Skip to main content

(8) Err Dan Bless, Menyambangi Masa Lalu

Kamu tahu siapa aku? Seorang perempuan tanpa limpahan kasih. Hidup dipenuhi dengan hadiah dusta-dusta.  Amarahku ditempa oleh gelora api yang tak pernah padam. Ini aku, perempuan yang menatapmu dengan air mata yang beku.

Namaku, Err.

Aku bagai cermin retak di  sudut rumah. Dipenuhi rumah sang laba-laba. Ada debu tebal melekat di sana. Itulah aku, Err.

 Mari masuk. Ini rumah kami, dulu. Penuh kenangan. Oh, pagar ini masih sama dengan yang dulu. Gemboknya masih gembok besar yang dulu tak bisa kubuka! Dulu aku melompatinya karena tak bisa membuka gembok besar baru di pagar ini. Yuk, kita lompat saja!

Mari masuk.

Oh, pintu ini masih digembok dari luar! Sama seperti bertahun yang lalu! Hanya sekarang sudah berkarat.Dengan kondisiku sekarang, sebenarnya bisa saja kutembus pintu tanpa kesulitan. Tapi aku ingin melihat keliling rumah ini.

Yuk ke garasi. Dulu pintunya rusak, aku yang mereparasinya sendiri.

Hei, bisa terbuka!

Masuk ke dalam rumah masa lalu membuat senyum manis menjadi agak tertahan. Tiga kamar tidur tertutup.

Semua masih sama seperti dulu. Pintu kamar itu ditutup dengan gembok menempel di pintu. Tak ada yang berubah!

Semua berada di tempat yang sama. Hanya debu dan sarang laba-laba menyebar ada di mana-mana.

Dulu aku sering becermin di sudut ruang itu. Menari-nari, tersenyum, juga belajar melihat ke arah belakang lewat cermin itu. Di sana bufet kayu jati warna cokelat tua yang panjang. Hey, itu dia, masih tergeletak hancur di antara kursi-kursi lipat yang juga dari kayu jati. Semua dibalut debu, dan berjaring laba-laba!

Berjalan ke ruang tamu yang kosong.

Kembali masuk ke dalam, masuk ke kamarku dahulu. Kosong. Dulu ada sebuah tempat tidur besar di sini. Terbayang banyak hal di sini. Lalu cepat kukeluar. Jangan berlama di sini. Jangan.

Dua kamar lainnya sama, kosong. Terdengar suara anak kecil menyebut mama. Ah, iitu hanya bayang ingatanku.

Masa laluku ada di sini. Ini masa lalu.

"Err."

"Bless."

Digenggamnya erat jemariku.

"Terima kasih, Bless. Sudah menemaniku masuk ke masa lalu."

"Belum semuanya, Err. Belum semuanya. Kita lanjut lagi nanti. Kita pulang ke pantai sekarang? Laut kita menunggu."

Dibimbingnya aku keluar dari rumah masa lalu.

"Besok kita ke sini lagi. Besok berceritalah tentang masa lalumu. Ada aku, hantu lelaki sebiji mata."

Kurapatkan diri padanya. Rasa nyaman itu mengalir deras menenangkan.

Dia, Bless. Aku, Err. Sepasang tanpa raga yang berbagi pandang lewat sebiji mata yang kami punya. Saat ini kami saling memeluk karena saling menguatkan.

Bagaimana denganmu? Apakah saling menguatkan dengan saling memeluk?



Nitaninit Kasapink






Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih, Mbak.
      Err dan Bless, aku bikin berseri. Ini seri yang ke-8.
      Silakan kalau berkenan mengikuti serialnya.

      Salam penuh kasih.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...