Skip to main content

(7) Err Dan Bless, Jangan Pergi!

Hai, aku, Err. Sedang apa kamu di sini? Sepertikukah, menunggu senja datang sambil memandang ombak kecil yang berlari menerjang karang.

Apakah kamu mencintai laut sepertiku? Laut yang tenang, dan laut yang marah. Ombak yang kecil, ombak yang besar. Ikan yang berenang riang, dan ikan yang sembunyi dalam celah batu.

Pernahkah kamu melihat hantu di pinggir pantai sedang mengheningkan diri di batu sambil mengecipakkan air laut? Pernahkah kamu menjadi hantu? Ah, tidak, tidak, ini pertanyaan terkonyol yang pernah kulontarkan padamu.

Sedang apa kamu di sini? Memerhatikan awan berarak, menantang terik matahari, dan menghadang angin, sepertiku?

Aku ada di sini karena inginku sendiri. Pergi dari keriuhan yang hingar bingar. Menemui keheningan yang sepi, tapi bukan kesepian yang hening. Aku menyatu dalam hening sunyi tanpa nada, dan itu membuatku tahu bahwa sahabat terbaik untukku adalah hening.

Biasanya aku ada di sini bersama Bless. Sudah pernah berkenalan dengan Bless? Lelaki tinggi besar dengan sebiji mata kiri, dan serongga kanan mata kosong. Hantu lelaki yang berbagi pandang denganku. Tapi Bless menghilang! Meninggalkan jejak yang dalam. Jejak kaki berukuran 45 ada dalam kenang. Sedangkan sosoknya, entah ada di mana.

Bersama Bless, kunikmati hening. Berdua masuk dalam hening yang tanpa suara, tanpa kata-kata. Genggaman dan dekapnya lebih dari cukup untuk menguras seluruh cerita yang bergumul dalam hati.

Hening berdua dengannya mendamaikan seluruh lara. Mengobati semua luka yang menganga.

"Bless."

Tak ada yang menjawab. Suaraku dibawa angin yang halus menerpa.

"Bless, kamu ada di mana?"

Tak ada Bless di sini. Hanya ada aku sendiri.

"Bless."

Tak ada siapa-siapa.

"Kenapa kamu pergi meninggalkanku, Bless?"

Sama seperti tadi, tak ada yang menjawab.

"Bleeeeeess! Kamu jahaaaaat!"

Suaraku bergema di dalam karang.

Kesedihan ini tak dapat lagi ditahan. Meraung dalam gelap.

"Jangan pergi, Bless. Jangan pergi!"

Raungan ini menjadi semakin keras.

Air mata menitik, lalu menderas dari sebiji mata kananku.

"Bleeess, aku tak butuh mata yang menangis. Aku butuh sebiji mata yang memandang bersamamu."

Kuambil bii mataku, menimangnya, mengelus, lalu melemparkan sejauh mungkin ke ujung batas laut!

"Aku tidak butuh sebiji mata menangis, Bless!"

Tangisku menggelegar. Ombak pun membesar. Angin bertiup seakan siap menerbangkan siapa pun yang menghadang!

Raunganku menyayat, mengiris telinga yang mendengar! Membangkitkan rasa takut yang berada di pantai. Semua berlomba menyingkir!

Aku tidak bisa menahan gemetar dalam hati. Ini kesedihan terdalam yang kumiliki. Ini kehilangan yang menyakitkan!

Teringat masa lalu yang memenjarakanku dalam kepedihan pahit. Lelaki di masa lalu yang pergi dan tak pernah berkabar lagi.

"Bless, kumohon jangan biarkan aku jatuh cinta padamu jika akhirnya hanya mengiris dan menyakitkan kisahku."

Merintih sambil melempar pasir ke atas langit. Berhamburan butirnya masuk dalam rongga mata kosong hingga penuh!

"Aku perempuan bermata pasir, Bless!Penuh butiran kasar! Aku perempuan bermata kosong! Aku adalah kamu yang dulu, Bless!"

Jatuh lunglai tergeletak di pasir basah. Aku tak peduli. Kepala terkubur pasir. Kepiting kecil berjalan miring melintasi rambutku.

Gelap, kegelapan, kosong merongga. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Pantai, laut, pasir, maafkan aku. Tak lagi bisa memandangmu seperti dulu. Tapi kenang ingatan pemandanganmu, tercatat rapi."

Sepi. Tak terdengar suara apa pun. Ombak juga berbisik takut-takut.

"Bless, aku sedih tanpamu."

"Aku juga, Err. Aku sedih tanpamu."

"Bless?"

"Ya, Err. Aku, Bless."

"Bless, jangan tinggalkan aku. Berjanjilah untuk tidak pernah tinggalkan aku."

"Aku tidak meninggalkanmu, Err. Aku hanya pergi sebentar untuk menggali ingatan tentang masa lalu. Bukankah kamu sering kali bertanya tentang masa laluku?"

"Bless, jangan pergi. Jangan pergi."

"Tidak, Err Aku di sini. Mana sebiji matamu?"

Kurasakan dua tangan memegang wajahku.

"Mana sebiji matamu, Err?"

Aku hanya diam tak bisa menjawab.

"Err, mana sebiji matamu, Err? Siapa menyakitimu? Err?"

Suaranya mulai terdengar panik. Aku terisak tanpa air mata.

"Bless. Bless, maafkan aku."

"Ufh, kamu membuangnya?"

Aku tetap diam, tapi memeluknya lebih erat dari sebelumnya. Isakku lebih keras.

"Karena aku?" Tanyanya sambil memeluk erat.

Isakku lebih kuat lagi.

"Kamu buang ke mana?"

"Laut."

"Yakin kamu buang ke sana?"

Kuanggukkan kepalaku kuat-kuat.

"Tunggu di sini." Ujar Bless.

Dilepaskannya pelukannya. Lalu kurasakan sesuatu dimasukkan dalam rongga kosong mata.

"Bless! Sebiji mataku!"

Dijawilnya pipiku, kemudian dia berkata,"Aku melihatmu dari belakang. Saat sebiji mata dilempar, kutangkap."

"Oh ya?"

"Ya. Dasar perempuan. Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi."

Selalu dan selalu, masuk dalam pelukannya adalah tempat terdamai yang kutemukan.

Bless, lelaki tanpa raga yang memiliki sebiji mata, hantu pantai, hantu laut, entahlah apa lagi sebutannya, dia adalah lelaki yang kukasihi. Dia pun mengasihiku.

Bagaimana denganmu? Saling mengasihikah dengan kekasihmu?

Aku, Err, dan dia, Bless. Kami sepasang tanpa raga yang berusaha saling melengkapi. Sekarang kami ada di dunia berbeda, tapi pernah sama seperti kalian, hidup di dunia yang hidup. Jangan terlambat seperti kami. Karena belum tentu sesudah berada di dunia kami, kalian bisa merasakan hal yang sama seperti kami.

Aku, Err. Dia, Bless.


Nitaninit Kasapink
















   





Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...