Matanya menerawang, menatap langit-langit ruangan. Hening. Aku menunggu lanjutan cerita darinya. Lelaki tua di hadapanku ini adalah orang yang kuhormati. Dia menghela nafas panjajng, melenguh pelan. Masih hening, dan aku masih menunggunya melanjutkan cerita masa lalu miliknya...
"Saya mencintainya, tapi dia bukan milik saya, dan tak akan pernah menjadi milik saya. Dia pun menyadari ini. Bukan tak pernah dicobanya untuk berhubungan dengan lelaki lain, dia sudah mencoba, tapi selalu dihentikannya. Dia tak bisa melupakan saya. Ada rasa berdosa di hati saya, tapi ini sudah takdir. Seorang perempuan lain mengisi hidup saya, lalu 4 anak manis menambah semarak hidup. Sedangkan dia tetap sendiri, hingga saat ini, hingga menua, dan lumpuh. Tapi hatinya tak pernah lumpuh untuk saya...", matanya masih menerawang...
Aku diam, tak berkata apa pun. Menunggunya melanjutkan...
"Saya selalu merasakan apa yang sedang dia rasa. Sewaktu ia sakit, saya pun tau, saya pun merasakannya. Dan dia pun merasakan saat saya sakit. Jodoh, kita tak pernah tau tentang jodoh...". Suasana kembali hening. Ruangan sejuk ini jadi terasa dingin. Aku menunggu suaranya memecah hening.
"Isitri saya amat mencintai saya, saya pun mencintainya, tapi ada seorang lain yang tak pernah bisa tergantikan oleh siapa pun, disimpan rapi dalam kenangan, dan saya jaga, jangan hilang, saya amat menghormati cintanya, dan saya punya cinta yang tak tersentuh untuk dia. Beberapa puluh tahun lalu dia selalu ada dekat saya, mendampingi saya dalam hidup. Dengan kesabarannya, dia membangkitkan saya. Dibelainya hati saya hingga semangat selalu ada. Tak pernah dia memegang tangan saya, menyentuh ujung jari pun tak pernah. saya juga tak pernah menyentuhnya. Saya mencintainya. Jodoh, tak ada yang tau...", matanya menutup dan tangannya pun mengatup.
Hening lagi... Aku mengambil tissue yang ada di atas meja, yang menjadi jarak antara aku dan dia. Airmata haru mulai menggenang. Cinta, sebegitu rumitkah untuk menyikapinya?
"Dia sakit, terbaring tak berdaya. Saya menjenguknya, dan ada sebuah buku berjudul We'll Meet Again di samping tempat tidurnya. Saya merasa bersalah, saya ingin memeluknya, tapi tak bisa. Saya mencintainya, tapi dia bukan istri saya, saya mempunyai seorang istri yang mencintai saya. Saya menahan tangis. Ah, dia memandang dengan tatapan rindu...", dia bercerita sambil mengusap matanya yang juga mulai dipenuhi airmata...
Lelaki di hadapanku diam, dan suasana menjadi hening lagi...
"Besok saya akan cerita lagi padamu tentang dia. Hari ini ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Besok kembalilah ke mari. Terimakasih sudah menjadi pendengar yang baik", ucapnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum, melangkah menuju pintu. Pekerjaan hari ini bertumpuk di meja kerjaku...
"Saya mencintainya, tapi dia bukan milik saya, dan tak akan pernah menjadi milik saya. Dia pun menyadari ini. Bukan tak pernah dicobanya untuk berhubungan dengan lelaki lain, dia sudah mencoba, tapi selalu dihentikannya. Dia tak bisa melupakan saya. Ada rasa berdosa di hati saya, tapi ini sudah takdir. Seorang perempuan lain mengisi hidup saya, lalu 4 anak manis menambah semarak hidup. Sedangkan dia tetap sendiri, hingga saat ini, hingga menua, dan lumpuh. Tapi hatinya tak pernah lumpuh untuk saya...", matanya masih menerawang...
Aku diam, tak berkata apa pun. Menunggunya melanjutkan...
"Saya selalu merasakan apa yang sedang dia rasa. Sewaktu ia sakit, saya pun tau, saya pun merasakannya. Dan dia pun merasakan saat saya sakit. Jodoh, kita tak pernah tau tentang jodoh...". Suasana kembali hening. Ruangan sejuk ini jadi terasa dingin. Aku menunggu suaranya memecah hening.
"Isitri saya amat mencintai saya, saya pun mencintainya, tapi ada seorang lain yang tak pernah bisa tergantikan oleh siapa pun, disimpan rapi dalam kenangan, dan saya jaga, jangan hilang, saya amat menghormati cintanya, dan saya punya cinta yang tak tersentuh untuk dia. Beberapa puluh tahun lalu dia selalu ada dekat saya, mendampingi saya dalam hidup. Dengan kesabarannya, dia membangkitkan saya. Dibelainya hati saya hingga semangat selalu ada. Tak pernah dia memegang tangan saya, menyentuh ujung jari pun tak pernah. saya juga tak pernah menyentuhnya. Saya mencintainya. Jodoh, tak ada yang tau...", matanya menutup dan tangannya pun mengatup.
Hening lagi... Aku mengambil tissue yang ada di atas meja, yang menjadi jarak antara aku dan dia. Airmata haru mulai menggenang. Cinta, sebegitu rumitkah untuk menyikapinya?
"Dia sakit, terbaring tak berdaya. Saya menjenguknya, dan ada sebuah buku berjudul We'll Meet Again di samping tempat tidurnya. Saya merasa bersalah, saya ingin memeluknya, tapi tak bisa. Saya mencintainya, tapi dia bukan istri saya, saya mempunyai seorang istri yang mencintai saya. Saya menahan tangis. Ah, dia memandang dengan tatapan rindu...", dia bercerita sambil mengusap matanya yang juga mulai dipenuhi airmata...
Lelaki di hadapanku diam, dan suasana menjadi hening lagi...
"Besok saya akan cerita lagi padamu tentang dia. Hari ini ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Besok kembalilah ke mari. Terimakasih sudah menjadi pendengar yang baik", ucapnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum, melangkah menuju pintu. Pekerjaan hari ini bertumpuk di meja kerjaku...
*****
-error-
hai haaai aku berkunjung lagiiii
ReplyDeletehihihi, he eh... dan aku menulis lagiiii... :D hehehe... makasih mbaaaak ;)
Deleteditunggu yang part 2 nyaaa
ReplyDeleteIya, udah terbit part 2 nya :)
Deletety ya :)