Skip to main content

error,"Maaf Mas, aku mencintaimu..."#episode 4

"Mas, aku dapat undangan pernikahan"


"OH ya? Siapa? kapan? Dimana?"


kusebutkan sebuah alamat, dan kujelaskan pernikahan itu adalah pernikahan kakak dari seorang teman yang kuanggap sebagai anak. karena usia temanku sebaya dengan anak sulungku.


"Oke. Gue jemput lo besok. kita dateng ke sana. Tapi gue harus kerja dulu"


Ah Mas, rasanya aku mau melompat kegirangan! Biasanya sewaktu mendapat undangan pernikahan atau undangan apapun itu, aku selalu datang mengajak anakku. Ahaaay.., kali ini berbeda!


Aku bingung mau mengenakan baju apa di pesta pernikahan besok. Hmm.., gaun?? Oh noooo..!! Aku tak punya gaun. Tumpukan bajuku hanya berisi kaos-kaos santai, kemeja, dan celana jeans. Ufh, bingung juga menentukan mau mengenakan apa besok!


Bongkar! Bongkar! Bongkar! Haha, seperti lagu seorang penyanyi favoritku, kubongkar tumpukan baju di kamar.


Aaaargh.., tetap saja tak kutemukan baju yang pantas untuk pergi bersama Mas besok. Anak-anakku tertawa melihat kebingunganku.


"Memangnya punya baju cewe, Ma?", Esa berujar padaku sambil tertawa geli


"Jiah, susah bener sih Ma... Dibongkar kayak gimana juga tetep aja ga ada baju cewe-nya, Ma...", timpal Ngka


"Oh, Mama mau pake daster?? Haha!", Pink menambah ramai suasana pembongkaran baju


Hahaha!! kami berempat tertawa berbarengan. Iya juga sih, mau dibongkar sebongkar-bongkarnya, tetap aja tak kan pernah ada yang kucari. karena memang tak pernah kupunya. Hahaha!!


Akhirnya kuputuskan mengenakan baju yang santai dan celana jeans serta sepatu boots hitamku.


                                               ***


keesokan harinya aku bersiap-siap untuk pergi ke pesta pernikahan itu.


Baju sudah siap, sudah berbedak pula. Dan aku memakai lipstick!! Benda pewarna yang tak penah kugunakan selama ini. Pink si bungsu terbengong-bengong melihatku.


"Ih Mama, menor!", kata Pink padaku


"Ga, Ma, ga menor", kata Esa


"Menor!!", Pink masih memprotes


"Ga Ma", Ngka menambahkan


Aku lari ke depan kaca. OMG, jangan sampai aku terlihat seperti memakai topeng!


Ngka, Esa, Pink tertawa. ternyata mereka cuma menggodaku! Hahaha, 3 cintaku yang lucu-lucu...


Ponsel bernyanyi. Ah, Mas...


"Gue masih di kantor ya. Ada kerjaan banyak"


Hm.., Mas. Selalu saja pekerjaan menjadi prioritas utama.


"Iya, ga apa-apa. Aku tunggu, Mas"


"Bener ga apa-apa kan? Dah tahu tempatnya?"


"Ga apa-apa, Mas. Tapi jangan terlalu siang ya. Aku belum tahu dimana tepatnya tempat pernikahannya, Mas"


"Ya udah ga apa-apa. Nanti gue browsing aja tuh alamat. Gue kerja dulu ya. Sebentar lagi selesai kok"


"Ya, Mas"


Pembicaraan berakhir.


Ingatanku tiba-tiba mellayang ke masa sewaktu suamiku masih hidup. Papa dari Ngka, Esa, dan Pink. Selama pernikahan tak pernah diajaknya aku datang menghadiri pernikahan teman-temannya. Malu mengajakku. Ufh, airmata ini mulai menyeruak hendak keluar.


Suamiku dulu tak pernah mau menggandeng tanganku ketika bepergian. Aku tergopoh-gopoh berjalan cepat mengikuti langkahnya yang panjang. Tak diperdulikannya aku yang setengah mati berusaha mengejarnya.


Amat berbeda dengan Mas. Mas amat memperhatikanku dalam sempitnya waktu yang Mas punya. Ya GUSTI.., ampuni aku, aku membandingkan antara almarhum suamiku dengan seseorang yang bukan suamiku... Maafkan aku, Pa... Bukan kumembandingkanmu dengan Mas, tapi tiba-tiba saja perbedaan sikapmu dan sikap Mas yang amat mencolok jadi muncul di pikiranku. Maafkan aku, Mas, aku jadi semakin mencintaimu... Ya GUSTI, apakah rasa yang ada di hati ini salah?


Damai surga sertamu, Pa...amin. Aku mengucap dalam hati. tak terasa airmata bergulir basahi pipi...


Menunggu bisa menjadi hal yang membosankan. Tapi tidak membosankan saat kumenunggu kedatangan Mas.


Bercanda dengan ketiga anakku menjadi hal indah saat menunggu.


"ketiduran kali Ma...", kata Esa


"Ga jadi kali Ma...", Pink tersenyum menggoda


"Lagi mules!", tambah Ngka


Tawa kami bertiga pecah.


Ponsel bernyanyi lagi. Ah, Mas...


"Gue dah sampai di bunderan ya"


"Iya, Mas"


"Oke, tunggu ya"


"Ya, Mas"



Dan pembicaraanpun berhenti.


Tapi sampai 15 menit kemudianpun Mas masih belum juga tiba. Ada apa dengan Mas? Semoga baik-baik saja, amin...


Gelisah mulai merambatiku. Mas belum juga datang...


Ponsel bernyanyi lagi. Ah, Mas!


"Mas dimana?"


"Udah hampir sampai"


"Aku menunggu sejak tadi, Mas"


"Makasih dah mau nunggu ya. Coba lihat ke depan. Gue dah di depan nih"


"Ih, aku udah di depan, Mas"


"Oh udah di depan"


Lalu aku kaget karena ternyata Mas datang dari arah depan! Sedangkan aku menengok ke arah kanan jalan! Mas!


"Hahaha!!"


"Uh, Mas..."


kuberlari mengambil tas dan berpamitan pada Mama dan Bapak, dan juga berpamitan pada Ngka, Esa, Pink. Mas juga berpamitan.


kugandeng tangan Mas, tapi ternyata Mas lebih cepat untuk menggandengku. Rasa aman itu menghangati seluruh hati... Ah, Mas...


                                            ***


"Lama ya nunggunya?"


"Ya lamaaaaaaaaaaaa deh", jawabku


"Gue ngantuk tadi"


"Mas ni looo...! Aku tadi dah terpikir, Mas pakai ilmu marketing"


"Marketing gimana?"


"Saya sudah otw. Padahal masih di rumah", ujarku sambil tertawa


Mas tertawa dan mengelus rambutku. Ah, Mas.., aku tak bisa membohongi diri sendiri, aku merasa nyaman bersamamu...


Aku duduk bersandar pada Mas. Jangan menangis, jangan menangis! Teriakku pada diri sendiri dalam hati.


Aku merasa dilindungi oleh Mas. Hal yang belum pernah kurasakan selama ini.


Selama ini aku berusaha melindungi Ngka, Esa, Pink, juga Mama dan Bapak, selain juga memang harus meindungi diriku sendiri.


Sejak masih ada almarhum suamipun, aku sendiri yang melindungi anak-anakku. Suamiku tak perduli dengan keberadaanku dan anak-anak kami. Entah kenapa...


"Lewat mana jalannya?"


"tadi temanku sms, Mas. Dekat sekolah", kataku sambil menunjukkan sms temanku tadi


"Coba lihat. Gue tanya orang dulu deh"


"Aku turun ya Mas, aku aja yang tanya", katku


"Oh jangan. Biar gue aja. Tunggu aja", sigap Mas keluar mobil dan bertanya pada pejalan kaki


Mas tersenyum padaku sewaktu masuk mobil, dan mengatakan sebentar lagi akan sampai di tempat yang kami tuju.


"Lo dah pernah ketemu ni orang?"


"Belum"


"Hah?? Jadi selama ini lo belum pernah ketemu?"


"Belum, Mas. Cuma dari jejaring sosial aja, dan telfon. Dia selalu curhat ke aku kalau ada masalah, Mas"


"Ufh, sayang, sayang... Serius lo belum pernah ketemu?"


"Belum. Aku menganggap dia itu seperti anak. Usianya hampir sama dengan Ngka"


Mas mengelus rambutku. Lagi-lagi damai terasa...


"Mas, aku mau beli es krim dulu", ujarku sewaktu berhenti di depan mini market, untuk bertanya ke sekian kalinya.


"Es krim??"


"Iya, tadi dia titip minta es krim, Mas"


"Ya udah kalo gitu"


Aku masuk ke mini market, membeli es krim yang dipesan oleh teman kecilku, sekaligus bertanya alamat yang kami tuju. karena ternyata alamat yang dituju masuk ke jalan kecil.


Mas masuk ke mini market tersenyum padaku. Ah Mas... Mas selalu melindungiku...


"Udah? Deket kok. Belok kiri dan sebentar lagi sampai"


"Ya, Mas"


kamipun keluar. kucium pipi Mas di mobil.


"Makasih, Mas"


Mas tersenyum. Ah Mas, aku mencintaimu...


"Telfon dulu temen lo. kasih tahu kita dah sampai di sini"


Dan aku menelfon teman kecilku. Dia berkata akan menunggu kami di depan sekolah. karena tempatnya masih masuk lagi ke dalam jalan kecil.


Sesampai di depan sekolah kulihat seorang pemuda menggandeng perempuan kecil. Ya, itu temanku! Aku hafal wajahnya, karena biasa melihat fotonya di jejaring sosial.


"Mas, itu dia!"


Mas tersenyum. Aku turun dari mobil. Menemui teman kecilku. kami bersalaman, dan dia mencium tanganku. Persis seperti anakku.


"Cipika cipiki dong", ujar teman kecilku


Aku tertawa, lalu cipika-cipiki. Teman kecilku mencium tangan Mas.


kami bersisian berjalan menuju TkP (Tempat kejadian Pernikahan), sambil mengobrol banyak hal. Mas menggandeng tanganku. Aku juga menggandeng tangan Mas erat. Terasa sekali aku terlindung.


Di tempat acara pernikahan ramai orang. Mas semakin menggandeng erat, aku juga. Ah Mas...


"Salaman dulu sama pengantin ah", kataku sambil menggamit tangan Mas


Bangganya aku datang bersama Mas. Mungkin Mas tak pernah tahu dan tak merasa betapa aku bangga datang dan jalan bersisian dengan Mas. Aku bangga disayang, aku bangga dicintai, aku bangga dilindungi dengan baik olleh lelaki yang kusayang, lellaki yang kucinta. Ah, Mas...


Setelah bersalaman, kami menuju meja prasmanan. teman kecilku mendampingiku juga.


"Foto, foto", kata teman kecilku


Mas mengambil fotoku dan teman kecilku berulang-ulang.


Tiba waktunya pulang. kami berpamitan. Mas menggandengku lagi, dan aku juga erat menggandeng Mas. Selesai sudah acara, dan kami pulang.


Di mobil kucium pipi Mas sambil mengucap,"Terimakasih, Mas"


"Ya, sayang"


Mas tersenyum padaku.


"Lo cium pipinya tadi"


Aku terkejut. Oops!


"Hancur rasanya lihat lo cium pipinya tadi"


Aku masih terkejut.


"Ga boleh lagi lo cium siapapun. kallo gue ga ada, ga apa-apa. Tapi jangan di depan gue"


"Maaf, Mas. Aku tadi ga berpikir apa-apa. Dia kuanggap anakku sendiri"


"Ya, ga apa-apa. Tapi lo cium dia"


"Ya, ya, janji ga lagi-lagi. Ya Mas ya, maaf ya"


"Ga apa-apa sayang, tapi jangan di depan gue"


Dalam hati aku berpikir, apakah Mas cemburu? Ah, rasanya tidak. Tapi tadi Mas kelihatan bersungguh-sungguh sewaktu ucapkan itu. Ya sudahlah, terlepas dari cemburu atau tidak, aku rasa tak ada salahnya aku menjaga sikap dan mengikuti apa yang Mas katakan padaku tadi.


Aku bersender pada Mas. Rasa nyaman itu hadir. Sungguh aku merasa dilindungi oleh Mas. Ya GUSTI, aku bahagia.


Menuju rumah aku bersender terus pada Mas.


kunikmati rasa nyaman yang menyelimutiku. Sesekali Mas mengelus punggung tanganku, mengusap rambutku. Ingin rasanya berteriak sekeras-kerasnya. Ingin rasanya kumenangis tersedu di pelukannya. Ingin rasanya kudekap Mas dan tak pernah akan kulepaskan.


"GUSTI, apakah belum cukup dulu aku menjadi istri selama 16 tahun tanpa dianggap sebagai seorang istri. Apakah belum cukup menyayangi dan mencintai seseorang dan mengabdi padanya selama 16 tahun tanpa disayang dan dicintai? Apakah belum cukup merasakan mencintai dan menyayangi tanpa bisa memiliki padahal aku adalah seorang istri? Duh GUSTI...
GUSTI, aku mencintai Mas yang memang jelas berbeda dengan dia, almarhum suamiku. Mas begitu menghargaiku, Mas menyayangiku, juga mencintaiku dan melindungiku. Tapi mengapa aku tetap dalam posisi yang sama.., tak bisa memiliki orang yang kusayang dan kucintai... GUSTI, aku mohon ijinkan kubisa mensyukuri terus nikmatMU, dan ijinkan kuberada dalam kebahagiaan yang hak... Ampuni aku ya GUSTI, jika memang ini sebuah kesalahan...",doaku dalam hati, dan hati dibanjiri rasa yang melara menyesak di dada... 


"Ah Mas, maafkan aku... aku mencintaimu dengan tulus... ijinkan kuterus mencintaimu, Mas... Jangan tinggallkan aku dalam rasa yang membungkah ini...", ucapku sambil memandang Mas yang terus asyik menyetir. Dan tetap semua itu kuucap dalam hati...


                        **************************************

error















Comments

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...