu dengan teman-teman Pedas. Tapi masih sama, kami ga bertemu satu pun dari mereka. Duduk-duduklagi, santai, meluruskan kaki.

"Ga ada, ya Ma, teman-teman Mama?", tanya Pink.

"Ga apa-apa, ini perjalananmu, Nduk".

"Udah yuk, Ma. Turun yuk", ajaknya.

Lalu kami pun turun, dan menuruni banyak anak tangga! Haduh, ini bkan lagi anak tangga, tapi udah jadi cucu tangga! Sampai di bawah, kami masuk ke ruang diorama sejarah lagi, melihat-lihat.

"Ma, siapa tahu teman Mama ada di sini".

Tapi yang ada adalah kelompok pelajar, dan kelompok lainnya. Teman-teman Pedas, di manakah kalian?

Berkeliling diorama, kami berniat keluar, tapiii...

"Lewat mana ya keluarnya?", tanya gue.

"Sini, Ma", jawab Pink.

Salah!

"Mas, kami mau keluar, lewatnya mana ya?", gue bertanya pada petugas yang ada di sana. Petugas pun memberitahu, lalu... tralalala...!! Itu dia terowongan bawah tanah menuju keluar tugu Monas! Anak tangga lagiiiiiiiiii...!

Udara bebas! Pink dan gue sudah ada di luar.

"Yuk naik kereta aja, Pink. Mama cape kalau mesti jalan lagi".

Naik kereta api, tut tut tuuuuut...! Gratis, tapi kalau dari sini, harus menunjukkan tiket masuk ke Tugu Monas.
"Ma, mau ke mana sekarang?".

"Pulang, Nduk".

"Teman-teman Mama udah pada pulang juga kali ya?".

"Mama ga tahu, Nduk".

Melaju, melaju, terus melaju kereta...

Yea, tibalah kami di tempat awal tadi tiba.

"Mama, itu yang cowok pakai merah, yang cewek pakai biru. Itu kali teman-teman Mama".
Gue sebenarnya udah cape, dan udah hopeless bisa bertemu teman-teman Pedas. Gue pikir, ya sudahlah, ga apa-apa ga bertemu dengan teman-teman, yang penting Pink sudah bisa sampai di Monas, dan menemui banyak keajaiban, khususnya mengenai kondisi Pink. Tapi Pink memaksa. Oke Nduk, Mama nurut apa yang kamu mau.

Haaai, benar loh, di sana gue lihat kumpulan merah dan biru! Dan ada sesosok perempuan yang gue kenal betul, berkaus biru, berambut pendek! Itu kaaaan.... Hai hai haiiii...!!


Salam senyum,
error







Comments

  1. baik sekali si bapak mau membelika tiket ke bawah ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, Mbak. Beliau juga ga mau diberi uang lebih, Mbak.

      Delete
  2. wah ini seru apa serem nya jadinya... hehe

    ReplyDelete
  3. hahaha akhirnya ketemu di akhir perjalanan dan di akhir sisa tenaga :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...