Skip to main content

(5) Err Dan Bless, Kami Saling Mengisi

Hai, namaku, Err. Aku di sini karena aku mencintai pantai, laut! Aku cinta pantai yang berpasir, karang, bebatuan, dan suara ombak laut tanpa henti, juga angin yang berhembus menyejukkan.

Aku, Err, perempuan yang biasa sendiri, dan amat suka menyendiri. Punya masa lalu yang panjang. Tak akan cukup setahun bercerita tentang semua, karena amat panjang! Juga perlu mengguatkan hati untuk menceritakannya.

Ya, aku, Err, lebih menyukai hening dibanding riuh hiruk pikuk manusia. Lebih memercayai bercerita pada hening yang damai. Karena itu aku lebih banyak diam saat menghadapi kejadian. Hanya mataku saja yang menatap dalam saat aku berhadapan dengan orang lain. Ya, itu dulu,  di masa lalu.

Err, namaku Err. Hanya Err, tanpa tambahan nama lain. Nama yang sederhana dan mudah diingat, bukan? Err.

Panggil aku, Err. Perempuan bermata cerewet, karena mataku lebih banyak berkata-kata dibanding mulut. Aku membaca sosok orang yang ada di hadapan, dengan mataku. Membaca hati dan pikiran. Semua tanpa suara, tanpa kata-kata.

Tak akan sulit menemukanku di sini, karena di antara banyak sosok yang bisa kamu temui di sini, yang menikmati pemandangan seperti di masa lalu, hanya aku. Ya, berada di sini memang untuk menikmati sepenuh hati.

"Err," suara yang lembut memanggilku.

"Bless," sedang apa di sini?

"Aku? Mencarimu tentu saja. Kupikir kamu ada di sebelah sana, ternyata sembunyi di dalam lubang karang ini."

Bless mengambil posisi duduk di sisiku. Kakinya sama sepertiku, melipat lutut agar bisa menumpu tangan. Disenggolnya tubuhku pelan, lalu tersenyum menggoda.

Dia, Bless. Lelaki yang penuh kasih. Bersamanya menimbulkan rasa nyaman dan aman. Selalu membuatku merasa seperti seorang putri cantik! Bless luar biasa, bukan?

Panggil dia dengan sebutan Bless. Namanya memang Bless. Dan kurasa itu sesuai dengan sosoknya yang pastinya merupakan anugerah untuk siapa pun.

Jangan tanya padaku nama lengkapnya. Bless, hanya Bless. Itu yang kutahu. Dia pun menyebutkan namanya Bless. Mungkin memang namanya sama sepertiku, hanya terdiri dari 1 suku kata. Mudah diingat. Atau mungkin saja namanya amat panjang, tapi dia lebih menyukai nama yang singkat, Bless.

Bless, lelaki tinggi besar. Aku hanya sebahunya. Lumayan lelah saat bicara padanya, atau jika ingin menatap matanya.
 karena harus menengadahkan kepala.

Dia lelaki bermata kosong saat bertemu dengannya pertama kali. Kosong, benar-benar kosong! Ada banyak cerita dalam rongga kosong yang gelap itu, kurasa. Tapi dia tak ingat apa pun, atau mungkin enggan bercerita mengenai masa lalunya? Entahlah. Kurasa itu adalah haknya untuk memilih bercerita atau diam.

"Err," dia memanggilku.

"Yes, Bless."

"Aku cuma ingin memanggil namamu."

"Ya, aku juga senang memanggil. Tapi takut kamu menolak."

"Hei, kenapa kamu pikir aku akan menolak?"

"Entahlah, Bless. Begitu banyak penolakan terjadi dulu."

Menerawang memandang laut yang jauh di sana.

"Hus, jangan suka melamun. Nanti kesambet, loh!"

"Hahaha, iya, Bless. Bisa kesambet hantu mata kosong, ya?"

"Hai, aku sudah punya sebiji mata! Lihat nih, lihat!"

Dipamerkannya mata sebelah kiri. Ya, mata itu ada di sana, tak lagi kosong seperti rongga di kanannya.

"Iyaaa, iyaaa! Tapi mana bisa aku kesambet? Hantu mana pun ga akan bisa bikin aku kesurupan, Bless!"

Tawa kami menggema di dalam karang.

"Err."

"Bless."

"Err, aku sayang kamu. Entah kamu tahu atau tidak."

"Aku tahu, kok."

"Oh ya? Dari mana?"

"Dari caramu memperlakukanku. Aku merasa menjadi istimewa saat bersamamu!"

"Oh ya? Padahalaku biasa-biasa saja bersikap padamu."

"Maksudmu? Bless, maksudmu?"

Bless berlari menjauh sambil tertawa-tawa. Huh, dasar hantu iseng!

Lalu asyik saling mengejar seperti saat kecil. Menyenangkan sekali! Ceria setiap bersama dengannya.

"Bless."

Aku duduk di antara karang. Bless ikut duduk, tapi di hadapanku.

"Jangan di depanku!"

"Kenapa?"

Kamu menghalangi pandang."

Dia berdiri lalu berjalan ke arahku, kemudian duduk di belakangku.

"Bless! Aku tak bisa melihatmu!"

"Err, aku di belakangmu agar tak menghalangi pandangmu. Kita sama-sama memandang ke depan."

Direngkuhnya aku erat dari belakang.

Bless selalu punya cara unik dalam menyampaikan sesuatu.

"Err, kalau aku menghilang 10 hari, atau seminggu, bagaimana?"

"Tidak! Jangan!"

Hening. Kami masuk dalam diam, dalam hening masing-masing. Tapi erat dekapannya menentramkan, aku tidak sendiri.

Panjangnya cerita masa lalu, tak ada satu kisah pun seperti sekarang. Ini amat membahagiakan. 

"Bless, kamu tahu bagaimana caraku mencintai?"

"Tidak. Perempuan itu sulit ditebak."

"Hahaha! Aku aja tak pernah bisa mengerti tentang perempuan. Padahal aku perempuan."

Tak ada sahutan.

"Bless, aku mencintai dengan logika. Menurutku, mencintai seseorang dengan baik bukan berarti harus memilikinya."

Sepi.

"Aku berusaha mengerti tentangnya. Bahagia saat dia merasa bahagia."

Senyap.

"Bless."

"Ya. Aku mendengarkan."

"Aku mencintai tanpa berharap dicintai. Bodoh, ya?"

Hening.

"Bless."

Tetap tak berjawab.

"Bless."

"Err."

"Ceritalah tentangmu."

"Aku?"

"Yup!"

Tarikan napas panjang jelas sekali terlihat dan terdengar. Hembusannya pun amat keras. Bless, ada apa denganmu?

"Aku, Bless. Namaku Bless. Nama panjangku, Bleeeeeeeeeeeeeeesssss!"

Aku yang sedang serius mendengarkan, jadi tersentak.

"Bless! Uuuh!"

Kupukul pelan lengannya.

Bless tertawa terbahak-bahak.

"Err, sudahlah. Kita ada di hari ini. Tidak perlu mengingat masa lalu."

"Aku cuma ingin tahu sedikit tentangmu." Pungkasku ketus sambil cemberut.

"Bless. Namaku hanya 1 kata. Masih kurang sedikit?"

Huh!

Bless memang selalu mengingatkanku untuk selalu berpikir tentang hari ini, hari ini, dan hari ini saja. Setiap hari adalah hari ini. Sedangkan aku berpikir tentang masa lalu karena ada hal yang tak dapat kuraih dulu.

Bless mengajarkanku bagaimana menyikapi kejadian yang ada. Tenang, Err, tenang. Jika ingin punya masa lalu yang indah, maksimal saja di hari ini. Kalau masa lalu ada yang tidak indah, maksimal saja hari ini agar tidak buruk seperti yang lalu.

Bless si mata kosong, Bless yang sekarang sebiji mata satu, menjadi penyeimbangku, dan aku menjadi penyeimbangnya. Aku memberinya rasa yang mungkin kosong di masa lalunya. Bless memberiku pemikiran logika yang terkadang kuabaikan. Seperti katanya selalu padaku, perempuan!

Bless dan aku, sama sebiji mata satu, dan sama memiliki seruang rongga kosong dalam mata kosong. Kami sama-sama saling mengisi.

Aku, Err, dan dia, Bless. Kami sekarang memang berada di dunia berbeda, tapi dulu pun kami hidup seperti kalian, dan itu masa lalu bagi kami.

Dan kamu, please saling mengisi dengan pasanganmu. Saling menguatkan, saling mengingatkan. Jangan terlambat seperti kami.


Nitaninit Kasapink




















Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...