Skip to main content

(1) Err Dan Bless, Lelaki Bermata Kosong Itu Bernama Bless

Beberapa tahun yang lalu, di sini, di tempat ini, aku bertemu dengannya. Lelaki tinggi besar yang ramah. Siapa pun bisa terkecoh jika menilainya dari sosok yang terlihat. Beberapa anak kecil, bahkan orang tua, berlari saat melihatnya sedang berdiri memandang laut dengan mata kosong. Dia Bless, yang selalu ada bersamaku, berbagi pandang.  

"Hai, Bless." Diulurkannya tangan untuk menyalami.

Bless?

"Hai, aku Bless." Diulanginya sekali lagi.

"Oh ya, Err."

Menyalami tangan besar yang kokoh, tenggelam dalam telapak tangan yang erat menggenggam, seharusnya terasa nyaman sekaligus hangat. Tapi tangannya dingin sedingin es.

"Err? Apakah kita pernah bertemu?"

Matanya seakan menyelidik.

"Entahlah. Mungkin. Aku sulit untuk mengingat sesuatu di masa lalu."

"Hahaha, berarti kita sama. Ingatanku hanya bertahan sebentar."

Bless. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Bless. Tapi biarlah, yang kuhadapi adalah Bless di hari ini.

"Err."

"Ya."

"Sudah lama di sini?"

"Baru beberapa tahun aku ada di sini."

"Kamu memilih berada di sini?"

"Tidak. Tapi aku menyukai debur ombak, desir angin, pasir pantai. Dulu aku menghadang sengatan matahari yang melegamkan kulit. Berjalan membiarkan pasir mengelus telapak kaki."

"Lalu kamu memutuskan berada di sini?"

Aku mengangguk.

"Kamu baru di sini? Aku belum pernah melihatmu."

Bless diam. Mata kosongnya menatap laut yang menghampar. Aku tak ingin mengganggu. Biarkan saja dia dalam hening yag diciptanya sendiri. Lalu sama-sama diam menikmati hening yang kami miliki. Ombak berlari kecil saling kejar. Angin membelai rambut yang hanya sebatas leher. Matahari menyengat, tapi tak lagi bisa melegamkan. Hai, mana mungkin sinar matahari bisa menghitamkan kami?

"Pantai, sawah, gunung, punya daya panggil yang kuat." Tiba-tiba suaranya memecah sunyi.

"Ya, tapi aku lebih memilih pantai, danau, hujan. Air, aku menyukai air. Mungkin aku jelmaan putri duyung," terkekeh menimpali.

"Haah, mermaid! Mermaid in love!"

Itu pertemuan pertamaku dengan Bless, saat matahari bersinar terik. Setelah itu kami sering bertemu. Berbincang dengannya amat menyenangkan. Lebih tepatnya bukan berbincang, karena aku lebih banyak bicara. Dengan sabar didengarkannya kecerewetanku saat bercerita ini dan itu. Suaranya jauh lebih lembut dibanding suaraku yang terkadang memekik parau.

Hingga di satu saat Bless bertanya padaku.

"Err, seperti apa laut yang ada di depan kita?"

"Luas! Dan hanya air. Penuh dengan air!"

"Eeeeerr, ya jelas penuh air! Laut!"

Kami terbahak bersama.

"Adakah karang besar?"

"Ya. Karang besar dan bebatuan berjajar di pinggir pantai. Ayo kita ke sana!"

Kugandeng tangannya. Pasir-pasir yang dulu melekat di kaki saat berjalan tanpa sendal, sekarang tak melekat lagi. Pasir-pasir adalah bagian kenangan masa lalu. Bless menggenggam erat tanganku.

"Bless! Karang! Ayo naik!"

Tawanya terdengar riang. Dielusnya karang yang kini ada di hadapannya.

"Oh! Karang ini tajam, Err!"

"Bless, yang lembut itu kamu. Karang ya tajam."

Lagi-lagi kami tertawa. Suara menggema saat kami berteriak di dalam karang yang besar.

"Karang tak bisakah menjadi lembut?"

"Entah, Err. Aku juga tidak tahu. Mungkin karang memang sejatinya keras dan kasar. Karang bisa hancur, tapi tidak melembut."

Aku diam. Lagi-lagi tercipta hening di antara kami.

Matahari mulai menyurut, tak lagi menyorot garang. Tapi kami tetap hening.

"Sudah malam, Err."

"Ya. Biar saja. Malam tak akan pernah bisa menakutiku. Malam tak mengubahku jadi pengecut seperti dulu. Hahaha, dulu aku takut kegelapan, takut malam. Sekarang? Aku adalah gelap, dan aku adalah malam."

Bless menoleh ke arahku. Matanya menatap kosong. Kugenggam erat-erat tangannya seakan takut kehilangan sosok yang selalu ada menemani.

"Boleh aku memegang tanganmu, Bless?"

Tak ada jawaban. Hanya saja tanganku terasa digenggam amat kuat.

Malam makin menggelap. Laut terlihat menghitam. Angin deras menerpa.

Aku melihat Bless. Lelaki dengan mata kosong yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Siapakah Bless? Dari mana dia berasal? Entah, aku tak pernah ingin bertanya tentangnya Biar saja dia sendiri yang bercerita tentangnya dan masa lalu. Yang kutahu Bless hari ini. Ya, Bless yang ada di hari ini. Siapa pun dia di masa lalu, biarkan saja. Bukankah semua punya masa lalu? Sebagaimana juga aku.

"Ceritakan padaku tentang laut dan seluruh isinya yang bisa kamu lihat, Err. Ceritakan padaku tentang karang yang banyak berada di sana. Ceritakan juga tentang bebatuan berjajar yang kita lewati."

Bless! Aku bukan pencerita yang baik. Bagaimana caraku menceritakan tentang laut yang tak bisa kuduga dalamnya? Bagaimana cara menerjemahkan bentuk karang yang dulu sering menyayatku? Juga bagaimana merumuskan bebatuan yang kita lewati bersama saat perjalanan?

Bless! Tangisku perlahan turun.

"Jangan menangis."

"Bagaimana kubisa menceritakan padamu tentang itu semua, Bless?"

"Ceritakan padaku. Ayo, ceritakan tentang semuanya."

Perlahan kuusap lembut mata kosongnya.

"Bless, kamu bisa melihatnya sendiri."

"Tidak, Err. Aku butuh kamu sebagai penglihatanku."

Kuusap matanya sekali  lagi dengan penuh kasih. Blessku yang selalu ingin tahu seperti apakah laut, karang, batu, dan semuanya.

Perlahan kuambil satu dari sepasang mataku. Kumasukkan ke dalam rongga matanya yang kosong.

"Bless, kita bisa melihat laut bersama. Kita bisa melihat karang dan melihat bebatuan. Tidak hanya itu. Kita juga bisa melihat apa pun yang kita mau. Kita bisa melihat bersama, Bless."

Bless, lelaki dengan mata kosong, yang memang kosong, sekarang menatap laut bersamaku. Sebiji mata ada di mata kirinya, dan sebiji mata ada di mata kananku. Cukuplah kami masing-masing melihat dengan sebiji mata.

"Bless, menyenangkan sekali bisa bersamamu memandang semua yang ada!"

Aku Err dan dia Bless, sosok tanpa raga yang selalu bersama di pantai ini. Jangan tanya tentang masa lalu kami saat masih menjalani hidup. Kami ada di sini, itu saja.

Maukah kamu berbagi mata dengan terkasihmu?



Nitaninit Kasapink









 

Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...