Masih terbayang wajahnya yang menahan sebuah kerinduan selama berpuluh tahun pada wanita yang dicintainya. Ingin rasanya aku menghapus airmata yang menggenang di pelupuk matanya. Lelaki tua yang aku hormati layaknya seorang bapak. Ah, dia menangis dalam hatinya...
"Sibukkah? Datanglah ke mari, sekarang", sebuah suara yang amat kukenal masuk dalam gendang telingaku. Suara yang lunak, tapi tegas. Aku bergegas berjalan keluar, berlari di tangga menuju lantai pertama, dan tergesa melangkah ke ruangan sederhana namun punya sentuhan indah. Perlahan kuketuk pintu, lalu membukanya juga dengan amat perlahan. Terlihat wajah dengan senyum, duduk di belakang meja besar, dengan setumpukan berkas yang seakan berteriak memohon padanya untuk dibubuhi tandatangan seorang pimpinan besar di perusahaan ini. Aku tersenyum, menganggguk, lalu menarik sebuah kursi di hadapanku, dan duduk dengan tenang sambil berkata,"Ya, Pak". Ada senyum lebar digambar di bibirnya.
"Saya cuma ingin meneruskan cerita kemarin pada anda. Ada waktukah hari ini?"
"Ya, Pak, silakan. Pekerjaan saya sudah selesai", jawabku.
Helaan nafasnya terihat jelas. Matanya menerawang lagi. "Saya menceritakan pada istri saya tentang kondisinya. Saya ingin istri saya tau, dan menjenguk bersama saya. Tapi ternyata responna di lluar dugaan saya. Isitri saya hanya berkata, kasihan, lalu tak lagi membahasnya. Berdosakah orang yang saya cintai dalam hati, berdosakah dia mencintai saya di dalam hatinya? Tidak pernah dia mengganggu rumah tangga kami, tidak pernah dia masuk dalam rumah tangga kami, tidak pernah saya berkasih-kasihan dengannya. Cinta itu ada di dalam hati, tidak dimunculkan, tetap ada dalam dasar hati. Apakah salah?", ujarnya lagi, tanpa memandangku sedikit pun. Diusapnya matanya perlahan. Aku diam memperhatikan, dan menunggu kelanjutan cerita.
Pintu diketuk dari luar, cerita terhenti. Ada yang ingin bertemu dengannya, sudah ada janji, kata temanku yang barusan saja mengetuk.
"Baik, nanti kita lanjutkan lagi. Saya ada tamu", ujarnya. Aku pun beranjak dari kursi, tersenyum, dan mengucap terimakasih.
Di meja kerjaku, aku masih saja terpikir tentang cinta yang dimiliki orang yang kuhormati. Ah, cinta, apakah berdosa mencintai seseorang dalam hati? Apakah berdosa menyimpan sebuah cinta dalam hati?
"Besok ada jadwal Psikotestkah?", sebuah tanya membuyarkan pikiranku tentang cinta yang ternyata masih belum usai...
-error-
"Sibukkah? Datanglah ke mari, sekarang", sebuah suara yang amat kukenal masuk dalam gendang telingaku. Suara yang lunak, tapi tegas. Aku bergegas berjalan keluar, berlari di tangga menuju lantai pertama, dan tergesa melangkah ke ruangan sederhana namun punya sentuhan indah. Perlahan kuketuk pintu, lalu membukanya juga dengan amat perlahan. Terlihat wajah dengan senyum, duduk di belakang meja besar, dengan setumpukan berkas yang seakan berteriak memohon padanya untuk dibubuhi tandatangan seorang pimpinan besar di perusahaan ini. Aku tersenyum, menganggguk, lalu menarik sebuah kursi di hadapanku, dan duduk dengan tenang sambil berkata,"Ya, Pak". Ada senyum lebar digambar di bibirnya.
"Saya cuma ingin meneruskan cerita kemarin pada anda. Ada waktukah hari ini?"
"Ya, Pak, silakan. Pekerjaan saya sudah selesai", jawabku.
Helaan nafasnya terihat jelas. Matanya menerawang lagi. "Saya menceritakan pada istri saya tentang kondisinya. Saya ingin istri saya tau, dan menjenguk bersama saya. Tapi ternyata responna di lluar dugaan saya. Isitri saya hanya berkata, kasihan, lalu tak lagi membahasnya. Berdosakah orang yang saya cintai dalam hati, berdosakah dia mencintai saya di dalam hatinya? Tidak pernah dia mengganggu rumah tangga kami, tidak pernah dia masuk dalam rumah tangga kami, tidak pernah saya berkasih-kasihan dengannya. Cinta itu ada di dalam hati, tidak dimunculkan, tetap ada dalam dasar hati. Apakah salah?", ujarnya lagi, tanpa memandangku sedikit pun. Diusapnya matanya perlahan. Aku diam memperhatikan, dan menunggu kelanjutan cerita.
Pintu diketuk dari luar, cerita terhenti. Ada yang ingin bertemu dengannya, sudah ada janji, kata temanku yang barusan saja mengetuk.
"Baik, nanti kita lanjutkan lagi. Saya ada tamu", ujarnya. Aku pun beranjak dari kursi, tersenyum, dan mengucap terimakasih.
Di meja kerjaku, aku masih saja terpikir tentang cinta yang dimiliki orang yang kuhormati. Ah, cinta, apakah berdosa mencintai seseorang dalam hati? Apakah berdosa menyimpan sebuah cinta dalam hati?
"Besok ada jadwal Psikotestkah?", sebuah tanya membuyarkan pikiranku tentang cinta yang ternyata masih belum usai...
******
huhuhu... she's start to writiiiing..... luv u deeeek
ReplyDeletehaduh, bener-bener harus berjuang keras untuk bisa membiarkan imajinasi berkeliaran, lalu ditangkap, juga bener-bener harus berjuang keras membiarkan jari supaya bisa bicara banyak... hihihi, sampe ga bergerak dari depan laptop :D
Deleteluv u too mbaaaak... ;)
Saya no comment Mbak, bingung juga harus berpendapat apa... :(
ReplyDeleteYa, pendapat bisa berbeda, lihat aja nanti lanjutan cerita ini ;)
DeleteMakasih mbak :)
mbak Nita ide menulisnya banyak banget ya
ReplyDeleteHaduh mbak, ini aja sampai tepar mikir... hihihi :D
Deleteawalnya, saya kira cerita nyata, mbak Nita. hehe. penasaran sama kisah ke empat, dst (pertama baca #3)
ReplyDeletehehe, imajinasi, mbak :D
Deletemakasih ya :)