Aku ketakutan mendengar suaranya memanggil, dan semakin ketakutan saat dia ada di hadapanku. Sosoknya yang besar, hitam, dibalut senyum yang penuh kepastian tentang kelicikan. ingin berlari, tapi kaki tertahan di lantai, melekat erat, hingga tak bisa beranjak.
"Ternyata di sini. Hebatnya aku, bisa menemukanmu. Pergi kemana pun kamu, aku tahu berada di mana", dengan seringainya yang membuatku semakin ketakutan. Tapi berusaha untuk menyembunyikannya dalam hati.
"Hmm", jawabku sambil terus saja bermain dengan ponsel, berusaha tidak melihat wajahnya.
"Aku akan berada di sini, menemanimu."
"Tak perlu," aku menjawab tanpa memperhatikannya sedikit pun.
Seperti biasa dia tiba-tiba menghilang. Sama seperti kemunculannya yang juga selalu tiba-tiba. Lega rasanya!
Bertahun-tahun sosok itu menghantui hidup, mengganggu keseharian yang kumiliki. Dia selalu bisa menemukanku dengan mudahnya. Andai saja bisa menghancurkannya.
"Err! Err!", suara teriakan dari luar rumah terdengar memanggilku.
Ugh, tak ada siapa pun.
"Err!".
Tetap tak ada siapa-siapa di luar sana. Rasanya ingin membalas teriakan itu, tapi untuk apa? Berteriak marah pada sosok tak berwujud? Semua orang akan menyebutku gila jika hal itu dilakukan.
"Lanjutkan saja kegiatanmu," suara halus berbisik di telingaku.
Argh, mereka mengganggu lagi! Akhirnya kuambil kunci motor, tinggalkan sejenak rumah yang mulai dipenuhi suara tanpa sosok. Segar di luar, angin deras menyentuh tubuh yang tanpa balutan jaket. Biar saja sinar matahari memeluk.
Di area pusat jajanan, kuhentikan motor. Memesan sepiring batagor dan segelas es doger, semoga saja mampu menghilangkan penat karena sosok tak berwujud.
"Hai Err, sendiri?," seorang teman menyapa.
"Ya. Malas di rumah", jawabku.
Lalu tak ada pembicaraan lagi, kami menikmati hidangan tanpa kata-kata.
Waktunya pulang. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar tak bertemu dengan sosok aneh, dan tak lagi mendengar suara yang memanggil. Great, orang lain bisa saja menganggapku gila, padahal sosok itu benar-benar nyata, dan ada! Aku tidak gila, bukan penderita schizofrenia. Sixth sense ini ada sejak kecil, dan sungguh mengganggu. Beberapa teman dengan santainya berkata padaku untuk mencoba berkomunikasi dengan 'mereka'. Hah! Mereka fikir apa yang kulihat dan kudengar itu tak membuatku bergidik? Mudahnya bicara, tapi coba hal ini menimpa mereka, apakah mereka akan berbuat seperti saran mereka padaku? Belum tentu, mallah mungkin tidak, dan mungkin saja mereka lebih penakut dibanding aku.
Tiba juga di depan pagar, dan kulihat seorang ibu duduk di atas pagar rumah tetangga, dan kulihat seorang anak kecil menangis di pinggir selokan. Huh, ternyata di mana pun sama saja, percuma berlari dari satu tempat ke tempat lain, karena penglihatanku yang berbeda, akan tetap melihat mereka yang berbeda, sosok lain yang hidup di dunia lain...
Salam senyum,
error

"Ternyata di sini. Hebatnya aku, bisa menemukanmu. Pergi kemana pun kamu, aku tahu berada di mana", dengan seringainya yang membuatku semakin ketakutan. Tapi berusaha untuk menyembunyikannya dalam hati.
"Hmm", jawabku sambil terus saja bermain dengan ponsel, berusaha tidak melihat wajahnya.
"Aku akan berada di sini, menemanimu."
"Tak perlu," aku menjawab tanpa memperhatikannya sedikit pun.
Seperti biasa dia tiba-tiba menghilang. Sama seperti kemunculannya yang juga selalu tiba-tiba. Lega rasanya!
Bertahun-tahun sosok itu menghantui hidup, mengganggu keseharian yang kumiliki. Dia selalu bisa menemukanku dengan mudahnya. Andai saja bisa menghancurkannya.
"Err! Err!", suara teriakan dari luar rumah terdengar memanggilku.
Ugh, tak ada siapa pun.
"Err!".
Tetap tak ada siapa-siapa di luar sana. Rasanya ingin membalas teriakan itu, tapi untuk apa? Berteriak marah pada sosok tak berwujud? Semua orang akan menyebutku gila jika hal itu dilakukan.
"Lanjutkan saja kegiatanmu," suara halus berbisik di telingaku.
Argh, mereka mengganggu lagi! Akhirnya kuambil kunci motor, tinggalkan sejenak rumah yang mulai dipenuhi suara tanpa sosok. Segar di luar, angin deras menyentuh tubuh yang tanpa balutan jaket. Biar saja sinar matahari memeluk.
Di area pusat jajanan, kuhentikan motor. Memesan sepiring batagor dan segelas es doger, semoga saja mampu menghilangkan penat karena sosok tak berwujud.
"Hai Err, sendiri?," seorang teman menyapa.
"Ya. Malas di rumah", jawabku.
Lalu tak ada pembicaraan lagi, kami menikmati hidangan tanpa kata-kata.
Waktunya pulang. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar tak bertemu dengan sosok aneh, dan tak lagi mendengar suara yang memanggil. Great, orang lain bisa saja menganggapku gila, padahal sosok itu benar-benar nyata, dan ada! Aku tidak gila, bukan penderita schizofrenia. Sixth sense ini ada sejak kecil, dan sungguh mengganggu. Beberapa teman dengan santainya berkata padaku untuk mencoba berkomunikasi dengan 'mereka'. Hah! Mereka fikir apa yang kulihat dan kudengar itu tak membuatku bergidik? Mudahnya bicara, tapi coba hal ini menimpa mereka, apakah mereka akan berbuat seperti saran mereka padaku? Belum tentu, mallah mungkin tidak, dan mungkin saja mereka lebih penakut dibanding aku.
Tiba juga di depan pagar, dan kulihat seorang ibu duduk di atas pagar rumah tetangga, dan kulihat seorang anak kecil menangis di pinggir selokan. Huh, ternyata di mana pun sama saja, percuma berlari dari satu tempat ke tempat lain, karena penglihatanku yang berbeda, akan tetap melihat mereka yang berbeda, sosok lain yang hidup di dunia lain...
Salam senyum,
error

Comments
Post a Comment