Skip to main content

error,"Masuk neraka? Oops!!"

Pagi ini semua terasa biasa-biasa saja. Ya, jadi biasa-biasa saja kalau difikir biasa-biasa saja, dan pada akhirnya akan membuatku jadi biasa, dan biasa tidak bersyukur. Loh kok? Yup, kalau merasa biasa-biasa saja, pada akhirnya jadi tidak bersyukur, karena merasa semua ini biasa saja.

Bangun pagi melihat Ngka, Esa, Pink, masih tidur nyenyak, lalu membangunkan mereka, lalu memasak sarapan, atau menghangatkan makanan untuk sarapan, kemudian Ngka, Esa, Pink, bangun pagi, biasa langsung mandi, biasa menyiapkan seragam masing-masing, biasa makan sarapan ambil sendiri, biasa ngobrol bareng berempat di pagi hari sebelum berangkat sekolah, biasa tertawa-tawa bareng, biasa tersenyum bareng juga, dan biasa sebelum berangkat sekolah berpamitan, dan bersalaman. Biasa, ya amat biasa. Padahal semua itu adalah anugerah! Tak terbayangkan saat bangun ternyata sudah siang, tak ada Ngka, Esa, Pink, tak ada kebersamaan. Atau begini, terbangun, tapi Ngka, Esa, Pink, sulit untuk dibangunkan, lalu terjadi keributan di pagi hari yang tenang, dan bla-bla-bla...

Seringkali aku menganggap segala sesuatu menjadi hal yang biasa karenasudah terbiasa. Lupa bahwa semua itu adalah anugerah yang dibingkiskan oleh GUSTI ALLAH pada kita. Oksigen yang kuhirup, itu bingkisan dari GUSTI ALAH. Terbayanglah berapa biaya oksigen yang dihirup kalau harus membelinya. Satu tabung oksigen harganya mahal, dan pasti hanya satu tabung tidak mencukupi kebutuhan untuk bernafas dalam sehari yang bergerak aktif! Juga pasti amat direpotkan kalau berjalan ke sana kemari sambil membawa tabung oksigen tentunya! Itu baru oksigen, bagaimana dengan sinar matahari? Dan bagaimana dengan jalannya kehidupan yang ada di hidup? Itu semua adalah anugerah, bingkisan indah dari GUSTI ALLAH. Fikiran ini benar-benar membuatku terhenyak dan tersadar, bahwa ini semua bukan hal yang biasa-biasa saja. Pagi ini amat penuh anugerah dari GUSTI ALLAH, dan aku tak lagi mau berfikir ini biasa-biasa saja, karena aku tak mau memungkiri nikmatNYA. Siapa berani memungkiri nikmat GUSTI ALLAH? MAHA BAIkNYA GUSTI ALLAH, jangan dipungkiri.

Jika hal yang tidak biasa terjadi di pagi ini, yang tidak biasa terjadi seperti pagi-pagi biasanya, tentulah membuatku jadi panik, bingung, dan sedih. Itu baru di dunia, lalu bagaimana jika sesudah hari akhir? Di neraka karena memungkiri nikmat GUSTI ALLAH yang dianggap biasa-biasa saja? Ooops, tidaaaak!! Masih bisa berani memungkiri nikmatNYA?? Tidaaaaak..!! Masuk neraka?? Siapa takut?? Mudah sekali untuk jadi penghuni neraka! Tapi jawabanku adalah.., saya takuuuut...!

Yuk menikmati segala hal yang 'biasa' itu sebagai hal yang indah, karena semua itu adalah anugerah dari GUSTI ALLAH. Atau memang siap untuk berkata,"Masuk neraka? Siapa takut?", dan tersenyum berani untuk memasukinya...

Salam Senyum,
error







Comments

  1. alhamdulillah, terimakasih sudah berkenan berpartisipasi,
    artikel sudah resmi terdaftar sebagai peserta… mohon dicheck kembali di daftar peserta ya....
    salam santun dari Makassar :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

Han

"Maafkan aku." Aku diam terpaku melihatnya. Tak bisa berkata apapun. Bulir-bulir air mata turun membasahi wajah.  "Maafkan aku, Err." Dia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Dan aku hanya diam tak sanggup bergerak apalagi menjawabnya. Bagaimana mungkin aku bisa bereaksi ketika tiba-tiba seseorang dari masa lalu muncul di depanku untuk meminta maaf.  Amat mengejutkan. Apalagi melihat penampilannya  yang berbeda dengan dia yang kukenal dulu. Berantakan, kotor. Rambutnya juga tak teratur. Lalu kulihat bibirnya bergerak tapi tak terdengar suaranya. Hanya saja aku tahu apa yang diucapkannya. Lagi-lagi permohonan maaf. Setelah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali, detik ini aku melihatnya! Masih hapal dengan sosoknya, juga hapal suaranya. Han! Bukan seorang yang gagah, juga bukan sosok kuat. Tapi dia adalah orang yang kucintai. Han yang penyayang, penuh perhatian, dan sabar. Terkadang kami berbeda pendapat dan r...