Skip to main content

error,"Lima puluh ribu".

Tadi gue pulang kerja lebih cepat dibanding biasanya. Senang dong bisa pulang cepat, berarti bisa sampai di rumah lebih cepat juga. Judulnya, tralala trilili sekaliii... Pukul 3.00 sore gue mulai start gas motor. Antar teman yang rumahnya dekat kantor, lalu hayyuk pulang!

Jalan raya lengang, ga macet, asyik banget. Gue nyanyi-nyanyi di motor. Mendekati klender, jalanan mulai macet. Biasaaa, biasaaaa, macet ya biasa. Tapi eh ternyata di depan, menghadang jejeran petugas. Biasaaaa, biasaaa, razia motor :D . Gue pernah posting cerita tentang razia motor. Gue minggir karena diminta minggir oleh petugas.

"Selamat sore, Bu".

"Selamat sore juga, Bapak".

"Surat-surat, Bu".

Ya memang selalu surat-surat yang ditanyakan. Gue keluarkan surat-surat dari dompet. Cuma memang pajak motor terlambat belum gue bayar. Tapi kan itu urusan pajak ya, dan itu ga ada urusann dengan petugas yang ini, tapi petugas bagian lain tentunya.

"Laaah gimana sih ini pajaknya".

"Memang belum. Itu kan urusannya beda, Pak".

Gue malas banget perpanjang obrolan dengan petugas yang jelas banget cari-cari masalah. Gue sedang dalam suasana hati happy, bisa pulang cepat, ingin cepat sampai di rumah, supaya bisa mengobrol panjang ebar lebih dari biasanya dengan Ngka, Esa, Pink. Gue lihat petugas yang satu lagi, tertawa-tawa.

Tahu ga, di jalur busway berseliweran motor, mobil pribadi, angkot, metromini, dan petugas ga mempermasalahkan kendaraan-kendaraan yang jelas-jelas melanggar tuh. Gue ada di jalur jalan raya umum, malah dirazia. Tagu gitu, gue lewat jalur busway tadi :D .

"Pak, itu yang di jalur busway ga ditangkap?".

"Ibu nih gimana sih, saya lagi nangkap Ibu, masa disuruh ke sana", katanya tanpa merasa bersalah. Dan ada seorang pengendara motor mende
kati sambil tetap di atas motor yang terus melaju,"Pak, tuh yang di jalur busway ga ditangkep?". Si petugas diam saja.

Dilanjutkan dengan,"Lima puluh ribu", sambil pegang surat-surat gue.

"Mahal amat".

"Loh, memangnya mau ditilang?".

Hedeeeh bapaaak, ini urusannya sama bagian lain, ya, dan Bapak ga bisa tilang karena masalah pajak, dalam hati gue bicara sendiri, sambil memandang si petugas dengan rasa kasihan. Ga sedang bicara tentang dosa, tapi coba kalau dia ada di posisi yang sama dengan gue, kena hukuman dari orang yang sebenarnya ga berwenang. tapi karena gue malas ribut, gue membuka negosiasi,"Dua puluh". Gue lihat teman-teman si petugas mulai masuk ke mobil, dan mobil mulai bergerak maju perlahan.

"Ya udah deh. Ibuu, ibuuu", katanya. Lalu dia menyeberang jalan. Ternyata dia menunggu mobil yang tadi meninggalkannya. Mobil itu putar arah, dan si petugas itu pun berkumpul deh dengan teman-temannya.

Harga si petugas sejumlah Rp. 20.000,- . Gue anggap aja memberi uang jajan untuk anak-anak gue. Tapi sejujurnya, gue ga rela.

Gue ingat banget kejadian yang tak terlupakan dengan petugas saat dirazia beberapa waktu yang lalu. Lokasinya di seberang jalan yang tadi gue dirazia, gue sedang dalam perjalanan menuju kantor. Jalanan macet, lalu petugas menghadang motor gue, tangan gue dtarik. Rasanya gue ga akan kabur kok, untuk apa dia tarik tangan gue keras-keras. Gue pegang stang motor, dan tangan gue dtarik. Bagus banget! Tangan gue sedang bengkak pula! Gue berteriak meminta petugas untuk melepas tarikannya. Stang gue goyang. Gue berpikir, gue harus selamat, jangan sampai jatuh. Ngka, Esa, Pink, cuma punya emak, gue. Jangan sampai gue celaka. Gue ga mau anak-anak gue jadi sedih kalau gue celaka. Petugas semakin menarik gue. Gue ga tahu kenapa da sebegitu "heboh"nya ke gue. Mungkn muka gue yang ketutupan helm fullface tuh jadi terlihat seperti artis cantk banget kali ya.. :D

Di pinggir jalan, gue protes,"Pak, jangan tarik tangan saya sampai kayak gitu dong".

Eh petugasnya malah ngamuk,"Melawan sama petugas!".

Gue bengong. Melawan? Enak banget ya nuduh. Gue dtarik sampai hampir jatuh, dia teriak ke gue, katanya gue melawan! Dalam hati gue berkata,"Hati-hati, Pak. Tuhan tahu segalanya".

"Surat-surat".

Gue keluarin surat-surat gue.

"Pajakmu. Tilang!".

"Itu bagiannya departemen lain kan Pak. Itu kan pajak".

"Melawan kamu".

"Bapak namanya siapa?".

"Apa kamu tanya-tanya!", sambil menggebrak bagasi mobil. "Saya menangkap bukan cuma kamu. Itu ada yang lebiih tua dar kamu, tapi santun! Ga tahu santun!".

Lalu seorang Ibu yang dirazia juga, mendekat gue,"Sabar mbak, sabar".

"Sudah Bu! Saya tahu orang kayak dia!", sambl menuding ke arah gue. "Pintar ni dia ini!".

Dalam hati gue mengamini kalimat s petugas. Amin, gue pintar! Baru tahu dia kalau gue pintar :D.

Si petugas meninggalkan gue, sambil membawa surat-surat gue, menuju teman-teman petugas lain. Gue mengikuti si petugas. Lalu petugas yang lain mendekati gue.

"Apa kamu?".

"Surat-suratku".

"Salah, masih ngeyel!".

"Pajak diurus di tempat lain kan Pak".

"Salah masih ngeyel!. Ya sudah, ditilang karena pakai headset aja".

"Loh, aku ga pakai kok".

Si petugas diam, lalu mengeluarkan buku tilang, mulai menulis. Gue sudah malas banget berurusan dengan petugas model gini. Dan gue rasa orang-orang juga paham kalau begini berarti apa. Duit. Ya kan, duit.

"Berapa, Pak?", tanya gue.

"Sombong kamu! Ga bisa santun!".

Santun tuh seperti apa sih sebenarnya? Apakah si petugas itu santun? :D

"Saya kan tanya, berapa".

"Ga perlu uang! Uang saya sudah banyak!!", sambil menggebrak bagasi mobil.

"Ya syukurlah, saya sih ga punya duit. Saya single parent, ya ga punya duit".

Si petugas membalik
kan badan ke arah gue, lalu berteriak sekeras-kerasnya,"PANTAS kAMU JANDA!!! kAMU GA SANTUN!! MAkANYA DICERAI SAMA SUAMIMU!!!", sambil berjalan meninggalkan gue.

DEG!!! Gue kejar tuh petugas, gue tabok punggungnya,"Heh! Suamiku meninggal! Bukan cerai ya! Sembarangan kamu ngomong!". Akhirnya gue ga tahan banget sama kelakuan petugas. Orang-orang yang dirazia semuanya diam. Gue ikutin tuh petugas. Dia bergabung, dan menyusup di antara teman-teman petugasnya. Lalu datang petugas ke-tiga.

"Ada apa, Ibu?".

"Itu temannya, sembarangan ngomong!".

"Saya minta maaf, Bu. Saya atas nama teman saya, minta maaf".

"Pak, petugas ga kayak gitu".

"Maaf Bu, mungkin dia ada masalah di rumah".

Gue jengkel banget!

Petugas tersebut membawa STNk gue. Lalu dia bertanya,"SIM Ibu mana?".

"Sama teman Bapak tadi".

Si petugas celingak-celinguk, dan tahu ga, SIM gue ada di mana? SIM gue ada di atas tanah dekat mobil petugas! Astagaaaa, ga banget!

"Ini, Bu. Maaf".

Dan singkatnya, gue lepas dari razia, melanjutkan perjalanan ke kantor, ya tanpa tilang seperti yang tadi 2 petugas ucap ke gue.

Fiuch, ya gitu itu pengalaman gue dirazia.

Mobil ga perlu surat-surat lengkap, walau pun banyak yang ga punya surat-surat. Banyak kecelakaan mobil karena pengemudinya mabuk, tapi tenanglah, ga ada razia mabuk. Yang ada razia motor.

Gue rela kasih uang tadi ke petugas, tapi dalam hati,"Ambil deh itu uang anak yatim. Gue emaknya yg ga rela, tapi gue ampunin deh kelakuan lo, kebiasaan lo. Rejeki lo seharga 20rb, amin" . Jahat ya gue dengan doa dalam hati tadi? Gue ga tahu, cuma Tuhan yang tahu...


Salam senyum santun,

error










Comments

  1. ih jijay bajay amat tu petugas deh.. udah keki duluan dia Mbak, salah omong yg sensitif lagi.. tar deh mbak liat aja biar dia ditabok bajaj *ikut esmosi*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi, aku waktu itu udah bener-bener enek banget sama si petugas. 'Santunnya' itu loooh :D

      Delete
  2. Petugas seperti itu yang merusak citra
    Laporkan saja ke instansinya biar ditindak
    Pajak segera dibayar ya, itu juga kewajiban.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya dhee, tapi apa iya bakal ditindaklanjuti, dhee? Instansinya kan bisa dibilang 'memang seperti itu' :( .
      Pajaknya mau aku bayar. dhee, nunggu uangnya kumpul dulu, terpakai ke dokter waktu itu :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prediksi Jitu, Nomor Jitu, Akibatnya juga Jitu

Sebenarnya ini sebuah cerita dari pengalaman seorang teman beberapa tahun yang lalu. Judi, ya mengenai judi. Temanku itu bukan seorang kaya harta, tapi juga bukan seorang yang berkekurangan menurutku, karena tetap saja masih ada orang yang jauh lebih berkekurangan dibanding dia. Empat orang anaknya bersekolah di sekolah swasta yang lumayan bergengsi di kota kami dulu. Tapi temanku itu tetap saja merasa 'miskin'. Selalu mengeluh,"Aku ga punya uang, penghasilan papanya anak-anak cuma berapa. Ga cukup untuk ini dan itu." Hampir setiap hari aku mendengar keluhannya, dan aku cuma tersenyum mendengarnya. Pernah aku menjawab,"Banyak yang jauh berkekurangan dibanding kamu". Dan itu mengundang airmatanya turun. Perumahan tempat kami tinggal memang terkenal 'langganan banjir', jadi pemilik rumah di sana berlomba-lomba menaikkan rumah posisi rumah lebih tinggi dari jalan, dan temanku berkeinginan meninggikan posisi rumahnya yang juga termasuk 'langganan ba...

...Filosofi Tembok dari Seorang di Sisi Hidup...

Sisi Hidup pernah berbincang dalam tulisan dengan gw. Berbicara tentang tembok. Gw begitu terpana dengan filosofi temboknya. Begitu baiknya tembok. 'Tembok tetap diam saat orang bersandar padanya. Dia pasrah akan takdirnya. Apapun yang dilakukan orang atau siapapun, tembok hanya diam. Tak bergerak, tak menolak. Cuma diam. Tembok ada untuk bersandar. Gw mau jadi tembok' Itu yang diucapnya Gw ga habis pikir tentang fiosofi tembok yang bener-bener bisa pasrah diam saat orang berbuat apapun padanya. karena gw adalah orang yg bergerak terus. Tapi sungguh, takjub gw akan pemikiran tembok yang bener-bener berbeda ama pemikiran gw yang selalu bergerak. Tembok yang diam saat siapapun berbuat apapun padanya bener-bener menggelitik gw. Gw sempet protes, karena menurut gw, masa cuma untuk bersandar ajah?? Masa ga berbuat apa-apa?? Dan jawabannya mengejutkan gw... 'Gw memang ga pengen apa-apa lagi. Gw cuma mau diam' Gw terpana, takjub... Gw tau siapa yang bicara tentang tembok. Ora...

error bercerita tentang "SIM dan Aku"

Oktober 2007 pertama kali aku mengurus pembuatan SIM. Sebelumnya pergi kemanapun tanpa SIM. Almarhum suami tanpa alasan apapun tidak memberi ijin membuat SIM untukku, tapi dia selalu menyuruhku pergi ke sana dan ke sini lewat jalur jalan raya yang jelas-jellas harus memiliki SIM. Sesudah suami meninggal, aku langsung mengurus pembuatan SIM lewat calo. Cukup dengan foto copy kTP dan uang yang disepakati. Tidak ada test ini dan itu. Hanya foto saja yang tidak bisa diwakikan. Ya iyalah, masa foto SIM-ku itu foto wajah bapak berkumis! Hanya sebentar prosesnya, dan tralalalala, SIM sudah di tangan. Kemanapun pergi aku selalu membawa SIM di dompet, tapi tidak pernah tahu sampai  kapan masa berlakunya. Bulan April 2013 kemarin aku baru tahu ternyata masa berlakunya sudah habis. SIM-ku kadaluwarsa! Haduh, kalau SIM ini makanan, pasti sudah berbau, dan aku keracunan! Untung sekali SIM bukan makanan.   Lalu aku putus kan  membuat SIM baru, b ukan perpanjangan,  karena S...