Skip to main content

(4) Err Dan Bless, Tetap Bersama

Setiap waktu aku ada di sini, di tepi pantai, memandang laut, bermain pasir. Tak pernah merasa bosan berada di sini. Bersama debur ombak yang terkadang menggelegar saat gulungannya besar, mengikuti angin yang menggoyang dedaunan, juga menghitung jumlah pasir di sekelilingku. Semuanya terasa indah dan luar biasa!

Mengenang masa lalu adalah bagian kegiatanku setiap waktu. Karenadi masa lalulah aku hidup, di waktu itulah aku  merasakan sentuhan yang hangat. Tidak di masa sekarang, terasa dingin walau dalam dekapan sekali pun.

Berbaring di atas pasir tanpa alas, dengan berbantal dua tangan, memandang langit biru,sambil menikmati bisikan angin di telinga, sungguh membuatku semakin merasa damai. Lalu kupejamkan mata, mencoba merasakan keindahan lain yang bisa terasa saat tak menatap langit.

"Err."

Suara halus membelai telinga.

"Err."

Suara yang memberi ketenangan.

"Err."

Suara lembut yang penuh kasih.

"Err."

Suara yang mengajakku lebih mengenal tentang kasih.

"Errrrrrr!"

"Whaat!"

"Hahaha, sedang apa kamu di sini?"

"Huh, Bless! Nakal! Huh!"

Kupalingkan wajahku darinya. Menghindar dari degup jantung bahagia karena melihatnya ada di sii bersamaku.

"Kamu marah? Maaf, Err. Tadi kamu kupanggil pelan, tapi kamu diam saja. Jadi kupikir lebih baik kuteriakkan saja namamu, agar kamu mendengar." Terdengar lembut tapi ada tawa tertahan di sana.

"Aku marah." Ujarku.

"Wah, bagus dong! Kemajuan. Ngambek?"

"Bukan. Marah."

"Itu ngambek namanya, Err."

"Bukaaaaan, Bless. Bukan ngambeeeek!"

"Oh, bukan ya? Baiklah, itu bukan ngambek. Ya kan, Err? Bukan ngambek, kan ya? Kamu bukan sedang ngambek, kan? Ya kan? Ya kan, ya?"

"Oh, kamu meledek ya? Meledek aku, gitu? Iya? Oke, oke. Oke kalau gitu," kuangguk-anggukan kepala saat berbicara pada Bless.

Wajah Bless terlihat sedikit cemas. Mungkin dia berpikir aku sungguh-sungguh marah padanya.

"Sekali lagi, ya Bless. Aku tidak marah. Oke? Aku bukan ngambek. Oke? Aku kangen, titik!"

"Hah? Kangen?"

Mulutnya terbuka saat mengucap itu. Sebelah biji matanya melotot besar. Rongga kosong di sebelah matanya tetaplah gelap. Tapi aku mencintainya. Ups, what? Mencintainya? No no no, ini tak boleh terjadi.

"Err, kamu kenapa sih?"

Digandengnya tanganku, dibimbingnya berjalan menapaki pasir yang basah.

"Ceritakan padaku, kangen pada siapa? Pada masa lalumu lagi? Pada dia si lelaki sombong itu?" Suaranya bersungut-sungut saat mengatakan tentang si lelaki sombong.

"Bless."

"Ya, Err. Ceritalah padaku. Aku ada di sini bersamamu. Kamu boleh bercerita apa pun juga."

"Lelaki tetalah lelaki. Huh! Walau hantu, tetap saja kamu lelaki."

"Heeei, ya iyalah aku lelaki. Sejak masih hidup sampai sekarang sudah menjadi hantu, aku tetap lelaki. Masasih setelah jadi hantu, aku berubah menjadi perempuan?"

Tawanya membahana.

"Kamu menertawaiku!"

"Loh, loh? Ada apa sih, Err?"

Aku masuk dalam hening. Enggan bercerita apa pun pada Bless. Aku ingin enikmati hening berdua dengannya. Hanya ingin hening tanpa cerita. Menikmati waktu yang ada tanpa suara diucap. Hanya ada genggaman tangan, dekapan erat. Aku hanya ingin merasakan ini.

"Err, kamu kenapa?Jangan bikin aku cemas, deh."

Tangannya semakin erat menggenggam.

"Hush, hantu, diam."

Bless tertawa mendengar ucapanku.

"Kita sama-sama hantu sebiji mata, Err. Kita sama-sama hantu serongga mata kosong. Kita sama-sama saling membutuhkan untuk bisa melihat dengan jelas."

Kueratkan lagi genggaman tanganku.

"Err, jangan diam. Diammu membuatku cemas."

Kugeser posisiku agar lebih dekat padanya. Menyusuri pasir pantai berdua sambil saling menggenggam erat tangan, adalah anganku di masa lalu.

"Oke, kamu hanya ingin diam, Err? Aku juga ingin diam, sama sepertimu. Kita sama-sama menikmati hening, ya?"

Bless, kamu tahu yang kumau.

Pantai adalah saksi bahagiaku. Laut adalah mata perjalanan ini. Pasir menjadi sahabat yang tak bisa dihitung saat suka citaku melonjak karena Bless.

"Bless."

Tak ada jawaban.

"Bless."

Tak ada jawaban juga. Kugoyangkan tangan hingga genggaman kami pun terguncang. Tapi tetap tak ada jawaban.

"Bleeeeess."

Hanya ada sepi.

"Bless, berhenti. Aku mau bicara."

Bless menghentikan langkahnya, memandangku sambil tersenyum.

"Aku mau bicara. Kamu ga menjawab saat kupanggil."

"Looh, bicaralah. Yuk kita duduk di sini. Aku diam mendengarkanmu, menyimak sambil memandangmu."

"Hantu lelaki yang gombal," ujarku sambil tertawa lirih.

Bless tertawa. Aku suka caranya tertawa. Matanya hidup, walau sebelah rongga matanya kosong dan gelap. Aku suka caranya tertawa, ada irama menenangkan, dan ada selengkung garis yang manis di bibirnya.

Bless, lelaki tinggi besar yang lembut. Penuh kasih, penuh pengertian. Lelaki yang kutemui saat dua matanya kosong. Dua mata tanpa sinar, gelap, kelam.

"Katamu mau bicara, tapi malah asyik bicara sendiri dalam hati."

Kusandarkan kepala di bahunya.

"Perempuan. Bicara  pada hati sendiri Kamu pikir aku nih dukun ya, Err?"

"Dukun? Maksudmu?"

Kepalaku tetap masih bersandar di bahunya. Rasa nyaman mengalir di hati.

"Err, aku kan tidak bisa tahu apa yang ada dalam hatimu, kalau kamu tidak memberitahu."

Aku diam.

"Bicaralah. Aku ada di sini, kan? Dulu mungkin kamu tidak pernah membicarakan apa yang kamu rasa. Tapi kan itu dulu. Dulu, loh Err. Sekarang kamu harus bicarakan itu padaku. Kan ada aku. Bless, hantu lelaki sebiji mata."

Masih berada dalam hening. Masuk dalam hening yang mendamaikan. Apalagi aku tahu sekarang heningku tidak sendiri, ada Bless bersamaku dalam hening. Hantu lelaki dengan sebiji mata.

"Err, kamu merasa kangen, rindu? Pada siapa? Bukankah kamu ada di masa sekarang, di hari ini, bukan di masa lalu? Masa lalu cuma sebuah kenangan, tapi bukan untuk dikenang terus menerus. Come on, babe, kita ada di masa sekarang. Kamu, aku, dan yang lain yang berada di setiap jengkal pantai ini, ada di masa sekarang. Kita sama-sama punya masa lalu. Aku juga punya masa lalu, walau sampai sekarang tak dapat mengingat sedikit pun."

Bless yang kosong tentang masa lalunya. Indahnya tak mengingat masa lalu. Memulai segala sesuatu di hari ini.

"Hiiih, menyebalkan kamu ini. Perempuan. Selalu saja hidup dalam pikirannya sendiri."

Suaranya memaksaku makin masuk dalam hening yang amat damai.

"Err, pernahkah kamu merindukan aku?"

Kupeluk lengannya dengan dua tangan. Beringsut semakin mendekatkan diri padanya. Kepalaku makin tenggelam dalam bahunya yang berupa bayang-bayang.

"Jangan pergi."

"Apa, Err?"

"Jangan pergi. Aku takut kehilanganmu. Jangan pergi. Di masa lalu aku banyak kehillangan. Banyak yang pergi dariku. Banyak yang menolak kehadiranku. Jangan pergi, Bless. Tetaplah di sini. Aku merasa nyaman bersamamu. Aku belum pernah merasa senyaman ini."

Tiba-tiba Bless melepaskanku. Berdiri tanpa mengibas pasir. Berjalan menjauh tanpa menoleh.

"Bless!"

Bless diam, terus saja berjalan.

Pagi ini aku kehilangan Bless, seperti masa lalu, kehilangan orang-orang  terkasih. Diam sendiri di sini. Di pantai tanpa siapa-siapa. Tanpa Bless.

Bless, apa yang harus kulakukan sekarang?

Pernahkah kamu merasakan apa yang kurasakan saat ini? Ditinggalkan saat merasa nyaman. Menghilang saat terasa mencinta.

"Hai, Err."

Tersentak, lalu menoleh ke belakang!

"Bless!"

Kupeluk dia erat. Masuk dalam pelukannya yang dingin, tapi menghangatkan ceritaku.

"Jangan pernah pergi. Tetaplah bersamaku. Aku ada di sini, bukan berada dalam masa lalu. Aku merindukanmu selalu, bukan rindu masa laluku. Bless, janji ya, jangan pergi."

Semakin erat pelukanku.

"Err, cup cup, jangan menangis. Kita ada di hari ini, bukan di hari yang sudah lalu. Hari kemarin sudah dijalani. Cup cup, tenanglah. Aku ada di sini, berjanji tetap ada di sini. Bukankah kita ada untuk berbagi pandang? Hai ingatlah Err, sebiji matamu ada padaku. Dan serongga mata kosong pun jadi milikmu. Tak akan pernah kumeninggalkanmu."

Hai, pernahkah kamu mengalami seperti kami? Berbagi mata untuk berbagi pandang. Satu saat nanti jika hidup sudah selesai dijalani, dan masuk dalam dunia kami, mungkin kamu akan mengerti. Tetaplah berbagi kasih, tetaplah menggenggam kasih, tetaplah mendekap kasih. Hangat dan mendamaikan.

Pelukan ini memang dingin, tapi ini terhangat yang kumiliki setelah menjalani hidup yang dingin saat seharusnya merasakan hangat.

Aku, Err, dan dia Bless. Kami sama-sama sebiji mata, dan serongga mata kosong. Tapi bisa melihat segala sesuatu bersama, berbagi pandang. Juga melihatmu melalui sebiji mata dan rongga mata kosong milik kami.

Nitaninit Kasapink



Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...