Skip to main content

error,"Perempuan dan dendam"

"Aku hanya ingin pergi menyelesaikan ini semua. Aku hanya ingin menyelesaikan hingga tuntas", ujarku pada diri sendiri sambil menyelipkan sebilah pisau di pinggang, dan sepucuk senjata api di sepatu boots yang kukenakan. Senyum manis tetap tergambar di bibir yang selalu polos tanpa warna lipstick.

"Aku berangkat. Dia harus diselesaikan. Malam ini, harus selesai. Aku berangkat, jangan cegah aku", aku mengambil jaket hitam kesayangan, lalu mengambil helm hitam fullface milikku. Senyum tetap ada, dan tetap sama seperti sebelumnya.

Suara motor keras menghantam gendang telinga. Aku memacu motor dengan cepat, seperti biasanya. Aku sama sepertimu, seorang perempuan yang mencintai anak-anakku, tapi juga seorang perempuan yang keras. Selalu terselip sebilah pisau dan sepucuk senapan kecil. "Ini cuma sebagai penjagaku, pelindungku, bukan sebagai pemeran utama dalam masalah. Jangan khawatir, aku menggunakannya hanya jika dalam situasi terdesak saja. Aku bukan seorang yang konyol, yang selalu menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Tapi aku juga bisa saja menggunakannya sewaktu-waktu, tanpa bisa diprediksi", itu penjelasanku pada teman-teman yang mengetahui kebiasaanku itu. Aku seorang perempuan dengan rambut coklat, penyuka es kopi hitam pahit, dan perokok. Tapi apakah aku salah jika menjadi diri sendiri?

Berhenti di muka sebuah rumah mungil, pintunya tak dikunci. Aku masuk, dan kulihat dia duduk di sebuah kursi sambil membaca sebuah tabloit.

"keluar. Tunjukkan padaku kehebatanmu, tunjukkan sesumbarmu yang berkata akan membunuhku dan anak-anakku", aku berkata sambil meletakkan pisau di lehernya. Dia tersentak kaget. Laki-laki dengan perawakan tinggi besar, sparing partner saat latihan beladiri itu benar-benar terkejut.

"Ada apa? Jangan emosi", ujarnya gugup.

"Takut? Ini pisau yang kubeli tahun lalu, kamu juga mengetahui seberapa tajam pisau ini", kataku sambil tertawa.

Terdengar jeritan perempuan di dalam rumah, menyebut nama Tuhan, dan berteriak akan memanggil poisi. Aku cuma tertawa. Pisau tetap berada di lehernya, dan dia berjalan menuju luar, dengan aku berada di belakangnya yang tetap siaga.

"Tunjukkan sekarang nafsu ingin membunuhmu. Ayo", aku berkata tegas sambil membuang pisau.

"Jangan emosi", ujarnya.

"Takutkah? Aku juga tangan kosong sama sepertimu. Aku bukan pengecut yang bisanya mengancam!"

Jeritan perempuan itu masih saja terdengar, tapi anehnya tak seorang pun mendengarkan. Banyak orang berkumpul di depan rumahnya, tapi tak seorang pun membantunya. Hanya tegak diam, menonton perkelahian yang terlihat tak seimbang. Aku seorang perempuan dengan tubuh kecil, sedangkan dia seorang lelaki tinggi besar! Tapi mungkin jadi terlihat seimbang, karena aku bisa menangkis serangannya, dan bisa membalas serangan. Hingga kulihat dia mengambil pisau yang tadi kulempar. Tawanya licik. Senjata api kecilku kukeluarkan dari boots. Perlahan tapi pasti kuarahkan pada dirinya, sambil tersenyum.

Selesai, semua ini selesai. Tubuhnya yang terkapar bersimbah darah bukan lagi ancaman untuk aku dan anak-anakku... Polisi? Itu urusan nanti. Bos Cosa Nostra tempatku bergabung selalu membantuku dalam situasi seperti ini. Yang terpenting, anak-anakku dalam keadaan aman. Jeritan perempuan tak ada lagi. Raungan motorku memecah malam yang hening... Anak-anakku pasti sudah terlelap. Dan aku masih dalam perjalanan menuju base camp Costa Nostra... "Selamat tidur, sayang, mama pulang setelah ini", bisikku dalam hati.

*****












Comments

  1. Tapi aku kali ini tak memiliki lawan sebanding. Pisau dan peluru akan membunuhku sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kali ini lawan licikku tak sebanding, terkapar di depan mulut senapan kecilku... ;)
      makasih mbak :)

      Delete
  2. jangan emosi, senyum tetap ada dan dooor..... salam sastra

    ReplyDelete
  3. Ini pembunuhan berencana atau pembunuhan tak sengaja...hahahaha..salam error

    ReplyDelete
    Replies
    1. pembunuhan tidak berencana tapi sengaja... hahaha :D
      salam senyum dari error :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...