Skip to main content

error,"CODOT"



Aku mau cerita tentang pohon mangga di depan rumah yang berbuah lumayan banyak. Sebelumnya belum pernah pohon itu berbuah sedemikian lebat. Ada keinginan untuk memakan mangga yang masak di pohon. Jadi buah-buah di pohon didiamkan saja. Hingga suatu hari sewaktu aku akan pergi ke pasar, mengeluarkan motor dari teras, ada ribut-ribut di depan rumah...

"Itu tuh mateng! Itu tuh"

Suara itu berulang-ulang terdengar dan terdengar suara orang melompat-lompat. Tadinya aku masih tidak perduli, masih saja berusaha mengeluarkan motor dari teras. Lalu terdengar suara seorang ibu,"Mbak, mangganya kita ambil ya, udah mateng. Nanti dimakan codot!." Dan kulihat ibu-ibu sibuk melompat-lompat berusaha mengambil mangga dari pohon, sedangkan sebagian mangga sudah ada di tangannya. Aku tersenyum saja mendengar perkataan sang ibu, dan masih saja sibuk mengeluarkan motor ke luar rumah.

"Sayang, dimakan codot." Rasanya kalimat itu menggelitikku. Fikirku, silakan saja ambil kalau memang mereka ingin, kuijinkan. Tapi kok rasanya jadi merasa kasihan pada si codot, karena manusia mendiskreditkan nama si codot yang dikenal sebagai hewan pemakan buah-buahan yang masak di pohon dan belum dipetik.

GUSTI ALLAH menciptakan seluruh makhluk dengan rejeki masing-masing, dan memang sudah dipersiapkan rejeki bagia semua ciptaanNYA. Codot juga makhluk ciptaanNYA, pasti juga sudah dipersiapkan rejeki untuk si codot. Satu dua buah yang masak di pohon lalu dimakan codot, aku rasa memang sudah dipersiapkan menjadi rejeki si codot. Codot tidak punya uang untuk membeli mangga di pasar. Ya kan?

Aku cuma merasa bahwa tidaklah salah membiarkan mangga-mangga masak di pohon, dan membiarkan sebagian dimakan codot. Berbagi dengan codot, tidak ada salahnya, berarti berbagi rejeki dengan sesama makhluk ciptaan GUSTI ALLAH.

Tadi mangga-mangga dipetik oleh Ngka, dibantu oleh pakde baso langganan yang biasa lewat depan rumah. Tak lupa membagi mangga pada pakde baso, dan tetangga. Codot? Codot pun sudah mendapat bagiannya. Indahnya berbagi mangga hasil panenan pohon sendiri.

Salam Senyum,
error







Comments

Popular posts from this blog

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena SIM yang lama itu SI